Oleh Darmanto Simaepa
Manusia berpikir, Tuhan tertawa: begitu pepatah Yahudi berbunyi. Tampaknya pepatah itu cocok dengan nasib satu pekan 'tragedi menyedihkan' Barca musim ini. Semakin Guardiola terobsesi memikirkan bagaimana cara menyerang paling brilian dan membongkar pertahanan Chelsea, semakin dekat ia dengan kekalahan. Semakin Xavi meningkatkan proporsi mengumpan dan Messi mencoba menembak ke gawang Madrid, semakin banyak frustasi yang mereka dapatkan. Semakin bersemangat mencari celah masuk ke kotak penalti lawan, justru mereka harus mendapati kenyataan gawang mereka sendiri yang kebobolan.
Kisah kegagalan Barcelona musim ini adalah sebuah pertunjukkan akal sehat yang harus rela disingkirkan kekuasaan para dewa sepakbola......
*****
Saya sepakat dengan Franklin Foer yang menyatakan, jika menjadi penggemar Barca, anda harus siap-siap patah hati. Sejarah Barca adalah sejarah panjang tentang destruksi diri, fatalisme dan melankoli. Kesedihan ini, pada tahap yang paling awal, berasal dari kekeraskepalaan untuk memegang filosofi dan sejarah yang mereka bangun sendiri. Mereka mengklaim sebagai és més que un club: bukan sekadar tim sepakbola. Citara rasa sepakbola Barca, konon berkait dengan kecanggihan selera seninya, gelora nasionalisme kosmopolit Catalunia, dan campuran kecerdikan beserta pragmatisme pedagang Mediterania.
Warna bendera merah-biru Barca terinspirasi tricolore revolusi Perancis. Bendera inilah yang menjadi simbol perlawanan melawan dominasi tuan tanah Kastilia di masa perang sipil dan kediktatoran Franco. ‘Kemenangan Barca, dalam sejarahnya,’ kata penulis kontemporer terbesar Spanyol, Luis Vazques Montalban dalam novelnya tentang Barca, Offside, ‘adalah kemenangan warga Athena atas Sparta’. (Sebentar lagi kita akan tahu, bahwa Barca dekat dengan kisah Athena bukan karena sikap heroiknya.....)
Jadi, dalam sejarah Barca, ada semacam tautan antara permainan dan sejenis romantika. Sepakbola bukan lagi sekadar sepakbola. Sepakbola mewakili aspirasi, gaya hidup dan selera sebuah bangsa pedagang yang makmur, pintar, dan berakal sehat. Bagi pemuja humanisme, Barca bisa dianggap mewakili pencerahan manusia modern. Konon, akal sehat Barca dan Catalunia menyelamatkan konsep nasionalisme inklusif melalui sepakbola. Jika sepakbola Eropa modern selalu terhubungkan dengan kekerasan, rasisme, dan kerusuhan, maka tim ini adalah tim yang paling bersih dari riwayat hitam keganasan dan kebrutalan suporternya. Pemujanya yang fanatik bisa saja frustasi, tapi tidak pernah mentransformasikannya menjadi anarki atau berperilaku layaknya begundal keji.
Bagi bangsa Catalunia, patriotisme dan kosmopolitanisme bisa saling mengisi dengan sempurna. Anda mencintai negeri anda sendiri tetapi bisa juga bisa dicintai bangsa lain. Anda bisa nasionalis dan menganggap bangsa anda punya keunggulan sekaligus menyerap pengaruh asing. Konsep nasionalisme inklusif ini diterjemahkan ke dalam kebijakan tim dimana anda bisa mengkombinasikan didikan akademi La Masia dengan pemain terbaik dari seluruh penjuru dunia. Secara sempurna konsep ini ditunjukkan penguasaan permainan dan dominasi tiki-taka sementara lawan yang kebingungan dan para pendukungnya terpesona oleh sihir ketepatan umpan Xaviesta bisa mengagumi dan memujinya. Inti semangat abstrak bangsa Catalunia mewujud dalam bentuk konkritnya melalui permainan sepakbola.
Dengan keteguhan memegang filosofinya dan romansanya, Barcelona bisa dengan gampang menjual seniman terbaik seperti Maradona, Luis Figo, atau Ronaldo yang memilih pendapatan tambahan dari Nike atau Adidas daripada memakai kaos tanpa iklan. Klub ini akan memecat pelatih seperti Helenio Herera atau Luis van Gaal yang dinilai tidak memiliki kualitas artistik dalam taktiknya dan kosong nilai estetika meskipun memberi banyak piala. Para pendukung bisa bersiul mengejek sepanjang pertandingan kepada timnya sendiri yang bermain buruk meski menang, dan bisa bertepuk tangan dan bernyanyi gembira sejam lebih setelah pertandingan meski timnya kalah.
*****
Namun, jika riwayat Barca mirip kisah Athena seperti yang diungkapkan Montalban, barangkali, ironisnya, bukan pada heroismenya, tetapi dari tragedinya. Dari riwayat panjang prestasi klub yang semenjana, Barca menerima kekalahan dan kesedihan jauh lebih banyak dari pada keagungan filosofi permainan yang berusaha mereka pegang dan medali kemenangan yang mereka inginkan.
Kesedihan dan melankoli Barca konon terhubungkan dengan sebuah pertandingan finalnya yang pertama di Eropa yang penuh melodrama. Saat melawan Benfica di stadion Wankford, Berne tahun 1961, Barca adalah tim favorit. Mereka memiliki Luis Suarez, pemain terbaik Eropa tahun itu dan juga dua dewa sisa Magical Magyar, Sandro Kocsis dan Zoltan Csibor. Di Youtube anda bisa mengunduh dan menyaksikan bagaimana mereka menguasai bola, mendikte permainan, dan menekan lawan. Sisi dramanya: mereka kalah oleh sebuah gol bunuh diri dan serangan balik.
‘Sampai hari ini,’ ujar Luis Suarez, yang saat itu menjadi pemain terbaik Eropa namun gagal mencetak gol untuk Barca, ‘kami tidak tahu kenapa bisa kalah’. Orang Catalunia menamai pertandingan itu sebagai Madre mia, suatu istilah untuk menyebut suatu peristiwa yang mustahil terjadi namun terjadi. Kekalahan itu sulit diterima karena tidak ada penjelasan yang memadai tentangnya.
Pertandingan-pertangingan liga Champion Barca selalu identik dengan Madre mia ini. Barca kalah dari Steua Bucharest dalam final Champions kedua tahun 1986 lewat drama penalti dimana 4 pemain tim nasional Spanyol gagal menyarangkan tendangan dua belas pasnya. Pun begitu dengan malam berakhirnya era The Dream Team Cruijff. Sebelum pertandingan Cruijff mengatakan bahwa tidak mungkin timnya bisa kalah dari Milan. Dengan jumawa, seperti yang ditulis Sid Lowe secara melankolik dalam Barcelona vs Milan revisited: The night in 1994 the Dream died, Barca merasa sudah juara tanpa harus mempersiapkan taktik dan strateginya. Namun apa daya, tim Barca yang dianggap 'immortal' itu akhirnya remuk redam oleh Milan yang tanpa kapten dan bek terbaiknya, Baresi dan Costacurta. Dihidupi oleh tragedi ke tragedi lainnya, pendukung Barca sangat lekat dengan fatalisme dan pesimisme.
Bagi pendukung Barca, apa yang dibayangkan salah akan menyebabkan semuanya salah. Jadi mereka memiliki mentalitas pesimisme yang menjadi bagian dari DNA-nya. Jika boleh spekulatif, saat melihat Messi tidak ceria dan sering garuk-garuk kepala melawan Chelsea, pendukung Barca tampaknya tahu apa hasil akhir pertandingannya. Sikap fatalis ini konon ada hubungannya dengan perasaan dikorbankan saat Generalissimo Franco memihak Madrid. Barca memiliki inferioritas dan irasionalitas atas bayang-bayang konspirasi yang direkayasa untuk mengalahkan mereka. Ketika Franco tidak ada lagi, maka dewa-dewa di langitlah yang menjadi tertuduhnya.
Jika melihat benar-benar apa yang terjadi dalam pertandingan melawan Chelsea, anda tidak akan menemukan penjelasan dalam aspek permainan sepakbola. Pemain terbaik anda mendapatkan penalti yang sangat jarang digagalkannya. Tim anda menguasai bola, mendikte lawan, unggul jumlah pemain, dan mendapat peluang melimpah. Tetapi anda tetap kalah.
‘Saat melihat lagi pertandingan melawan Chelsea,’ kata Guardiola dalam wawancara hari Jumat, ‘Saya masih tidak mengerti kenapa kami tidak ke final. Tidak ada yang salah dalam peramainan kami’. Dia tak bisa menjelaskan Ramirez mencetak gol seperti Messidan tiba-tiba Torres berada di ruang dan waktu yang tepat untuk menerima bola sapuan Ashley Cole. Pendukung Barca akan menyebutnya Madre mia.
Diantara warga Catalunia, Guardiola barangkali adalah orang yang paling tahu tentang kesedihan dan Madre mia ini. Ia, tak sanggup menerima derita dan tekanan lebih banyak lagi. Saya kira, terlalu banyak ia menangis untuk Barca. Ia mendapatkan pukulan pertamanya sebagai laki-laki dewasa saat memimpin the dream team melawan Milan itu. Ia menangis saat, teman terbaiknya, kiper Andoni Zubizaretta, pergi ke Mestalla pasca ‘lonceng kematian yang sunyi di kamar ganti Athena’. Lalu, ia menangis tak lama kemudian, ketika pemain yang paling dikaguminya, Michael Laudrup bergabung dengan Real Madrid karena kecewa tidak mendapatkan kesempatan turun di partai final terakhirnya.
Guardiola yang memiliki DNA Catalunia dalam setiap sel darah merahnya tahu bahwa tragedi selalu berimpit dengan klubnya. Kekalahan-kekalahan Barca selalu menyakitkan dan meminta korban. Jadi saya tidak terkejut ketika mendengar kalimatnya dalam jumpa pers pasca kekalahan dari Chelsea. ‘Ini malam yang menyedihkan,’ kata Guardiola pasca tiga kekalahan beruntun pekan itu, ‘tapi kita akan mendapatkannya jauh lebih banyak’. Ia mundur karena, jika terus memaksakan diri sendiri, ia berpotensi mendapatkan tragedi yang pernah dialami oleh Cruijff atau Helenio Herera.
*****
Barangkali, kisah Barca dan Madre Mia-nya berasal dari sejenis obsesi akal sehat yang terlalu berlebihan dalam sepakbola. Konon, evolusi permainan sepakbola, pada puncaknya, ada dibawah kendali pikiran Guardiola, umpan presisi Xavi, dan penyelesaian akhir Messi. Barca yang terobsesi dengan sejenis filosofi, selera permainan seperti kualitas lukisan Salvador Dali, dan kecanggihan taktik hasil rancangan gedung dan jembatan ala Gaudi, adalah kisah rencana-rencana dan akal sehat manusia yang berusaha melawan kuasa para dewa sepakbola.
Saya merasa ada hubungan antara keangkuhan filosofi permainan Barca dengan sebuah wawancara panjang FourFourTwo dengan Xavi beberapa tahun lalu. Dari Xavi, saya mendapatkan tambahan perbendaharaan kosa kata bernama seny. Ini adalah istilah yang mewakili karakter nasional catalunia yang bisa diterjemahkan kombinasi antara pragmatisme dan kecerdikan. Pendek kata, seny setara dengan istilah peretongan.
Permainan tiki-taka Xaviesta, taktik memanfaatkan ruang, kombinasi permutasi posisi dan pressing ala Guardiola, dan statistik gol Messi adalah representasi istilah seny dalam lapangan sepakbola. Jika permainan sepakbola jenis ini disebut seni, maka seni ini bukan seni primitif yang mengandalkan insting dan imajinasi belaka. Ini adalah sejenis permainan yang muncul dari akal sehat: dipikirkan, dianalisis, dan dilatih. Bukan kebetulan jika Dani Alves, Gerard Pique dan del Bosque menyebut Guardiola sebagai pelatih yang tidak hanya melatih tetapi juga pemikir.
Kita semua tahu kisah-kisah berakhir sedih para pemikir dan pemuja akal sehat. Dari Socrates hingga Galileo, dari Ibnu Arabi hingga Tan Malaka. Dan kita tahu kisah-kisah manusia yang berpikir dan para dewa yang tertawa dalam tragedi Yunani. Barca, dengan akal sehatnya, dengan filosofinya, dengan kepercayaan teguhnya, dengan segala kebrilianan taktik dan tekniknya, tetap saja harus menerima hal-hal yang tidak bisa dijelaskan. Dalam sepakbola, akal sehat dan seny tidak akan selamanya memenangkan piala.
Empat tahun penuh dengan gelimang medali dan kesuksesan bisa saja membutakan prinsip dasar sepakbola yang juga punya wajah irasionalitasnya: kejutan, keajaiban, kebruntungan dan kisah-kisah yang berada di luar akal sehat. Lewat dominasi Barca, para pecinta sepakbola lupa bahwa orang Jawa telah lama menemukan kebenaran ini: orang pintar akan dikalahkan orang yang berusaha keras, dan orang yang berusaha keras akan dikalahkan orang bernasib baik.
Seperti dalam drama-drama Sopochles dan Eurepides, kita akan tahu kisah akhirnya: dewa akan menang, menulis nasib sedih dan menghukum manusia. Teman sebelah kamar saya menulis di dinding fb-nya begini: sesungguhnya tuhan tidak menyukai hal-hal yang berlebihan, termasuk dalam penguasaan bola dan ketepatan umpan. Saya bisa menambahkan selorohnya: ‘Barca bermain dan para dewa sepakbola tertawa...’
mantap! :)
ReplyDelete