Sunday, December 11, 2011

Peringatan Saya: (Iklan) Rokok Bisa Menimbulkan Masyarakat yang Sehat, Bahagia, dan Penuh Harapan!



Oleh Mahfud Ikhwan


Kegagapan Ophan Lamara

Ophan Lamara tergagap saat mengawali siaran langsung Indonesia Super League (ISL) musim ini. “Mitra olahraga ANTV, kita berjumpa lagi dalam siaran langsung Dja... Indonesia Super League musim 2011-2012....” Presenter sepakbola senior ANTV itu jelas tak terbiasa dengan hilangnya kata “Djarum” di depan frasa “Indonesia Super League” yang bertahun-tahun diucapkannya. Namun, lebih dari itu, ketergagapan itu jelas menegaskan sebuah rasa kehilangan.

Tak berbeda dengan saya. (Kenapa? Nanti kita akan tahu alasannya.)

Iklan rokok, sejauh perhatian saya, sebenarnya sudah tak menampakkan diri di sepakbola Indonesia saat ISL musim 2010-2011 masuk sepertiga akhir. Bertepatan dengan bergulirnya Liga Prima Indonesia (LPI), dan menguatnya tuntutan mundur kepada Nurdin Halid, slot iklan utama siaran langsung ISL di ANTV yang biasanya diiisi Djarum diambil alih Dua Kelinci.

Saya tak tahu betul alasannya—sejauh ini saya tak menemukan informasi yang cukup jelas soal itu. Tapi patut diduga, Djarum hendak menjaga jarak dengan rejim sepakbola Indonesia yang tinggal tunggu waktu saja jatuhnya. Jelas, itu langkah yang bisa dimaklumi. Lagi pula, seperti yang pernah saya baca, kubu baru yang tampak akan menguasai sepakbola Indonesia, jelas-jelas mengatakan kalau mereka akan membuat kompetisi sepakbola yang bebas iklan rokok. Karena itu, saya tak akan heran jika Djarum menghilang dari kompetisi musim berikutnya.

Melihat gelagat yang muncul, yaitu dengan menggandeng Real Madrid dan mendatangkan Luis Figo, juga dengan muncul di slot iklan utama pada pengujung ISL musim lalu, kuat dugaan saya kalau Dua Kelinci yang akan menjadi penyangga utama kompetisi musim berikutnya. Tapi saya salah besar. Sebab yang muncul justru adalah dua bajingan.

Ya, dua bajingan. Dan bukannya menyangga kompetisi, mereka malah merobohkannya.

Saya dan Iklan Rokok

Saya tidak merokok. Saya bahkan membenci perokok. Masa kecil dan remaja saya banyak diwarnai pengalaman-pengalaman tak enak dengan perokok. Ibu yang mengomel karena anggaran belanja rokok Bapak yang tak pernah susut, orang-orang dewasa yang semena-mena menyuruh membelikan rokok, juga kelabilan (yang menyebalkan) teman-teman seusia yang ikut menyedot tembakau cuma karena orang dewasa melakukannya, adalah beberapa contoh saja. Lebih jauh lagi, saya bahkan sepakat dengan seorang teman yang mengatakan kalau perokok biasanya jorok: mereka akan menaruh abu rokok di semua tempat yang tampak menganga, kecuali mulut mereka sendiri.

Tapi, ketidaksukaan itu tak berlaku untuk iklan rokok. Saya malah punya banyak kenangan bagus tentangnya.

Misalnya, saat PLN belum masuk ke desa saya, televisi masih hitam-putih, dan televisi swasta baru dikenal, kami semua berdebat soal iklan Mustang. Iklan itu, kalau tak salah ingat, menggambarkan kuda berlari dan seorang pria macho yang memacu motor besarnya. Di sebuah tubir jurang, keduanya berhenti. Si kuda menegar dan meringkik, sementar si pria turun dari motor dan melepas helmnya. Lalu, gambar fade-out dan ditutup dengan tulisan “MUSTANG”. Karena iklan ini tak jelas apa tawarannya (tak seperti iklan sabun atau permen), juga karena warna televisi yang hitam-putih, kami semua hanya bisa menerka-nerka produk apa yang ditawarkannya. Ada yang bilang ini iklan kuda. Ada juga yang kukuh kalau Mustang adalah merk helm. Tapi pendapat terbesar, saya termasuk di dalamnya, ini adalah iklan motor. (Jadi, jangan heran jika sampai saat ini masih ada orang di tempat saya yang memetonimikan sepeda motor besar dengan motor mustang.) Setelah jadi masalah yang berlarut-larut, dan sempat diwarnai dengan beberapa percekcokan antara kubu kuda, sepada motor, atau helm, ketegangan baru mereda ketika pada suatu hari seorang sales rokok masuk ke desa dan memperkenalkan sebuah rokok baru bermerek Mustang.

Itu berkait dengan kenangan. Berkait dengan cita rasa tontonan, saya banyak punya pembelaan terhadap iklan rokok. Saya merasa tak punya kapasitas untuk menjelaskannya, namun secara singkat bisa saya katakan, dalam riwayat perjumpaan saya dengan televisi, beberapa iklan rokok adalah perjumpaan yang mengesankan. Kreativitas, kecerdasan, humor, dan pelajaran sangat awal tentang semiotika, adalah beberapa alasan saja. Kecemerlangan serial iklan “How Low Can You Go”-nya A Mild, kemegahan iklan Bentoel Biru seri “I love blue from Indonesia”, kelucuan tak terlupakan iklan-iklan Long Beach, dan belakangan seri jin jawa-nya Djarum 76, adalah sedikit contohnya.

Tapi berkait dengan sepakbola, saya bahkan berani berkelahi dengan siapa pun soal iklan rokok. (Dengan teman sealiran yang sepakat dengan Majelis Tarjih atau Masyarakat Anti-Tembakau Indonesia, ayo. Dengan teman beda aliran yang memuja rokok dan membenci sepakbola, boleh juga.) Saya akan mengeluarkan segala daya-upaya untuk membelanya. Demi iklan rokok, saya siap bertukar argumen dengan para pembenci rokok, pembenci perokok (yang lain), pembenci iklan rokok, dan terutama pembenci iklan rokok sekaligus sepakbola.

Iklan Rokok, Sepakbola, dan Masyarakat yang Sehat, Bahagia, dan Penuh Harapan

Oke.., saya bercanda soal berkelahi itu. Tapi saya serius soal bertukar argumen.

Jika pihak-pihak yang berpikiran sederhana (ciri-cirinya: lurus ke depan, positivistik, merasa harus menyelamatkan manusia dari kepunahan tapi sekaligus juga khawatir dengan meledaknya populasi bumi) berpendapat bahwa iklan rokok bisa meningkatkan jumlah perokok dan dengan begitu meningkatkan risiko terjadinya “kanker, serangan jantung, gangguan kehamilan dan janin”, seperti yang tertera pada basa-basi pemerintah di setiap bungkus rokok, maka dengan pikiran sederhana pula saya bisa mengemukakan hal sebaliknya. Menurut saya, berkait dengan sepakbola, iklan rokok—baik langsung maupun tak langsung—justru bisa meningkatkan kesehatan masyarakat, timbulnya kegembiraan dan kebahagiaan, dan naiknya harapan hidup.

Begini penjelasannya.

/1/ Dalam waktu puluhan tahun, iklan rokok sangat identik dengan sepakbola, baik bagi berputarnya kompetisi di tanah air maupun siaran langsung di televisi. Dana perusahaan rokok memutar roda kompetisi dan memungkinkan televisi menayangkannya siaran sepakbola dunia di televisi yang harganya ratusan milyar. Orang yang sinis dengan sepakbola sekaligus pembenci rokok tentu akan dengan gampang menunjuk bahwa ujung dari semua itu adalah meningkatnya anarkisme massa, tawuran antarsuporter, munculnya jutaan penggemar sepakbola yang begadang di akhir pekan yang kebanyakan merokok dan—biasanya—nganggur di Senin pagi. Itu fakta yang harus diakui. Namun, mari kita lihat ke sisi lain, saat pagi dan sore, jutaan bocah Indonesia, dari SSB paling mewah hingga mereka yang main di lapangan setengah sawah, yang bergegas mengayun langkah, dengan bola di ujung kakinya, dengan bayangan wajah Messi, Rooney, Ronaldo, atau Okto Maniani dan Andik Vermansyah di pikirannya. Coba terka, apakah mereka melakukan itu karena anjuran Menkes, IDI, atau YLKI? Tidak. Mereka melakukan itu karena mereka menonton Okto dan Andik di stadion dan melihat Messi, Rooney atau Ronaldo di televisi. Dan, itu semua karena iklan rokok. Dan saya yakin seyakin-yakinnya, bocah-bocah itu pasti lebih sehat dari para penganjur larangan merokok paling gigih sekalipun. Koreksi jika saya salah.

/2/ Seorang teman yang tak suka sepakbola mengatakan kalau sepakbola adalah bentuk manipulasi kapitalisme atas massa. Euforia, rasa gembira, dan bahagia yang diciptakan sepakbola membuat massa lupa bahwa mereka tertindas dan hak mereka dirampas, begitu kira-kira penjelasan lebih lanjutnya. Saya tak membantahnya. Jika pun perkataannya benar, saya pun tak keberatan. Kita hidup dalam kepungan manipulasi bukan? Jadi, kalau itu ditambah satu, apa bedanya? Menurut saya, manipulasi kapitalisme berupa sepakbola—jika dibandingkan jenis-jenis manipulasi kapitalisme dalam bentuk lain macam demokrasi, penegakan HAM, kebebasan pers, isu kesehatan, dan terutama agama—adalah manipulasi terbaik yang terjadi di Indonesia. Tak seperti manupulasi-manipulasi lain yang saya sebut tadi, rasa senang dan bahagia yang ditimbulkan oleh sepakbola tidak didirikan di atas sejenis moralitas, tidak dibangun dengan mengatasnamakan kebenaran. Itulah kenapa sepakbola jadi terasa lebih menyenangkan dan membahagiakan. Dan harus ditegaskan, kesenangan dan kebahagiaan yang sering gagal dipenuhi oleh dogma-dogma agama itu dipersembahkan oleh iklan rokok.

/3/ Bagi saya pribadi—bisa jadi juga bagi jutaan penggemar sepakbola di Indonesia lainnya—iklan rokok menandai masih adanya secercah harapan. Selama masih melihat kelebatan iklan Super Soccer (milik Djarum) atau Intersport (Gudang Garam) di televisi, itu artinya puluhan juta rakyat Indonesia masih bisa berharap bahwa di akhir pekan nanti akan ada siaran langsung sepakbola liga-liga Eropa. Dan selama di akhir pekan masih ada sepakbola, saya tak punya cukup alasan untuk bunuh diri—meskipun sepanjang pagi saya menyimak Gloomy Sunday-nya Rezso Seress ratusan kali. Tanpa mengesampingkan pemain yang meninggal di lapangan, suporter yang tewas saat tawuran, atau penonton sepakbola yang jantungan karena Indonesia kalah sama Malaysia, bandingkan dengan apa yang bisa dilakukan oleh Pidato Tahunan Presiden, laporan kenaikan pertumbuhan ekonomi Menko Perekonomian, produk undang-undang bikinan DPR, atau hasil kerja KPK.

Liga Majelis Tarjih

Saya tak merokok. Saya bahkan membenci perokok. Tapi, saya peduli dengan keberlangsungan munculnya iklan rokok, sebab itu—sejauh ini—hampir pasti berkaitan dengan keberlangsungan sepakbola di Indonesia.

Jika Pemerintah, IDI, YLKI, WHO, atau siapa pun yang ingin mencegah meningkatkan angka perokok, saya sarankan mereka menghubungi Majelis Tarjih Muhammadiyah saja. Itu pasti lebih ampuh. Minta pihak yang mengeluarkan fatwa haram rokok itu untuk memfatwakan dogma anti-taqlid (ikut tanpa tahu alasannya) pada tingkat paling praktis. Menurut pengalaman saya, seorang remaja yang mulai merokok bukan karena ia tergoda oleh iklan rokok, tapi karena dia meniru (taqlid) orang-orang dewasa yang merokok. Jadi, selain kaum muslimin yang dianggap ikut-ikutan amalan para ulama kuno, para remaja yang ikut-ikutan merokok orang dewasa tanpa tahu tahu apa alasannya, seharusnya juga jadi lahan garap Muhammadiyah.

Atau, begini saja. Biar orang macam saya tak lagi cerewet soal iklan rokok, bagaimana kalau WHO atau Majelis Tarjih menjadi sponsor sepakbola? Tampaknya akan terdengar keren seandainya mendengar Ophan Lamara menyapa, “Mitra olahraga ANTV, kita berjumpa lagi dengan siaran langsung Liga Majelis Tarjih musim 2013-2014. Bravo sepakbola!”

6 comments:

  1. heuheuheu..benul sekali, Mas. tambah argumen lagi; ketoprak, dangdutan, pengajian, dampai tujuhbelasan di kampung-kampung banyak juga yang pake iklan rokok...

    ofa haroen

    ReplyDelete
  2. THIS! "seorang remaja yang mulai merokok bukan karena ia tergoda oleh iklan rokok, tapi karena dia meniru (taqlid) orang-orang dewasa yang merokok"
    Wong iklan rokok aja implisit, saya butuh waktu lama untuk mengenali produk apa yang ditayangkan semua iklan rokok.
    penulis belakanggawang ini profesinya apa ya? (hehe, maaf, kepo....) soalnya tulisannya berkualitas kaya jurnalis sepakbola luar negeri. biar panjang, tapi nagih!

    ReplyDelete
  3. Tivi Indonesia perlu komentator yang seperti ini. Ato jangan-jangan malah sudah ya? Belon kenal penulisnya sih. Ini adalah blog sepakbola berbahasa indonesia terkeren yang pernah saya baca.

    (Iklan) Rokok juga berdiri di belakang mayoritas kegiatan remaja, entah itu olahraga, musik, hobi, atau komunitas. Kegiatan yang di support biasanya positif. Jadi meskipun saya bukan perokok, saya (juga) mendukung industri rokok.

    ReplyDelete
  4. @BVS: "Penulis belakanggawang ini profesinya apa?" Itu pertanyaan dengan jawaban mudah. Ia menulis; lebih tepatnya, menulis sepakbola, hahaha... btw, komentar yang menyenangkan, teman BVS.

    ReplyDelete
  5. This comment has been removed by the author.

    ReplyDelete
  6. Blog terkeren dalam bahasa Indonesia? Hmmm, kata2 yang superlatif (dan ambisius) sepertinya! :) Well, tapi kami tak malu untuk berusaha mencapainya hehehe

    ReplyDelete