Tuesday, July 12, 2016

Sebelas Hal Yang Diberikan Portugal

Oleh Darmanto Simaepa
 

Sepakbola memberi dunia apa yang tidak diberikan oleh filsafat atau matematika. Ia tidak menawarkan hukum pasti atau logika. Lebih hebat dari sastra dan seni, sepakbola juga bisa memberi tragedi paling kejam dan drama paling mengharukan.


Dewa sepakbola telah memberi kita Portugal.


Bagi pembencinya, keberhasilan Portugal memberi rasa pahit yang tahan lebih lama dari empedu. Namun, bagi warga dan pendukungnya, ia memberi rasa manis yang berlipat ganda dari madu. Ia menghadiahi kita kegembiraan dan frustasi, penyangkalan dan penerimaan. Ia mengingatkan kita untuk berhati-hati dengan rasa cinta dan rasa benci.


Dewa sepakbola mengirim Portugal untuk memberi kita….


1# Komedi.


Eropa punya juara yang tak pernah menang di babak kualifikasi. Ia juga mengenalkan dunia tim yang bisa pulang membawa piala hanya dengan satu kemenangan di waktu normal. Semuanya dipentaskan lewat panggung besar dan kedodoran yang cukup bagi 24 peserta stand-up komedi yang tidak harus melawak, menari atau melakukan hal-hal yang tak perlu. Cukup dengan berdiri tanpa ekspresi—tidak menyerang juri atau tim yang lain—tiap peserta bisa lolos ke babak selanjutnya dan jadi juara. Panggung Piala Eropa memberi kesempatan bahkan bagi aktor berbakat yang mematung dan termangu atau peserta medioker dengan lawakan garing dan tak lucu untuk pulang membawa medali.


2# Makna keberuntungan.


Orang bodoh akan kalah sama orang pintar. Namun, orang pintar akan kalah sama orang yang beruntung. Kroasia jelas lebih pintar. Albania juga. Namun Portugal mendapat keberuntungan besar ketika Islandia mencetak gol di menit-menit tambahan waktu ke gawang Austria atau ketika tandukan Perisic menerpa tiang gawang beberapa detik sebelum serangan balik mematikan itu.


Tanpa keberuntungan itu, Austria yang akan melaju dan Portugal tidak akan berada di posisi ke tiga, yang menghindarkan mereka dari pool yang diisi Jerman, Inggris, Prancis dan Italia. Tanpa sundulan ke mistar gawang, Kroasia yang akan juara piala Eropa sementara pemain Portugal akan menikmati liburan lebih awal.


Namun, jelas Portugal bukan hanya mengandalkan keberuntungan dan pengandaian. Portugal adalah ‘órang’ yang eling. Mereka eling mereka bukan Jerman. Dan tidak sedikitpun mereka berniat menjadi Belanda. Mereka eling dari mana asal mereka. Bahwa mereka tidak punya striker menakutkan dan kecepatan sayap-sayapnya telah merosot.


Dan di atas semuanya, mereka eling, bahwa tim yang juara adalah tim yang menang di pertandingan terakhir, bukan yang menang di babak sebelumnya.


3# Dongeng bahagia.


Kere munggah bale. Petruk jadi Raja. Itu bukan hanya cerita wayang di tanah Jawa. Íni juga bukan dongeng moral. Coba tanya Pepe. Betapapun akting buruknya dan aksi brutalnya selama ini diabadikan oleh kamera dan dijadikan rujukan tiap kita bicara tentang pemain yang paling menjijikkan di dunia, itu tak mengubah fakta bahwa ia adalah bek terbaik turnamen Piala Eropa.


Jika tidak semua orang bahagia dengan tukang kayu menjadi Presiden, pasti jauh lebih sedikit orang yang suka melihat Pepe mengangkat piala. Apapun opini orang, meme di sosial media, atau siulan di stadion, tidak ada yang bisa menyangkal bahwa Pepe bermain dengan lugas dan cerdas. Ia berhasil mengkombinasikan agresifitas dan kedisiplinan.


Ia adalah tokoh yang tertawa di halaman terakhir buku dongeng sepakbola. Setelah halaman terakhir sudah dibalik, kini ia bisa meludahi wajah Gary Lineker (yang menjulukinya si kontol besar)—atau wajah kita semua—tanpa takut untuk diberi kartu merah. Ya, ia sekarang bisa melakukan apa saja. Ia raja sepakbola Eropa.


Dongeng itik rupa yang menjadi angsa cantik jelita sebenarnya bukan milik Eder. Pepe lebih berhak mendapatkannya


4# Misteri.


Wajah sepakbola tak selamanya bisa diraba. Ia selalu menjadi misteri. Alat untuk meneranya semakin canggih—statistik, GPS, pemandu bakat, dan analis jempolan. Tapi, ketika sepakbola diletakkan di atas meja bedah dan dikuliti, ia selalu bisa berkelit dan pergi meninggalkan teka-teki.


Dalam jarak sekitar satu jam, tangisan nestapa si pahlawan besar berubah menjadi tangisan suka cita. Bayang-bayang kegagalan dan kekecawaan terbalik menjadi kemenangan akbar. Kekhawatiran dan kecemasan berganti menjadi daya kreatif. Justru ketika ancaman paling besar dari Portugal menghilang, Prancis linglung. Semakin bertambah menit, Prancis yang terlihat percaya diri di awal-awal, semakin lama semakin ragu dan putus asa.


Sebaliknya, Portugal justru bermain bagus, mengalir, dan kreatif tanpa pemain terbaik dunia. Mereka keluar menyerang dan punya banyak peluang justru ketika tanpa pemain terbaiknya. Nani bermain semlohai ketika beban besar ditaruh dipundak dan lengannya.


Seperti lahir, jodoh dan mati, nasib Portugal jelas misteri sepakbola ada di tangan tuhan—meski kita bisa bertanya, tuhan siapa dan yang mana?


5# Tangan-tangan tak terlihat.


Apa saja yang digerakkan oleh “tangan-tangan tak terlihat” akan memberi berkah dan petaka sekaligus. Misalnya, “tangan-tangan tak terlihat” yang dipercaya oleh ahli politik-ekonomi turut menciptakan kemakmuran sekaligus kemiskinan.


“Tangan-tangan tak terlihat” ini beroperasi di mana saja. Di sekeliling kita, mereka membuat pria-pria buruk rupa dan kasar perangai kerapkali tetap digilai banyak perempuan cantik dan baik hati. Tangan-tangan yang sama mengirim pria mapan, cakep dan berbudi ke lorong sunyi bernama kesepian tanpa jodoh sampai mati.


Dulu, “tangan-tangan tak terlihat” ini punya tempat singgah favorit di Jerman. Mereka menghadiahi banyak piala bagi Jerman dengan permainan membosankan dan menjengkelkan. Ketika Jerman bersolek dan menjadi rupawan, “tangan-tangan tak terlihat” ini pindah ke arah selatan.


Kini, tangan-tangan tak terlihat itu menyentuh Portugal dan mengucapkan selamat tinggal kepada tim-tim yang penuh talenta, seperti Belgia dan Kroasia.


Seringkali, kita menganggap tangan-tangan tak terlihat ini berlaku tidak adil. Tidak, ia sangat adil dengan satu hukum: siapa yang bekerja paling keras dan berhasil mengeksploitasi kekayaannya dalam dunia kompetitif, dialah pemenangnya.


6# Keadilan.


Bertahun-tahun dilimpahi pemain berbakat, kreatif, dan rentetan generasi emas, Portugal tak pernah berhasil menggenggam trofi. Dua belas tahun silam, Otto Rehhagel dipilih oleh dewa-dewi Yunani dikirim untuk meremukkan pemain-pemain terbaik dunia dan mematahkan hati bangsa Portugal.


Di tahun 2016, Dewa-dewi yang sama menyeimbangkan timbangan. Namun mereka telah bekerja jauh sebelumnya. pertama-tama, mereka mengirim Fernando Santos ke Athena untuk bekerja dan belajar di liga Yunani.  Kemudian mereka membekalinya dengan paket komplet: strategi, taktik, pendekatan, dan terutama transplantasi dan ekspresi wajah Otto Rehagel.


Dewi keadilan memutuskan untuk memutar roda nasib. Portugal juara dengan cara Yunani.


7# Pahlawan.


Maaf pecinta sepakbola, si pahlawan sepakbola kita ini bukan tipe pria budiman, santun dan rendah hati. Ia seorang pekerja keras, suka caper, dan punya tekat kuat.


Anda pasti tahu. Ia bukan Lionel Messi.


Pahlawan kita ini mirip tetangga yang suka pamer di acara hajatan. Ingin selalu ingin tampil. Dari membantu menata kursi, mencek son-sistem, hingga menerima tamu. Bahkan ketika kakinya keseleo, ia tetap ingin di berada depan. Hebatnya lagi, dia juga bisa tampil di panggung memberi sambutan dengan rambut klimis dan jenggot cukuran.


Banyak orang tidak suka. Tapi karena acaranya sukses, orang tak bisa berkata apa-apa. Pemilik hajatan akan terus mengulangi ucapan ‘pesta tak bisa sukses tanpanya”. Ia akan selalu bisa mengklaim bahwa tanpa kecekatan dan otot-otonya, pesta tak akan bisa terselenggara dengan seksama.


Pahlawan tidak ditentukan oleh kabaikan, pujian dan amalan. Kita tahu semua, apa yang kita sebut pahlawan adalah orang-orang hebat yang bisa memaksa dunia berhutang pada sikap altruistiknya dan menghormati kerja keras yang telah dilakukannya.


8# Imsonia dan mimpi buruk.


Kita semua ingin akhir turnamen yang bagus dan indah, sehingga ketika pergi naik ke ranjang di pagi hari, kita merasa senang dan tidur dengan hati riang. Apa daya, Portugal memberi kita imnosia dan mimpi paling buruk.


Gol Quaresma, sundulan Perisic, kecerobohan Austria, kegagalan Giroud dan tendangan Gignac menyentuh mistar akan datang-pergi silih berganti di kepala kita. Gol Eder datang menghampiri, mata akan enggan terpejam dan jantung berdetak kencang tak henti-henti.


9# Tragedi.


Sepakbola punya kisah yang lebih tragis dari pada drama Shakespeare, apalagi sekadar naskah-naskah teater garasi. Kita semua tahu bahwa turnamen sepakbola tidak selalu dimenangkan oleh tim yang tampil menawan. Dari awal, kita tahu bahwa selalu ada kejutan dan anomali.


Plot turnamen—dari format 24 sampai kebodohan federasi sepakbola Prancis yang tidak sadar bahwa mereka membuat jadwal yang menguntungkan timnya di saat yang tidak perlu namun merugikan tim mereka sendiri di saat krusial—sudah diramalkan akan berakhir seperti tragedi.


Hampir seluruh elemen turnamen menunjukkan bahwa tim tidak menarik seperti Portugal bisa melangkah ke final. Semakin tinggi harapan atas turnamen yang berakhir dengan kisah bahagia, semakin dekat tragedi menunggu di tikungan.


Kita semua tahu orang seperti Harmoko akan selamat dan hidup tenang di tengah pergolakan. Kita tahu pahlawan seperti Munir akan mati. Tim-tim yang hebat, bermain menawan, dan menghibur mati ditengah jalan. Namun tetap saja, kita masih terus berharap Prancis menang, dan sepakbola indah dan menyerang akan terselamatkan.


Kita semua adalah Placida Linero, ibunda Santiago Nazar dalam kisah Gabriel Marquez tentan pembunuhan yang telah diramalkan. Kita punya firasat dan tahu  nubuat bahwa Portugal akan menikam kita, tapi kita pura-pura bahwa si penikam membawa pisau tumpul.


Ya, si penikam membawa pisau tumpul dan karatan, tetapi ia menorehkan ke jantung terdalam, lantas mengguriskannya dengan cara perlahan-lahan.


10# Air Mata


Benar, air mata yang tumpah duluan adalah air mata si pahlawan dan warga Portugal. (Bisa juga air mata penjudi). Untuk beberapa waktu, orang yang benci pahlawan kita bisa merasakan keharuan. Air mata ini mengucur deras karena ia jebol dari harapan besar dan  mengalir menuju rawa-rawa busuk kegagalan dan cemoohan.


Ini adalah air mata penuh pertaruhan. Jikapun Portugal gagal, kita bisa bersimpati bahwa si Pahlawan telah berusaha. Ia telah bertarung dengan sehormat-hormatnya.


Jika kuasa Tuhan bisa membelah lautan, kuasa dewa sepakbola bisa membalikkan arus air mata yang mengalir ke muara menuju balik ke sumbernya. Tangisan kekecewaan tiba-tiba memercikkan kesegaran. Sungai emosi tiba-tiba lebih dingin dan menentramkan buat Portugal, dan semakin bergolak buat para penonton netral.


Linangan air mata kesedihan itu berubah menjadi air mata suka cita. Dan bagi pendukung yang anti-portugal (termasuk saya), rona mata bahagia melihat air mata si Pahlawan yang tumpah di awal-awal pertandingan, menjadi nanar dan tak berdaya.


Kehebatan Portugal adalah ia mampu mengalirkan air mata penderitaan bagi lebih separuh penduduk dunia, tanpa berpura-pura bahwa mereka ikut menderita.


11# Fernando Santos.


Kita selalu bicara tentang Diego Simeone dan Jose Mourinho sebagai pelatih jenius yang berusaha memberi wacana tanding bagi ‘filosofi’ sepakbola a la Guardiola. Di antara dua nama itu, hanya Fernando Santos yang  sejauh ini berhasil menunjukkannya.


Di bawah asuhannya, Portugal tidak pernah menang lebih dari marjin dua gol—empat di antaranya dengan skor 1-0. Dan dia melakukannya lewat cara-cara yang membahagiakan hampir semua pemainnya. Kecuali dua kiper cadangan, semua pemain Portugal bermain dan bermain sama baiknya. Ia tahu kapan memainkan Veirinha dan kapan Cedric Soarez. Kapan memasukkan Moutinho, kapan mengeluarkan Sanchez.

 

Ia menyebut pemainnya “sederhana seperti merpati namun bijak seperti ular”. Ia pasti punya banyak jurus dan terlihat lebih bijak dari Wiro Sableng. Dan bagi Santos, ini yang terpenting: kecantikan bukan segalanya.


Ia tahu bahwa, dalam dunia persilatan yang keras, diperlukan banyak hal untuk bertahan hidup. Menjadi cantik dan punya jurus antik tentu saja menarik. Namun, tanpa keahlian mengatur kebugaran, menyiasati jadwal turnamen, dan kerja keras, tuntutan untuk menjadi cantik dan jurus klasik bisa memperpendek usia hidup.

 

Santos adalah sedikit pelatih yang tahu kapan timnya harus berdandan, kapan harus berkeringat, dan kapan bersantai. Sedikit sekali yang menguasai seni bertahan hidup dalam turnamen yang buas dan tidak mengenal kata maaf, dan Santos, meskipun bermain lebih banyak dengan otot dan kepala, menjadi orang yang paling bahagia dan tentram hati.


Ia mengajarkan kita untuk berhati-hati dengan rasa cinta yang keras kepala dan bahaya dari rasa benci yang membakar hati.


Beruntung, dewa-dewi sepakbola memberi kita Fernando Santos.

5 comments: