Oleh Darmanto Simapa
Setelah sebulan begadang dan meriang, kita berharap final
yang menakjubkan. Kita
ingin dua tim yang saling
berseteru, berjibaku, jual-beli serangan. Kita ingin pertandingan dengan banyak gol, banyak peluang, banyak kejutan, dengan
irama naik-turun, tak terkendali dan menguras emosi.
Kita ingin klimaks yang memuaskan. Tontonan yang membuat kita menahan napas: penyerang beradu ketajaman. Dua kiper terbang
menyelamatkan gawang. Bek-bek terlibat duel sepanjang pertandingan. Gelandang membuat
umpan terobosan atau tendangan jarak jauh mengejutkan.
Namun, kita juga tahu final hampir
selalu menjadi akhir yang mengecewakan. Plot turnamen sepakbola yang dimulai
dengan gairah dan gelora, justru, sering berakhir dengan menyedihkan. Kita nyaris selalu mendapati pertandingan yang
buruk. Sangat buruk bahkan.
Acapkali, pertandingan final kerap berjalan dengan lambat
dan membosankan. Peluit tak henti berbunyi menginterupsi aliran permainan. Peluang sedikit dan menyaksikan gol
nyaris seperti berjumpa hewan langka.
Alih-alih menyaksikan kulminasi
keindahan sepakbola, kita selalu mendapati dua tim yang saling menahan diri. Dua
tim yang bermain hati-hati. Dua
tim yang tidak berani
keluar menyerang. Dan satu tim yang tertawa di akhir pertandingan, lazimnya, adalah
tim yang bermain dengan cara menyebalkan.
Kecuali empat tahun lalu di Kiev, 13
final Piala Eropa dan Piala Dunia terakhir tidak menghasilkan lebih 3 gol. Setengahnya melalui babak tambahan dan
adu pinalti. Sepertiganya tuntas dengan skor 1-0. Dari 26 finalis, separohnya gagal
menceploskan bola ke jala lawan.
Kita mendapati pertandingan-pertandingan
seru, menguras emosi, dengan gol melimpah, dan abadi dalam memori justru biasanya ada di
perempat final atau semifinal. Di final,
kita akrab dengan fenomena ini: tepuk tangan dan sorak-sorai saat lagu
kebangsaan berkumandang segera berganti cemoohan dan siulan panjang. Antusiasme cepat menguap dan diganti
rasa bosan, membuat penonton di rumah lebih sering menengok pesan telpon
genggam dari pada menatap layar televisi.
*****
“Final turnamen sepakbola modern,” Eduardo Galeano, penyair
sepakbola Uruguay, membuat metafora, “seperti percintaan orang modern”. Semua orang menginginkan klimaksnya, tetapi jarang
yang mendapatkannya.
Kenapa? Bukankah manusia modern sangat peduli dengan romantika dan hubungan badan? Bukankah mereka punya
banyak taktik dan strategi: buku panduan, konsultasi psikologi, hingga minum
obat kuat dan jamu-jamuan—awetan kalajengking, viagra, pil biru atau tulang
harimau. Juga liburan romantis, temaram lilin atau sprei beledru?
Menurut Galeano, semua taktik dan strategi itu adalah topeng
dari rasa takut. Rasa takut untuk gagal dan berusaha lagi. Rasa takut kehilangan.
Rasa takut untuk memberi. Semua taktik dan strategi itu menutupi rasa takut untuk tidak
dicintai.
Rasa takut tidak dicintai membuat orang modern tidak percaya diri.
Rasa takut itu juga mengebiri potensi. Rasa takut kehilangan waktu membuat
cumbu-rayu harus terencana dan sesuai jadwal liburan. Rasa takut kehilangan
karir dan masa depan membuat menikah, berkomitmen dan mengikuti kata hati—hal-hal
yang esensial dalam percintaan—menjadi hal yang menakutkan.
Dalam sepakbola modern, rasa takut itu bernama kekalahan. Tentu
saja, tidak ada finalis yang maju jadi pecundang. Semua ingin menjadi pemenang.
Rasa takut kalah adalah elemen dasar permainan.
Masalahnya: takut kalah itu menguasai
sehingga mengebiri potensi hebat dan menumpulkan kepercayaan diri. Takut kalah membuat
tim memusatkan perhatian pada apa yang dipunyai lawan, ketimbang apa yang mereka
miliki sendiri.
Rasa takut kalah juga menghalangi pengambilan
resiko. Finalis cenderung konservatif. Sedikit sekali tim berani bermain
terbuka. Kebanyakan menunggu lawan membuat kesalahan. Atau menumpuk pemain di
belakang.
Rasa takut itu sering disembunyikan di
balik topeng bernama taktik, formasi atau strategi. Kali lain, ia dibungkus
dalam kalimat “demi keseimbangan tim”. Bek-bek
dilarang naik melewati garis tengah lapangan. Pemain kreatif diminta menarik
kaos lawan. Para penyerang dicadangkan.
Di final, takut kalah membuat taktik
dikembangkan untuk mengekang kebebasan.
Kreatifitas dan imajinasi tunduk oleh
strategi. Hasilnya, final menjadi panggung drama bagi aktor-aktor berbakat yang
bermain dengan naskah dan plot yang sangat buruk.
*****
Saya bukan pemuja Prancis atau Portugal. Namun, ketika tidak
ada istilah netral dalam final, pilihan mudah dijatuhkan.
Dari enam pertandingan yang telah dilalui, kapan Portugal
memberi kita tontonan yang menguras emosi. Kapan mereka bermain menyerang dan
mengambil resiko? Sebaliknya, mereka membuat kita sebal dengan tempo lambat dan
membosankan. Mereka lolos,
bahkan tanpa sekalipun menang. Sementara tim-tim yang bermain dengan hati dan
menggugah selera seperti Albania atau Wales terkapar, Portugal dengan cerdik
dan beruntung mengambil keuntungan dari sistem turnamen dengan 24 tim.
Para analis dan pelatih mungkin punya pendapat lain. Portugal
barangkali adalah contoh tim yang jitu mengatur kebugaran, lihai mengatur
tuntutan dan jadwal turnamen, serta punya fleksibilitas taktik. Portugal adalah
sedikit tim yang bisa menang dengan cara yang buruk dan di saat yang tepat,
suatu kemahiran yang hanya dipunyai oleh sedikit tim, sekaligus syarat mutlak
menjadi juara turnamen
sepakbola modern.
Fernando Santos boleh jadi dianggap pelatih adaptif, seorang yang akhirnya bisa memaksimalka
bakat Ronaldo ketika ia telah melewati masa puncaknya. Ia bisa membentuk tim tanpa penyerang tengah. Ia bahkan mampu menciptakan tim yang bermain tanpa sayap,
dengan pemain-pemain sayap kelas dunia.
Bisa juga Portugal sedang mencari keadilan, lewat rute yang
ditempuh oleh lawan yang menorehkan luka di jantung dan meremukkan hati mereka:
Yunani. Mungkin mereka sedang menebus kesalahan dan kesembronoan masa lalu
ketika tim bertabur bakat hebat menyia-nyiakan kesempatan emas untuk menjadi
juara dan membuat kecewa seluruh warganya.
Mungkin juga takdir atau dewa fortuna
sedang mendekati mereka. Untuk itu, mereka pasti dengan rela dan gembira menukar kecaman
dan cemoohan atas ketakpantasan dan ketaklayakan mereka ke babak akhir dengan piala.
Namun, tentu saja kita bukan orang
Portugal. Kita peduli dengan sepakbola bagus dan hebat, justru karena kita,
sebagai penonton ‘netral’
boleh cerewet, penuntut
dan emosional. Karena
kita bisa kecewa atau patah hati oleh pemain-pemain dan negara yang tidak punya
hubungan apapun dengan kehidupan
keseharian kita, kita bisa juga mengumpat dan mencela dengan sukarela.
Bagi Saya dan jutaan penonton non-Portugal,
mereka bermain sama seperti diktator Salazar menjalankan pemerintahannya. Sementara
Salazar memberangus lawan politik dengan sensor, membentuk polisi rahasia,
mengekang gereja, dan memberangus partai politik, timnas Portugal mengekang daya
kreatif pemainnya, membentengi pertahanan dengan tumpukan gelandang, dan menghilangkan tradisi bermain negara yang
pernah menciptakan seorang Luis Figo.
Prancis juga jauh dari ideal. Mereka tampak bukan tim yang solid dan
koheren. Kecemerlangan mereka bersifat sporadis. Dalam satu-dua menit, pemain-pemain berbakatnya bisa padu dan mengalirkan bola dengan rapi dan
lembut, namun
sepanjang waktu, mereka lebih banyak menciptakan kecemasan.
Namun, justru karena terlihat rentan dan tidak seperti tim yang
sudah jadi, setiap pertandingan Prancis selalu
memberi ruang bagi kreatifitas, imajinasi, dan visi para pemain berbakatnya. Setiap
bola di kaki Dimitri Payet, kita seperti anak kecil menunggu tukang sulap
mengeluarkan triknya. Tiap melihat Antoine Griezman berhasil merebut bola dan
mengawali serangan balik, kita merasa sesuatu yang hebat akan terjadi.
Sudah lama sekali kita tidak menyaksikan
turnamen sepakbola menghasilkan momen-momen indah yang diciptakan oleh
individu. Sejak Roberto Baggio di Piala Dunia Amerika atau Ronaldo Brazil tahun
2002, kita jarang menyaksikan pemain yang bersinar dan menentukan hasil pertandingan, nyaris sendirian.
Turnamen sepakbola modern tidak ada lagi menghasilkan
Garrincha, Platini atau Maradona. Tidak
ada lagi pemain yang melewati dua tiga pemain lawan. Tidak ada lagi duel bek-penyerang
yang indah sepanjang pertandingan.
Semuanya tentang penguasaan bola dan keseimbangan. Semuanya tentang tim,
tim, tim, tim. Strategi, strategi, strategi.
Kerentananan dan ketidaksolidan Prancis justru mencipratkan
kesegaran dan memberi ruang bagi pemain jenius untuk mendemonstrasikan
jurusnya. Ini juga memaksa pelatihnya untuk berjudi dan mengambil resiko. Saat
melihat Griezmann bergerak, kita melihat
bagaimana seni bertahan tidak lantas menumpulkan naluri menyerang.
Seiring dengan berjalannya waktu, Prancis berupaya, dan
sedikit berhasil, mengatasi rasa takut. Ketika melawan Jerman yang superior
secara taktik dan taktik, Prancis berani berduel di lapangan tengah. Alih-alih
menumpuk gelandang bertahan, Deschamp justru menaruh Kante di bangku cadangan
dan meresikokan Pogba untuk jadi bulan-bulanan gelandang serang Jerman.
Meskipun berantakan, keberanian Deschamp justru membuat
Prancis tampak menggigit. Kerentanan mereka memberi udara segar, menuntun
pemainnya untuk mengerahkan kreatifitasnya. Mereka tampak seperti sebuah tim
yang ingin memberi lebih, tim yang lebih menngerakkan hati.
Sulit membayangkan final hari Minggu ini akan seperti apa. Portugal
tampak seperti Jerman sebelum era Klinsman. Mereka bisa jadi kodok buruk rupa
yang berubah menjadi pangeran tampan dan meraih mahkota di halaman terakhir
dongeng modern sepakbola.
Namun kita berharap bahwa tim yang juara adalah tim mengalahkan
rasa takut dan bermain dengan sepenuh hati. Tim yang berani bermain terbuka dan
mengambil inisiatif. Klimaks
sepakbola lebih berhak dirasakan
oleh tim yang lebih mencintai dan memberi kesenangan dan kepuasan kepada jutaan
penonton di dunia—bukan tim yang melulu berpikir tentang strategi dan berharap adu
pinalti.
Saya tahu mana tim yang berusaha mengatasi rasa takutnya dan memberi ‘orgasme’ bagi jutaan
pencinta sepakbola di seluruh dunia.
This comment has been removed by the author.
ReplyDeleteKeren mas tulisannya. Jadi inget tulisan di buku 'tamasya bola' tepatnya di bagian 'zambia'.
ReplyDelete