Oleh Mahfud Ikhwan
1/
Teman serumah
saya, penulis di blog ini, adalah seorang Mancunian yang gigih. Oleh karena
itu, tak seperti saya dan seorang lain pecinta Munchen (dan itu artinya
pembenci United), ia tak terlalu antusias menunggu Hari Perhitungan itu:
Sunderland vs MU; City vs QPR. Meskipun termasuk fans yang terlalu fanatik untuk ukuran
seorang pembaca The Guardian, ia
tampaknya masih cukup jernih untuk membuat penilaian. MU bukan tim yang paling
pantas untuk mendapatkan gelar liga ke-20-nya. Karena itu, ia terlambat
menonton saat kick-off dimulai.
Tak ada yang
berubah dari mimiknya saat ia dikabari bahwa MU telah unggul atas Sunderland di
Stadium of Light, sementara City masih belum mencetak gol. Namun, ia juga tak memberi
reaksi apa-apa saat Zabaletta membuat gol pertama untuk City pada pengujung
babak pertama di Etihad. Ia balik lagi ke kamarnya untuk memenuhi panggilan
akademiknya—mungkin, lebih tepatnya, menyembunyikan diri dari kenyataan.
Dan ia tak
kembali ke depan layar televisi saat kick-off babak kedua; saya pun terlambat
mengembalikan saluran, sehingga melewatkan gol Cisse—gol yang memberi harapan
kepada jutaan penggemar United di seluruh dunia sekaligus membuat kecut para
pembencinya. Usai Mackie membuat gol mengejutkan, yang membuat QPR akan
mendapatkan tiga poin pertamanya (dan terakhir) di kandang lawan musim ini dan,
sebaliknya, City kehilangan poin tiga di kandang untuk pertama kalinya
sekaligus sangat mungkin gelar juaranya, sang Mancunian yang sudah berhenti berharap
itu kembali ke depan televisi. “Ada SMS, katanya 1-1,” katanya dengan
menyeringai. Dan ia melonjak ketika melihat grafik skor di pojok kanan atas
malah sudah menunjukkan angka 1-2. Keajaiban di menit-menit terakhir yang pernah
direngkuh MU di Camp Nou tahun 1999 tampaknya membayang di pelupuknya. Bayangan
yang sama pula menghantui saya dan—terutama—penggemar Munchen di sebelah saya. Joleon
Lescott akan memukul-mukul lapangan dengan wajah banjir tangisan, sebagaimana 13
tahun lalu Samuel Kuffour melakukannya. Si Munchen itu bahkan agak terlalu jauh
dengan mengatakan, kini tugas Mancini bukan hanya memenangkan gelar liga
Inggris petamanya, tapi juga menyelamatkan nyawa Lescott.
10 menit terakhir
Liga Inggris musim ini adalah neraka bagi para pembenci United, apalagi jika di
depan Anda ada yang siap-siap merayakan pesta. Sembari tertawa mengejek untuk
setiap peluang City yang gagal, juga tepisan Paddy Kenny yang malam itu
tiba-tiba tampak seperti Gianluigi Buffon, Si Mancunian itu sudah mulai
mengoceh tentang tulisan yang akan dibikinnya jika United juara.
Tapi, tentu saja,
sebagai seorang “pengamat sepakbola yang tinggal di Leiden”—begitu label yang
didapatnya belakangan ini—ia tak kehilangan kejujurannya bahwa City adalah tim
yang paling layak juara, lebih dari tim mana pun di Liga Inggris. Jika City
gagal jadi juara, maka “ketidakadilan sepakbola” yang kedua setelah gagalnya
Barca ke final Liga Champions akan terulang kembali. Karena itu, sembari
menertawakan sepakan-sepakan ke arah gawang pemain tengah City yang mulai ngawur, ia mempertanyakan
tak adanya Kolarov di sisi kiri City. Juga terlambatnya Mancini memasukkan
Dzeko dan Balotelli. Ketika Dzeko membuat gol penyama kedudukan pada menit
ke-91, ia memujinya sebagai buah kerja keras. Tapi, sekali lagi, ia mengkritik
Mancini yang terlambat ambil keputusan, terutama untuk mamasukkan Balotelli.
Tak peduli dengan
pendukung MU yang mulai kuatir itu (kecuali bahwa ia akan membanting benda di
depannya jika gol ketiga City terjadi), saya dan si pendukung Munchen kembali
bersemangat. Seakan para pemain City ikut duduk bersama kami di depan tv, kami
ingatkan kepada mereka bahwa gelar terhebat United didapatkan lewat dua gol
telat. Jadi, itu mungkin juga satu-satunya cara untuk memberi “kekalahan paling
telak dalam dekade ini” bagi United. Ketika dua menit kemudian sodoran
Balotelli sembari menjatuhkan diri mencapai kaki Aguero, lalu dengan dua
sentuhan nama terakhir itu menghantamkan bola ke arah tiang dekat QPR, dan gol,
saya meledak, meneriakkan salah satu teriakan “gol!!!” paling keras yang pernah
saya lakukan—yang jelas lebih keras dibanding saat merayakan gol hebat Cristian
Gonzales ke gawang Filipina langsung di Senayan.
Sang Mancunian
terdiam sebentar, untuk kemudian manggut-manggut dan memberi tepuk tangan kecil
bagi gelar Liga City yang ketiga. “Bagus, bagus,” katanya.
2/
Seandainya saya
fans United, tepuk tangan kecil pasti akan saya berikan di akhir pertandingan
itu. Untuk gelar City yang ketiga, dan tentu untuk tim saya, United, yang
kehilangan gelar hanya oleh selisih gol. Tapi, terutama, untuk “hal-hal baik”
(dalam bahasa agamanya biasa disebut hikmah) yang mungkin akan muncul usai musim
tanpa gelar ini.
Kalau saya fans
United, saya paling tidak memiliki tiga hal yang patut disyukuri atas gagalnya
gelar Liga ke-20 United ini.
a. United terhindar dari gelar yang tak
seharusnya diraih
Menang meski
bermain buruk atau mendapatkan gelar walau dengan performa amburadul biasanya
menjadi ciri tim-tim dengan tradiri juara. Mental kuat, arogansi, dan
kepercayaan diri seringkali mengalahkan teknik dan taktik—itu sulit dibantah.
Brazil 1994, Jerman 1996, dan Italia 2006 adalah contohnya. Juga, emm... United
2010-11. Tapi, jika saya fans United, saya tak akan mengijinkan itu terjadi
lebih banyak, apalagi lebih sering, terjadi pada klub saya. Saya tak akan
terlalu senang jika klub yang saya dukung memperoleh gelar lebih karena lawan
kehabisan bensin, dilanda cedera pemain, apalagi sial. Ya, memang itu masih menjadi
bagian dari sepakbola—jika mengutip Mou. Tapi, United bukanlah sekadar bagian
dari sepakbola, tetapi bagian yang sangat istimewa dari sepakbola. Dan, Anda
boleh katakan, hal istimewa tak boleh terlalu banyak dicampuri hal-hal biasa.
Kejar-kejaran
angka dalam kompetisi tentu saja biasa dalam sepakbola. Kita menyaksikannya
sepanjang tahun. Namun, menyalip rival dari ketinggalan lima angka untuk
kemudian memimpin delapan lalu tersalip lagi bukanlah tabiat United. Jalan
mereka untuk menjadi salah satu, kalau bukan yang nomor satu, klub Inggris Raya
terbesar sepanjang masa bukan seperti itu. MU menjadi yang terhebat selama 20
tahun Liga Inggris terutama karena cara mereka merengkuh juara. Mengejar 12
angka dari Newcastle pada musim 1995-96 atau 8 angka dari Arsenal pada musim
2002-03 kemudian mengunci gelar, itulah trade
mark United.
United adalah
tempat keajaiban diciptakan, dan bukannya ditunggu. Karena itu, jika saya fans
United, saya akan sedih ketika mendengar Sir Alex, dengan sedikit melankolis (dan
melupakan bahwa belum lama ini ada pertengkaran di antara mereka), mengharapkan
Mark “Sparky” Hughes, bekas kaptennya yang kini menukangi QPR, membuat
keajaiban di Etihad. Ya, ia dulu membuat keajaiban bersama Aberdeen saat
mengalahkan Real Madrid di final UEFA Cup 1986. Tapi, sekali lagi, keajaiban
itu dibuatnya sendiri, bukan diberikan oleh orang atau tim lain. Setan (Merah)
tak perlu mengharapkan nasib baik dari Tuhan, bukan?
Juga, kebesaran,
gelar-gelar, kekaguman yang didulang United, paling tidak sejak pertama mereka
mendapatkan piala bersama Fergie, selalu ditumpukan di atas pundak kokoh
pemain-pemain dengan karakter hebat seperti Bryan Robson, Eric Cantona, atau
Roy Keane, dan Vidic untuk yang terakhir. Karena itu, sedikit sulit
membayangkan jika titel juara United akan ditentukan oleh seorang pemain sayap
yang larinya sempoyongan macam Ashley Young—dengan memberi delapan gol United
dari titik penalti, lebih dari pemain pemain mana pun di Liga Inggris. Ya, jika
gol Mackie di Etihad tak berbalas dua, mungkin gelar akan digengam United.
Tapi, di akhir musim, atas komentar pembelaannya terhadap Young, para kritikus
MU mungkin akan mencari-cari hubungan—meski dengan ngawur—antara Fergie dan
Moggi.
Kekalahan dua
kali dari rival sekota, salah satunya dengan angka yang tak terbayangkan sebelumnya, boleh
saja dianggap tak ada. Juga gol Wigan yang tak disahkan, penalti Fulham yang
tak diberikan, penalti-penalti aneh yang diganjarkan pada QPR dan Villa (yang
hampir saja mendepak keduanya dari EPL), ada baiknya lupakan saja. Tapi, disamai
Everton 4-4 setelah memimpin dua gol, di Old Trafford lagi, menunjukkan hampir
semuanya: tahun ini bukan waktunya United.
b. Sir Alex akan bertahan lebih lama
Sebuah tulisan di
Guardian menyatakan bahwa kehancuran
United akan menjelang segera. Sir Alex tak akan selamanya di bangku cadangan
United, karena ia sudah begitu lama melakukannya. Dan, semua penggantinya,
siapa pun dia, akan dihantui oleh sejarah kebesaran Sir Alex yang tampaknya hampir
mustahil diulangi.
Oke, mari terus
berhitung siapakah yang dalam lima tahun ke depan akan meneruskan tampuk
kepemimpinan Fergie di Old Trafford. Apakah David Moyes (yang memiliki banyak
kesamaan dengan Fergie) atau Ryan Giggs (yang jadi pemain yang paling lama
bersama Fergie di United) atau Gery Neville (yang sedang mulai merintis karir
kepelatihannya) atau nama-nama dengan sejarah besar juga macam Mourinho atau
Guardiola. Tapi, jika saya fans United, saya akan bersyukur karena pergantian
itu tampaknya tak akan terjadi pada musim depan—mungkin malah tidak terjadi 3-4
musim ke depan. Kekalahan dari City pada musim ini adalah salah satu faktornya. Jelas tak seperti Guardiola, Fergie tak akan mundur saat ia menderita kekalahan. (Karena itu, United
diberikannya 12 gelar Liga, 5 Piala FA, 4 Piala Liga, 4 gelar Eropa, dan 2
juara dunia.) Sesumbarnya bahwa United tak akan belanja gila-gilaan sebagaimana
City dan tetap mengedepankan pemain muda adalah psywar paling awal Fergie untuk musim depan. Dan, itu artinya, ia tak akan ke mana-mana. Ia menerima
tantangan Mancini, yang disemprotnya awal bulan ini, agar tak buru-buru
meninggalkan Premier League. Kita masih akan melihatnya mengunyah permen karet di pinggir lapangan, hingga bertahun-tahun ke depan.
Dan, sejauh ini,
bertaruh atas United dengan Fergie berada di dalamnya tetaplah pertaruhan yang
paling aman. Sebab, seperti yang sudah-sudah, itu berarti, masih akan ada gelar
Liga yang sangat mungkin diberikannya kepada fans United.
c. Saat yang tepat bagi datangnya gelandang elegan
atau pemain berpengaruh
Pada awal musim
1995-96, komentator sepakbola Alan Hansen, mencemooh skuad remaja United yang
baru saja menjual para bintang berumurnya seperti Paul Ince, Andrei Kanchelskis,
dan Mark Hughes. “Anda tak akan memenangi apa pun dengan sekawanan bocah,”
begitu kata Hansen. Dan Fergie, dengan pemain macam Giggs, Beckham, Butt,
Scholes, Neville bersaudara, menjawabnya dengan gelar juara, juara, dan gelar
juara. Dan, sejak saat itu, United, bersama Ajax dan Barca, dianggap sebagai
klub-klub teladan yang membangun tulang punggung timnya dari pemain binaan
sendiri.
Tapi, yang
mungkin banyak dilupakan oleh fans United, termasuk mungkin oleh Fergie
sendiri, apa yang dikatakan Hansen ada benarnya. Selama berada di bawah asuhan
Fergie, para bocah produk dari akademi di Carrington itu mungkin memenangkan
gelar lebih banyak dibanding pemain-pemain akademi sepakbola manapun di dunia.
Tapi, selama itu pula, di antara kerumunan kawanan bocah itu, Fergie, sengaja
atau tidak, selalu menempatkan beberapa “pria matang” dengan karakter yang amat
menonjol—dan yang pasti bukan produk Carrington.
Hal inilah yang tampaknya
lalai dibenahi oleh Fergie musim ini. Dan jika saya fans United, kegagalan pada
musim ini saya harap jadi pelecut bagi Fergie untuk mencari “pria matang” yang
hilang itu.
Sembari sedikit
mengesampingkan banyak gol para striker yang biasanya dibeli jadi oleh Fergie
macam Andy Cole, Dwight York, Teddy Sheringham, Ole Sokjeaer, Van Nistelroy,
hingga yang terakhir Rooney dan Berba, paling tidak kita bisa tunjuk dua nama: Eric
Cantona untuk dekade pertama, kemudian Roy Keane di 10 tahun berikutnya. Pada
King Eric, seorang lelaki berwajah pantai Mediteran namun memiliki mata ala istana
Versailles, bocah-bocah binaan Fergie itu mendapatkan panutan dan juga pengatur
serangan. Pada Keano, bekas petinju dari Cork itu, Beckham dan teman-teman
memperoleh rasa aman, baik dalam arti sepakbola maupun dalam arti sesungguhnya.
Oke, Evra adalah
bek sayap bagus dengan umpan- silang mematikan. Tapi, cara dia menangani
masalahnya sendiri dengan Suarez menunjukkan cara yang sangat berbeda dengan,
misalnya, cara Keane menangani masalah antara Scholes dan Vieira. Itu jelas
menunjukkan level seorang kapten yang berbeda--sebeda Vieira dan Gallas. Rooney, seorang bocah didikan
Everton yang hampir jadi petinju, sebenarnya pemain yang bahkan bisa menggabungkan
antara skil Cantona dan kerja keras Keane, meski kematangannya masih harus terus dibentuk dan dipupuk. Tapi, menempatkannya lebih di
belakang, untuk memberikan umpan-umpan bagi Wellbeck, akan memberinya tanggung
jawab terlalu besar. Lagi pula, hal terbaik yang bisa diberikan Rooney bagi United adalah
gol.
Jadi, United
semestinya memberikan Rooney seorang pengumpan atau gelandang yang membuatnya
tak harus terlalu jauh turun ke belakang. Rooney dan United butuh semacam
Cristiano Ronaldo atau Giggs 10 tahun lalu. Valencia dan Nani tampaknya sedang
berjalan ke arah sana, sementara Young terlihat jadi pembelian yang
gagal—kecuali cara jatuhnya di kotak penalti dihitung sebagai assist. Tapi, lebih dari itu, United
jelas membutuhkan seorang gelandang yang lebih dari sekelas Fletcer dan
Carrick. Ya, ya, mereka tentu gelandang bagus—mana bisa pemain jelek masuk
United? Tapi, dengan sangat gamblang bisa disaksikan, mereka tak cukup sepadan
jika berhadapan dengan Silva, Nasri, Mata, Modric, atau bahkan Jordi Gomez dari Wigan.
Fergie mencoba
memperbaiki timnya dengan memanggil kembali Scholes dari liburan Natalnya
bersama keluarga pada awal tahun. Meski bukan tindakan konyol, itu lebih
mendekati keputusasaan daripada heroisme. (Pemain sehebat Scholes tentunya
kembali untuk juara. Sayangnya, itu tak didapatnya.) Alih-alih mengabaikan
bahwa para pemain hebat yang dihasilkannya telah menua, Fergie harus bisa
memaksa keluarga Glazer membuka lebih lebar dompetnya. Mungkin mereka akan kalah
bersaing dengan City untuk mendapatkan Hazard dari Lille. Tapi, Sneijder pasti
malas untuk bermain di play-off Liga Eropa (yang dulu biasa disebut Piala Intertoto).
Modric juga telah cukup lama menghabiskan karirnya di Spurs dan belum pernah
dapat piala. Jadi, tunggu apa?
Membeli pemain
berpengaruh, sudah jadi, disegani, dengan harga sedikit mahal, tak akan membuat
United tampak seperti City, Fergie. Cantona dibeli mahal dari Leeds, demikian
juga Cole dari Rovers, York dari Villa, Nistelroy dari PSV, Rooney dari
Everton, dan Berba dari Spurs, dan tak seorang pun bilang MU telah membeli
gelar. Sedikit lain jika membeli tiga pemain Dortmund sekaligus. Sebab, dalam
dua tahun ini, Mancini dan City sudah melakukannya dengan empat pemain dari
Arsenal dan dua kapten Villa.
3/
Sayangnya, saya
bukan fans United, dan sepertinya tak akan bisa. Bahkan jika Andrei Kanchelskis
dan Eric Cantona kembali ke Old Trafford sebagai pemain berusia 23. Bahkan jika
Carrington menemukan formula kimia yang bisa membuat Giggs membelah diri menjadi
lima dan tidak bisa tua.
Seperti yang
pernah saya katakan, saya termasuk orang yang paling bahagia saat yang
mengangkat tropi Liga bukanlah Evra melainkan Kompany. Rasanya, saya merayakan gelar
juara City layaknya Indonesia meraih Piala Asia.
Karena itu, bagi
United dan para fans mereka sesungguhnya, lupakan saja tiga “hikmah” versi fans United gadungan itu. Bolehlah
itu dianggap olok-olok, meski itu cuma sedikit dari tujuan tulisan ini. Ya,
saya pun berharap tiga hikmah itu tak pernah benar-benar diperhatikan oleh United
dan para pendukungnya. Karena, menyenangkan melihat mereka menyesali kekalahan
itu berlama-lama. Juga, pengalaman luar biasa ketika menemukan para penggemar
United membuat teori konspirasi tentang dua gol telat di Etihad—sebab, selama
ini, United-lah yang selalu jadi objek teori konspirasi.
Fergie pasti masih akan bermusim-musim lagi bersama United, tapi saya berharap bukan untuk memberi gelar berikutnya, melainkan untuk mengoleksi kegagalan yang lebih banyak. Saya juga punya harapan, keluarga Glazer tak mengeluarkan uang; mereka akan memaksa Scholes dan Giggs bermain sampai usia 43; memperpanjang kontrak Fletcer dan Carrick lebih lama dengan gaji yang dipangkas; dan jika pun mengeluarkan uang banyak, bukannya menemukan Cantona atau Keane baru, semoga mereka menemukan Bebe berikutnya.
Fergie pasti masih akan bermusim-musim lagi bersama United, tapi saya berharap bukan untuk memberi gelar berikutnya, melainkan untuk mengoleksi kegagalan yang lebih banyak. Saya juga punya harapan, keluarga Glazer tak mengeluarkan uang; mereka akan memaksa Scholes dan Giggs bermain sampai usia 43; memperpanjang kontrak Fletcer dan Carrick lebih lama dengan gaji yang dipangkas; dan jika pun mengeluarkan uang banyak, bukannya menemukan Cantona atau Keane baru, semoga mereka menemukan Bebe berikutnya.
Dan, sstt....
tentu saja, doa-doa ini saya rapalkan diam-diam. Kalau tetangga berisik
saja mereka benci, apalagi orang asing yang berisik.
hahahahahahaha.......aseeekkkk tulisannya...ada yang tertohok banget nich...hahaha...
ReplyDeleteHATIB ABDUL KADIR
Mantaaabbbss!! Jempol naik deh..
ReplyDeleteTidak perlu repot-repot mengandaikan diri fans united mas, meski united pada suatu saat merengkuh titel juara...dan tetap menjadi tim besar...
ReplyDeletehehe... kalem, Bos. tulisan ini sama sekali tak hendak--dan tak akan--mengurangi kebesaran United. Jangan kuatir. :)
ReplyDeleteSy heran bgmn andaiandaian anda bs membuat sy melepas sesungging senyum.harusnya sy ckp berandaiandai tsenyum.
ReplyDeleteSy menikmati fanatisme.nikmat d waktu kalah n nikmat d waktu menang.jika punya,tidak berandaiandai punya,klub kesayangan anda pasti tau rasanya.meski itu PSIS ato PSISa
Selalu suka tulisan belakang gawang. Salam dr fans MU, sbg fans MU memang saya lbh suka MU kalah. Kalo MU menang pst musim depan pemaen berkarat macam Scholes masih kepake. No offense masa jaya Scholes sudah lewat
ReplyDelete