Oleh Darmanto Simaepa
Semua orang tahu sepakbola Indonesia tak pernah lagi juara
atau berhasil lolos dari kualifikasi Piala
Dunia, meski sebagian dari kita terus bertanya-tanya mengapa. Apakah ini karena
bakat-bakat pemain tak cukup berkualitas? Apakah ini berhubungan dengan ketidakberaturan
kompetisi? Ketidakbecusan pengurus PSSI? Rendahnya dukungan pemerintah?
Keterpencilan sepakbola Indonesia dari sistem kompetisi sepakbola Eropa, yang
kini menjadi pusat sepakbola dunia?
Dirundung oleh kegagalan demi kegagalan, kita yang sebagiannya
malas melakukan analisa dan sebagiannya mudah putus asa ini bisa dengan gampang
menyimpulkan bahwa kepecundangan sepakbola Indonesia dikarenakan akumulasi dan
komplikasi semua masalah yang bisa kita sebut. Ini adalah cara yang paling
gampang dan tak perlu pikir panjang. Setiap alasan sudah pasti akan dibenarkan
oleh fakta bahwa kita memang tak pernah menang.
Tapi ini cara yang tak memuaskan, bukan? Coba kita tengok
timnas negara lain, yang punya prestasi lebih baik. Tidak, kita tidak sedang
melongok ke Jerman. Sedikit lurus ke utara, di belahan utara Semenanjung Korea,
ada negara yang terpencil dari sistem dunia tapi ikut Piala Dunia. Di Amerika
Latin, federasi sepakbola Brazil dan Argentina tak kalah koruptif dan
brengseknya, tapi mereka jadi penguasa sepakbola. Sepakbola Panama di Amerika
Tengah atau Nigeria di Afrika juga diurus oleh orang-orang yang sama buruknya,
tapi mereka lumayan berprestasi. Kompetisi sepakbola Mesir juga lebih tidak
teratur, penuh kekerasan, namun mereka toh menjadi juara Piala Afrika dan kini
ada di Piala Dunia.
Lalu apa masalah utamanya, dan bagaimana kemudian
mengatasinya?
Ada banyak cara untuk mendekati pertanyaan ini—tergantung
posisi Anda. Orang di PSSI melihat masalahnya ada pada pelatih, sementara
ketuanya menuding pemain-pemain yang ingin menjajal kompetisi luar negeri dan
kontrak yang lebih baik. Para pengamat menyebut-nyebut pembinaan pemain muda
dan skema permainan. Presiden melihat kerja menterinya. Keluasan wilayah sering
juga menjadi kambing hitam. Sementara, sebagaian besar orang mengarahkan
telunjuk kepada pengelola kompetisi.
Sebagai suporter, akan lebih mudah buat saya untuk mengamati
apa yang terjadi di kedai-kedai kopi, bangku stadion, atau di gelaran tikar di
ruang-ruang keluarga. Atau di halaman olahraga koran/tabloid dan program-program
sport di layar kaca. Atau di dinding sosial media. Di tempat-tempat itulah kita
bisa melihat jutaan orang yang emosinya naik-turun, ditentukan oleh
keberhasilan timnas Indonesia.
Ijinkan saya menyebut agregat orang Indonesia yang ikut
terpapar sepakbola Indonesia tanpa menjadi pengurus federasi—termasuk di
dalamnya pemain dan pelatih—dengan nama ‘publik sepakbola Indonesia’. Jumlah
mereka sangat besar, meski angka persisnya kita tidak pernah tahu. Di hari-hari
timnas bertanding, merekalah yang membuat Indonesia seperti sebuah pasar sayur
yang besar.
Mereka menonton, memaki, mencela, menulis, tersenyum
bahagia, karena sepakbola. Meskipun publik sepakbola terlibat secara pasif dan
kurang menentukan dalam aspek teknis-taktis sepakbola nasional, peran mereka
tidak sepele. Mereka adalah wajah sepakbola Indonesia. Bayangkan saja timnas
bertanding tanpa penonton di stadion dan tanpa disiarkan televisi.
Meskipun relatif pasif, publik sepakbola Indonesia adalah pihak
yang tak lepas dari kesalahan atas rusaknya sepakbola kita. Ia tak inosen dan
suci. Publik sepakbola, termasuk saya, memiliki masalahnya sendiri, yang
langsung maupun tidak langsung berkontribusi terhadap prestasi sepakbola
nasional kita.
***
Publik sepakbola Indonesia terkenal di jagad raya sebagai
publik yang antusias, berkomitmen, dan punya cinta-tanpa-pamrih terhadap
timnas-nya. (Kita, misalnya, bisa memaksa komentator Thailand minta maaf karena
mengatakan sesuatu yang tidak mengenakkan di telinga orang Indonesia, dalam
bahasa Thai—hal yang agak mustahil terjadi sebaliknya.)
Hari ketika timnas bertanding—dikelompok umur berapa pun dan
bermain di manapun—adalah adalah hari besar nasional. Ketika timnas berlaga,
siaran televisi menghadirkan siaran langsung dan berita-berita terus memenuhi
media. Twitter, FB, Instagram penuh dengan kata-kata dan gambar patriotik.
Kantor-kantor tutup lebih cepat. Pasar dan jalanan lengang. Nun jauh di suatu
daerah pelosok, orang-orang berjalan kaki menembus hutan dan ngarai untuk bisa
menonton bersama ‘pahlawan modern’ mereka.
