Thursday, September 29, 2011

Balada Hasan dan Darto: Sebuah Usaha untuk Memuji Hanung


Oleh Mahfud Ikhwan

Kalau saja ada pengurus FIFA menontonnya, mereka mungkin akan melarang pertandingan itu. Sebuah pertandingan sepakbola di atas ketinggian yang ekstrem, dengan permukaan lapangan yang tak lain adalah tumpukan debu (bukan pasir), pasti sangat tidak dianjurkan oleh dokter olahraga mana pun. Saya—yang pada suatu masa pernah berpandangan (dan mengalami) kalau sepakbola bisa dimainkan di mana pun—rasanya juga tak akan menganjurkannya. Jika saya ada di lokasi, dan pertandingan itu terjadi 15 tahun lalu (saat sprint pendek masih lumayan dan paru-paru tak seringkih sekarang), saya akan memilih jadi penonton saja.

Meski menghabiskan sebagian besar hidup dengan menonton sepakbola, gambar itu terlihat aneh bagi saya. (Tak kalah anehnya dengan saat melihat Aishwarya Rai menari kathak di Machu Pichu, pada sebuah adegan di film Tamil berjudul aneh, Robot.)

Saya beruntung tidak menonton langsung pertandingan aneh itu—saya alergi debu soalnya. Cukup beruntung pula karena pertandingan aneh itu adalah adegan dalam sebuah film yang saya tonton di bioskop, bukan siaran langsung di tv. Dan karena itu ada dalam film, pertandingan sepakbola yang ganjil itu bukan satu-satunya fokus kamera. Di layar, selain tersaji dramatisasi drible dan tackle, dan tentu saja gol, juga dramatisasi wajah-wajah yang ada di pinggir lapangan. Dan yang paling menguntungkan (baca, saya tak rugi membeli tiket masuk bioskop), di antara wajah-wajah di pinggir lapangan itu ada wajah Agus Kuncoro dan Sujiwo Tejo.

***

Saya tidak terlalu menyukai adegan pertandingan ganjil itu. Juga hampir semua adegan sepakbola yang ada di film itu. Tapi, saya tak malu-malu untuk mengatakan kalau saya menyukai Tendangan dari Langit (TdL)—meskipun ini filmnya Hanung. (Setelah Jomblo, akhirnya..., saya bisa kembali bersikap baik terhadap Hanung.)

Perlu dijelaskan kenapa saya tak menyukai adegan-adegan sepakbola dalam film ini. Pertama, karena dibanding adegan-adegan di film itu (bahkan yang terbaik sekalipun), saya bisa mendapatkan adegan-adegan yang lebih hebat, lebih elegan, dan bahkan lebih dramatis hampir di setiap akhir pekan—jangan lagi bandingkan dengan scene-scene dalam el clasico Madrid vs Barca atau laga-laga terbaik UEFA Champions League. Kedua, karena hampir semua adegan itu amat sangat formulaik, sehingga penonton yang biasa menonton film-film olahraga, terutama produksi Hollywood, akan mengalami de javu di sana-sini. (Sepanjang film, saya kerap berhasil menebak kapan sebuah adegan tekel akan terjadi, kapan sebuah tembakan akan gagal atau berbuah gol, juga berapa gol yang akan dihasilkan sebuah pertandingan. Saya bahkan bisa menebak dengan sangat persis adegan macam apa yang terjadi saat klimaks cerita—psst... jangan bilang ke Hanung, kalau Jarjit Singh, kawannya Upin & Ipin, yang memberi tahu saya.) Dan ketiga, karena lebih dari separo adegan sepakbola dalam film itu sebenarnya bisa dihapus tanpa harus kuatir film ini tidak lagi dikenali sebagai film (drama tentang) sepakbola.

Yup, sebelum nanti membuat serangkaian pujian-pujian, harus saya katakan lebih dulu kalau Hanung hampir-hampir memperlakukan filmnya seperti pelatih Inggris Raya tahun ’80-an memperlakukan tim divisi 3 yang dilatihnya: pola 4-4-2, kick ‘n rush, serangan dari sayap, umpan panjang, back pass.

Tak percaya? Simak yang berikut ini: ada anak yang punya bakat sepakbola hebat, namun tak direstui bapaknya. Dibantu pamannya, ia secara sembunyi-sembunyi terus bermain dan memelihara harapannya untuk jadi pemain sepakbola. Demi menggapai harapan itu, ia rela kehilangan cintanya. Ketika harapan jadi pemain bola itu semakin dekat, ada yang salah dengan kakinya. Hancurlah hatinya. Tapi, tanpa disangka-sangka (sebagaimana bisa diduga), harapan itu datang lagi. Dan sebuah tendangan salto di akhir cerita membuat semua orang bahagia.

Bagaimana menurut Anda? Saya ucapkan selamat bagi yang belum pernah mendengarnya.

***

Untungnya, masih hampir-hampir. Coach Hanung tak sekaku pelatih Inggris Raya tahun 80-an—bahkan sedikit lebih mendingan dibanding dengan cara Mourinho memperlakukan Chelsea.

(Saya mulai memuji, bukan?)

Meski memakai strategi membosankan ramuan nenek-moyang, Hanung masih menyisakan ruang improvisasi dan manuver-manuver menawan bagi pemain-pemain terbaiknya. Bayangkanlah ada jugling, kontrol pundak, umpan tumit, atau pedalada yang dilakukan oleh pemain-pemain di klub yang dilatih Roy Hudgson, begitulah Hanung memberi ruang untuk Agus Kuncoro dan Sujiwo Tejo. Memakai bahasa sepakbola, Agus Kuncoro dan Sujiwo Tejo seperti dua orang breaker dan playmaker yang bahu-membahu menghidupkan permainan tim.

Berperan sebagai Hasan, pelatih PS Karangsari sekaligus makelar taruhan tarkam, berkaki pincang tapi selalu lincah bergerak, bersuara serak meledak-ledak, Agus Kuncoro adalah energi terbesar film ini. Muncul hampir di mana-mana, “tekel-tekel” Agus Kuncoro yang efektif dan tepat sasaran, kerap kali menyelamatkan pemain lain (dan juga keseluruhan film) dari blunder: Yosie Kristanto (yang bermain sebagai Wahyu, sang tokoh utama) yang bermain datar tanpa greget (meski ia memiliki teknik sepakbola yang jauh lebih baik dari Kuno Becker, pemeran Santiago Munez dalam Goal!); para figuran Irfan-Kim-Mathias-Timo yang hampir-hampir seperti zombie; dan scene-scene sepakbola yang mudah ditebak.

Tejo, yang menjadi Darto, ayah Wahyu yang muram, pedagang minuman hangat yang dingin, juga pria yang membenci sepakbola, tidak muncul sebanyak Agus Kuncoro. Tapi, ia—meminjam lagi istilah sepakbola—adalah tipe fantastista Italia, yang mungkin tak banyak memegang bola, tapi sesekali bisa sangat mengejutkan dengan umpan-umpan terobosan atau bola cungkilan. (Tidak selalu berujung gol, tapi pasti akan membuat penonton di pinggir lapangan bersorak kegirangan.) Tak heran, adegan-adegan terbaik di film ini selalu melibatkan Darto. Misalnya, saat Darto berdiri termangu, membelakangi jendela yang di baliknya tampak anak dan istrinya sedang menunaikan salat. Anda tahu, itu bukan hanya wajah manusia yang kecewa dengan dirinya sendiri dan dunia yang ditinggalinya, tapi juga wajah manusia yang kecewa dengan Sang Pencipta. Sementara kemarahan Darto perihal sepakbola, baik itu ditujukan kepada Hasan atau kepada Wahyu, dengan sangat cemerlang berhasil ditransformasikan oleh Tejo menjadi kemarahan kita semua terhadap sepakbola Indonesia—jancuk, asu, dan taek yang memberondong dari mulut Darto adalah jancuk, asu, dan taek kita semua.

Jika Agus Kuncoro bekerja sangat keras menjaga keseimbangan, Sujiwo Tejo memberi ciri khas pada permainan tim (baca, film). Menjadi seorang penjaja minuman hangat di lereng Bromo, Tejo yang orang Jember tak butuh menjadi orang lain untuk menjadi Darto yang Probolinggo. Ia, menurut saya, bahkan tak butuh berakting. Cukup dengan mengeluarkan gestur aslinya dan kosakata bahasa ibunya, Tejo telah secara sempurna menjadi Darto. Dan dengan menjadi dirinya sendiri, Tejo melakukan kerja yang jauh lebih baik di film ini dibanding, misalnya, dengan saat ia bermain terlalu teatrikal dalam Telegram atau terlalu berlebihan dalam Kafir. Tanpa melupakan peran minimal yang berarti besar dari Toro Margen (yang berperan sebagai......, juragan PS Karangsari), juga bahasa lokal yang dipakai hampir di separo film, karakter Darto (yang berlepotan jancuk, asu, dan taek itu) berandil besar menjadikan Tendangan dari Langit lebih berpijak ke bumi—apabila dibandingkan dengan, misalnya, King atau Garuda di Dadaku.

Dalam kacamata penonton sepakbola, melihat Agus Kuncoro dan Sujiwo Tejo dalam film ini seperti melihat Gattuso dan Pirlo dalam Milan-nya Anceloti. Atau—biar tampak nasionalis—seperti Bima Sakti dan Fachri Husaini dalam timnas Indonesia-nya Henk Wullems.

***

Meski tak semengkilap Anceloti dan tak sememikat Henk Wullems, Hanung, dan tentunya si pemilih peran, Zaskiya Aditya Mecca, harus mendapatkan pujian atas permainan Agus dan Tejo. Tapi, mereka harus dipuji karena juga memberi ruang yang cukup untuk seorang legenda seperti Toro Margen dan pemain-pemain muda yang tampak semakin bisa diharapkan, Joshua Suherman dan Jordi Onsu. Itu sedikit menebus “kekeliruan kecil” mereka saat memakai Maudy Ayunda menjadi Indah dan Yosie Kristanto sebagai Wahyu.

Maudy, yang tampil menyentuh dalam Lagu untuk Reina-nya Riri Reza, saya yakini akan jadi aktris yang baik di masa depan. Tapi, ia tampak terlalu Jakarta untuk jadi seorang gadis lereng Bromo, meskipun diembel-embeli putri kepala sekolah. Lagi pula, menaruh wajah gadis kecil yang mengkilap dalam cerita berseting pedalaman tampaknya sudah mulai jadi basi—dua film Arie Sihasale sudah pernah melakukannya.

Soal Yosie Kristanto mungkin sedikit lebih rumit. Dalam kebanyakan film olahraga, katakanlah misalnya Raging Bull atau Ali atau Cinderella Man, pemain utamanya biasanya adalah aktor hebat yang melatih diri untuk secara metodik. Dan itu jelas masalah besar di belantika keaktoran di Indonesia. Karena itu, saya duga, Hanung menempuh jalan sebaliknya: mencari atlet yang bisa digembleng jadi aktor. Yosie jelas punya teknik bola yang bagus, bahkan saya yakin tak kalah dengan Irfan maupun Kim. Selain itu, ia juga punya aksen yang sempurna untuk memerankan Wahyu, bocah Bromo yang bercita-cita jadi pemain Persema. Tapi, sungguh saya agak sulit menemukan bakat aktornya. Kalau intonasinya tepat, mimiknya yang melenceng. Atau kalau mimiknya pas, gesturnya yang entah kemana.

Tapi, lupakan pemilihan Maudy Ayunda dan Yosie Kristanto. Itu cuma kesalahan kecil saja. Toh, saya bahkan bisa memberi pemafhuman pada blunder yang lebih besar: memberi cameo seperti Irfan, Kim, Timo, dan Mathias waktu pampang yang terlalu panjang.

Saya tidak membenci Irfan Bachdim dan adik iparnya itu. Saya juga jelas sedang ingin memuji Hanung. Tapi harus saya katakan, Irfan dan Kim bahkan tak cukup memenuhi syarat sebagai kameo. Mereka cuma gimmick. Mereka bukan bagian dari tim, bukan bagian dari film. Mereka cuma papan iklan di samping lapangan. Mereka tak ubahnya iklan Sozzis dan motor Yamaha pada film-film Dedy Mizwar. Mereka harus segera dilupakan jika kita ingin memberi Hanung tepuk tangan.

Lewat tulisan ini, hal terakhir itulah yang ingin saya lakukan.

1 comment: