Pada pengujung
1994, Maradona, Stoichkov, Bebeto, Francescoli, Laudrup, Zamorano, Hugo Sanchez
dan beberapa pemain sepakbola lainnya, memulai sebuah organisasi serikat pemain
sepakbola internasional.
Para bintang
pertunjukan itu sama sekali tak dilibatkan dari struktur kekuasaan ketika
keputusan-keputusan dibuat. Mereka tidak memiliki hak untuk berteriak “huu..”
kepada manajemen sepakbola lokal, tidak juga menikmati kemewahan yang sering
terdengar dari tahta agung FIFA ketika kue global tengah jadi rayahan.
Siapakah para
pemain? Monyet di sirkus? Ya, mereka bisa jadi berpakaian sutera, tapi bukankah
monyet tetaplah monyet? Mereka tidak pernah dimintai pendapat ketika tiba
saatnya diputuskan tentang kapan, di mana, dan bagaimana mereka bermain. Birokrasi
sepakbola internasional mengubah aturan semau mereka, sementara para pemain tak
punya suara. Mereka bahkan tak bisa mencari tahu berapa uang yang dihasilkan
oleh kaki-kaki mereka sendiri, atau ke mana larinya uang itu.
Setelah
bertahun-tahun mogok dan unjukrasa oleh sarikat pemain lokal, pemain kini
mendapatkan kontrak yang lebih baik, tapi para bakul bola terus saja
memperlakukan mereka tak ubahnya mesin yang bisa dibeli, dijual, dan
dipinjamkan: “Maradona adalah sebuah investasi,” kata Presiden Napoli.
Kini klub-klub
Eropa, demikian juga beberapa klub di Amerika Latin, memiliki staf psikolog,
seperti di pabrik-pabrik. Para direktur tidak membayar mereka untuk menolong
jiwa-jiwa merana (para buruh), tapi untuk jadi pelumas mesin dan menaikkan output.
Apa output (yang didapat dari seorang) atlet sepakbola? Ya seperti output
seorang buruh, meskipun tidak seperti buruh yang digaji tangannya, mereka
digaji kakinya. Faktanya bahwa pemain profesional menawarkan tenaga buruh
mereka ke pabrik pertunjukan untuk ditukar dengan gaji. Harga tergantung
penampilan. Dan semakin mereka memperoleh harga tinggi semakin mereka
diharapkan untuk berproduksi lebih. Dilatih untuk menang atau menang, diperas
keringatnya sampai kering, mereka diperlakukan lebih buruk dibanding kuda
pacuan. Kuda pacuan? Paul Cascoigne suka membandingkan dirinya dengan ayam
pedaging: gerak dikekang, diatur ketat, tindak-tanduk disetel agar melakukan hal
yang berulang-ulang.
Para bintang
bisa memperoleh gaji tertinggi sementara kemegahan mereka dengan cepat menguap.
Klub memang menggaji mereka jauh lebih tinggi dibanding 20 atau 30 tahun lalu,
dan kini mereka bisa menjual nama atau wajah mereka untuk iklan. Namun kejayaan
para pesepakbola idola tak setimpal dengan dongeng-dongeng yang dibayangkan
orang-orang. Majalah Forbes menerbitkan daftar 40 atlet dengan bayaran
tertinggi di dunia pada 1994. Di antara mereka, hanya ada satu pemain
sepakbola, Roberto Baggio dari Italia, dan ia ada di urutan yang nyaris buncit.
*diterjemahkan dari Soccer in Sun and Shadow; trans. Mark Fried; Verso, 2003.
Lalu
bagaimana dengan ribuan di antara ribuan pemain yang bukan bintang? Pemain yang
tidak masuk dalam jajaran kerajaan ketenaran, yang terjebak mutar-muter di
situ-situ saja? Dari setiap sepuluh pemain sepakbola profesional di Argentina,
hanya tiga di antaranya yang bisa hidup layak. Gaji mereka tidak tinggi,
terutama mengingat pendeknya karir sepakbola mereka: peradaban industrial yang
kanibalistik memakan mereka mentah-mentah.
*diterjemahkan dari Soccer in Sun and Shadow; trans. Mark Fried; Verso, 2003.
No comments:
Post a Comment