Monday, March 26, 2012

Tiga Kisah Asosiasi #3

Oleh Darmanto Simaepa

Kontrol Erzat Kapitalisme


Tahun 1980an adalah suatu fase awal dimana, meminjam istilah Yoshihara Kunio, ‘para kapitalis semu’ Indonesia lahir. Ini adalah suatu jenis perkawinan terlarang antara birokrasi negara dan sistem kapitalis. Salah satu bentuk konkritnya adalah Kepres No. 10/1980 yang memberi keistimewaan bagi pengusaha pribumi untuk mendapatkan tender-tender besar negara. Fase modernisasi industri, pertanian dan ekstraksi sumber daya alam di Indonesia di tahun 1970an akhir dan 1980an awal memberi kemungkinan perakitan investasi dan keterlibatan perusahaan besar negara ‘maju’ dengan pengusaha ‘pribumi’ melalui proteksi tangan birokrasi. Kalla grup, kelompok Bakrie, Medco, Gobel, Fadel Muhammad, Wanandi bersaudara adalah sejumput nama pengusaha pribumi yang mendapatkan konsesi penebangan kayu, kontrak pengeboran migas, dan tender dengan cara menjadi rekanan investor asing.


Pada saat yang sama sepakbola Indonesia mulai berpikir profesionalisme dengan membentuk kompetisi Galatama. Kemunculan dua hal yang, tampaknya, agak jauh ini bukanlah terisolasi dari kehidupan politik ekonomi Indonesia. Secara nyata, sebelum digulirkan, kompetisi yang dibidani salah satu keluarga Cendana ini telah membangun patronase dengan pengusaha-pengusaha ‘pribumi’ yang mulai mapan. Bahkan pada fase pendiriannya, klub-klub yang terlibat dalam kompetisi Galatama sangat tergantung dari sumbangan dan kucuran dari bapak angkatnya, yang tak lain adalah orang-orang kaya baru Indonesia. Makasar Utama dengan Kalla, Pelita Jaya dengan Bakrie, Niac Mitra dengan Agus Wenas dan koneksi pengusaha Singapura, Harimau Tapanuli dan Pardedetex dengan keluarga Pardede, Asyabab dengan grup Salim dan pengusaha Arab. Para penebang hutan seperti Prajogo Pangestu menjadi orang tua asuh bagi Barito Putra.

Galatama menyediakan tempat bagi konglomerat baru untuk mengeluarkan santunan sosial, yang sebagian besar bersumber dari konsesi ekstraksi sumber daya alam dan akuisisi tanah yang ekspansif terutama di luar Jawa. Tak ketinggalan disini, perusaahan rokok yang mendapat keuntungan dari keringanan pajak cengkeh dan tembakau pada masa monopoli perdagangan kedua komoditi itu selalu menjadi protagonista dalam penyelenggaraan kompetisi. Hubungan-hubungan paternalistik antara klub dan pengusaha ini terbentuk dalam konteks kebijakan depolitisasi orde baru. Pengusaha dan kelas menengah baru disediakan mesin ekonomi dan sepakbola bisa dijadikan alat kebijakan politik mengambang. Sejak tahun 1975, ketua dan para pengurus PSSI dikontrol oleh pejabat militer—kecuali pada fase akhir Orde Baru dimana Azwar Anas menjadi ketua dua periode. Meskipun secara eksplisit maupun implisit rejim Soeharto tidak pernah mencampuri urusan sepakbola, urusan lapangan dan balik layarnya tidak bisa lepas dari sentuhan keluarga Cendana. Suatu contoh kecil adalah keterlibatan Sigit Hardjojudanto dalam proyek Garuda I dan II serta kepemilikannya terhadap Arseto, dan posisinya sebagai wakil ketua umum PSSI sekitar 1980an.

Bagi orde baru yang terobsesi dengan pertumbuhan ekonomi, sepakbola bukanlah bagian dari strategi pembangunan. Selama 32 tahun berkuasa, Soeharto hanya menyinggung dua kali tim nasional dalam pidato resminya. Meskipun sepakbola sangat populer, asosiasi sepakbola tidak menjadi bagian penting dalam dinamika politik nasional. Barangkali itu menjadi alasan Galatama dirasakan terlalu elitis dan tidak merepresentasikan hubungan antara suporter dengan klub. Di tahun 1980an, kompetisi Perserikatan lebih memberi daya tarik penonton dengan sentimen kedaerahan.

Galatama memberi evolusi yang rumit bagi asosiasi sepakbola Indonesia hari ini bukan karena gagalnya profesionalisme, mandeknya kompetisi teratur, atau seretnya prestasi tim nasional. Yang menjadi pokok permasalahan adalah transformasi para kapitalis semu yang muncul karena kebijakan proteksi era bonanza minyak dan penebangan hutan. Grup Bakrie yang secara konsisten mendukung proyek-proyek tim nasional (Garuda I, Garuda II, Primavera, Baretti) melalui Nirwan Dermawan sejak tahun 1980an, tumbuh menjadi konglomerasi besar di bidang televisi, media, batu bara, dan telekomunikasi. Sementara tokoh yang satu lagi, yakni keluarga Panigoro, berkembang pesat dalam bisnis energi dan pangan. Saat orde baru runtuh, keduanya mengambil pilihan yang berbeda. Bakrie lebih membina kontinyuitas politik bersama Golkar sebagai eksponen rejim orde baru dan mampu mengkonsolidasikan kekuatannya, sementara Panigoro lebih dekat ke arah oposisi dengan membangun relasi dengan PDI Perjuangan.

Pada masa turbulensi rejim Soeharto dan instabilitas politik selama beberapa waktu, dua konglomerasi ini terlibat dalam perebutan akses terhadap energi dalam tender-tender pemerintah. Sebuah cerita bawah tanah konon mengatakan, urusan pengemplangan pajak oleh Bakrie dalam kasus penambangan batu bara dan minyak di Kalimantan membuat Arifin mendukung manuver Sri Mulyani untuk menginvestigasi neraca pembayaran Bakrie ke kas negara. Sementara kelompok Golkar di Senayan menjegal manuver Panigoro untuk menjual aset salah satu anak perusahaan Medco ke Pertamina. Hubungan panas ini semakin mendidih setelah grup Medco dianggap cuci tangan dalam kasus Lapindo dengan menarik sahamnya dari konsorsium pengeboran gas di Sidoarjo dan meninggalkan Bakrie menanggung resikonya sendirian.

Diatas segalanya, sepakbola, pasca reformasi memberi ruang artikulasi baru bagi aspirasi publik. Rakyat sudah jenuh dengan gagasan reformasi yang tak kunjung sampai, sementara praktik-praktik ketidakadilan, kemiskinan dan korupsi menyebar ke ulu hati. Genealogi politik mempertemukan Nurdin Halid dan Nirwan Bakri dalam PSSI. Akan tetapi, skandal demi skandal korupsi dan degradasi kepercayaan tidak sejalan dengan meningkatnya prestasi tim nasional. Ketidakpuasan arus bawah mendorong Panigoro yang mulai menarik diri dari pentas politik praktis untuk beraksi dan memegang kendali. Konflik-konflik di bidang kekuasaan lain—perebutan energi, akses terhadap dukungan birokrasi—menjadi dasar bagi perebutan kontrol atas PSSI. Dengan dukungan yang massiv dari suporter, ambiguitas FIFA, kegatalan militer untuk campur tangan, dan oligarkhi media massa baru bernama MNC, dukungan perubahan atas rejim Nurdin dan Bakri PSSI mendapatkan momentumnya.

Seperti halnya kisah dari Padang diawal abad 20, sepakbola Indonesia di awal abad ini adalah sumber pendapatan. Siapa yang bisa mengontrol pertandingan dan mengakses lapangan, dialah yang akan menuai keuntungan. Tentu saja dalam konteks yang berbeda, definisi lapangan telah meluas bukan hanya sebuah ‘lapangan’ Plein de Rome dan pagar tertutup dari bambu. Di zaman ketika FIFA berkuasa, PSSI adalah arena strategis yang diperebutkan karena asosiasi inilah yang diakui secara resmi. Tiket masuk, penjualan merchandise, siaran televisi, kontrak dengan apparel ternama, pajak-pajak dan komisi transfer pemain adalah bidang-bidang lapangan sepakbila yang turut menentukan akses kekuasaan dan ekonomi PSSI. Ketua asosiasi sepakbola bisa menggunakannnya kekuatan simbolik sepakbola meraih dukungan politik. Ini sudah dibuktikan oleh para ketua klub di kabupaten yang hampir pasti memenangi Pilkada. Trickle down effectnya bisa lebih gila lagi. Melalui transaksi tak kasat mata dan tak bisa dilacak buktinya, asosiasi sepakbola bisa memberi lisensi, kemudahan, tender-tender kepada jaringan yang loyal dengannya.

******
Saya tidak akan menjelaskan secara detil tentang perebutan akses dan kontrol asosiasi dalam kondisi mutakhir. Menulis kisah ini dari Leiden, saya merasa Anda, pembaca semua, jauh lebih paham dan tahu secara detil perkembangan sepakbola Indonesia hari ini. Anda pasti sudah menyaksikan sehari-hari dari televisi, koran, sms, fb, blog-blog kisah gajah bertarung melawan gajah sepakbola mati ditengah-tengah. Indonesia menciptakan rekor terburuknya sepanjang sejarah. Hanya saja, setelah menelusuri arsip dan dokumen tentang kisah sepakbola di Indonesia, kita memang tidak bergerak kemana-mana. Kita hanya memindahkan Plain de Rome menjadi GBK atau Kanjuruhan dan melihat serigala NIVB, PSV, SVM, NIVU berbulu domba Galatama, ISL, Dunhill, atau LPI......

Sumber:
Colombijn. F. 2000. The Politics of Indonesia Football. Archipel, 59: 180-188.
Kunio. Y. 1990. Kapitalisme semu Asia Tenggara. Jakarta: LP3ES.
PSSI. 1980. Kenang-kenangan P.S.S.I. 50 tahun: 19 april 1930-19 april 1980. Jakarta: PSSI.
PSSI. 2000. Mengarungi milenium baru: 70 tahun PSSI. Jakarta: PSSI.

1 comment:

  1. kenapa semua artikel belakang gawang tentang sepak bola indonesia selalu pilu??? memang sih realitasnya seperti itu. tapi bisa gak sih kita cari sisi positif dan optimisnya? saya kira penulis belakang gawang punya banyak ide yang konstruktif, coba dong diturunkan di sini!! tetap dengan renyah pastinya.

    ReplyDelete