Namun, di sinilah masalahnya. Cinta-tanpa-pamrih adalah hal
yang mulia buat anak untuk orangtua atau sebaliknya. Cinta tanpa berharap
imbalan akan laku sebagai tema fiksi dan cerita sinema. Tapi tidak selalu baik
untuk sepakbola.
Dukungan yang meluap-luap bukan jaminan juara. Doa jutaan
orang tak mengubah nasib timnas Indonesia. Prestasi tim nasional membaik—dalam
pengertian paling hebat tentu saja juara SEA Games—ketika publik sepakbola
justru menurun antusiasmenya. Sebaliknya, ketika publik sepakbola Indonesia
memiliki cinta-tanpa-pamrih yang luar biasa, justru di saat-saat itulah kita
terpuruk. Bukti-bukti kontemporer bisa dideret—dari Piala Asia 2007 di rumah
sendiri, hingga masa-masa histeria Irfan Bahdim di Piala AFF 2010. Tapi itu tak
terlalu penting. Anggap saja poin saya ini benar.
Lebih luas lagi, cinta-tanpa-pamrih inilah yang turut
berkontribusi terhadap ketidakmampuan kita mencari jalan keluar dari kebobrokan
penyelenggaraan sepakbola dan mandeknya prestasi timnas Indonesia.
Cinta yang besar ini membuat penyelenggaraan sepakbola
nasional bisa berjalan tanpa evaluasi dan pembenahan berarti, bahkan setelah
rangkaian tragedi. Berkali-kali penonton mati di stadion, entah karena di
pukuli oleh petugas keamanan atau tertimpa runtuhan beton, tak ada perubahan
mendasar mengenai perbaikan kondisi stadion. Tiap tahun kita akan selalu
mendengar penonton ditusuk pisau, dikeroyok suporter lawan, korban salah
sasaran dalam tawuran, atau terinjak-injak penonton lain yang kalut.
Lagu lama tentang kerusakan transportasi publik dan
rombongan suporter tewas jatuh dari atau tersambar kereta api juga masih kita
dengar. Bahkan barangkali hanya di Indonesia pemain asing mati meringkuk di
bangsal kumuh puskesmas kecamatan atau harus berhutang karena kelaparan dan
terserang penyakit yang seharusnya mudah diatasi dengan obat generik.
Jika tragedi demi tragedi datang silih berganti, kemampuan
publik sepakbola untuk menuntut perbaikan layanan sepakbola justra sangat
sedikit sekali. Rentetan tragedi belum mampu
menggerakkan penonton untuk menuntut pertanggungjawaban ketua PSSI
misalnya, atau penyelenggara kompetisi, atau bahkan menteri. Ketidakmampuan ini
terlihat dari tidak adanya dukungan publik terhadap keberadaan serikat pemain,
wasit, atau pelaku sepakbola lain yang posisinya rentan dan butuh dukungan
orang banyak.
Sepakbola memang bisa membuat orang memberikan seluruh
hatinya untuk timnas atau klub. Namun, publik sepakbola yang hebat tak pernah
serta-merta kehilangan semua kewarasan. Itulah mengapa misalnya dukungan setia
suporter Liverpool di masa paceklik gelar yang begitu lama tidak mengurangi
kegigihan mereka mencari ‘kebenaran’ di balik tragedi Hillsborough.
Di Indonesia, publik sepakbola jarang sekali menggunakan
kekuatan dan kekuasaannya untuk menuntut (dengan sangat keras dan konsisten)
pertanggungjawaban penyelenggara sepakbola. Kita nyaris tak punya tradisi
protes kuat terhadap kebijakan PSSI, misalnya ketika memilih pelatih atau
rekanan penyelenggara kompetisi. Padahal, publik sepakbola Indonesia sangat
besar.
Kenapa mereka tidak mampu menjadi kelompok penekan untuk
mencari perbaikan prestasi timnas, dan sepakbola Indonesia secara keseluruhan?
Di akhir tulisan saya akan mencoba mencari tahu, namun sekarang kita lanjutkan
dengan efek cinta buta publik sepakbola Indonesia.
Cinta-tanpa-pamrih membuat kita memberi cek kosong kepada
PSSI dan pengelola industri sepakbola. Ketika PSSI dan orang-orang berkuasa di
klub dan liga menyusun platform kompetisi dan program kerja yang buruk, nyaris
tidak ada catatan yang menyeluruh dan sistematis di media, protes di jalanan,
atau boikot di stadion. Ketidakpuasan dan kegundahan hanya menjadi obrolan
santai di kedai kopi. Kalaulah ada rasa marah dan frustasi, semua itu hanya
makian dan sindiran di sosial media. Rumor dan gosip hanyalah senjatanya
orang-orang kalah, sebuah tembakan di dalam cawan, yang tak membuat pengurus
federasi merasa ada kritik yang berarti.
Dari tahun ke tahun, jaringan orang-orang kuat PSSI di
klub-klub liga dibiarkan untuk mengubah-ubah format kompetisi, memperjualbelikan
klub, menghapus sejarahnya, memindahkannya dan mendandadaninya menjadi klub
baru yang sama sekali ahistoris di tempat baru yang asing. Bahkan, belakangan
kita melihat tentara masuk lapangan (dalam arti sebenarnya) dan mengembalikan
peran dwifungsinya, dan itu nyaris tanpa perlawanan dan catatan.
Saya tidak sedang mengabaikan sejarah kegigihan Bonek untuk
merebut Persebaya dari petualang politik atau daya juang kelompok suporter yang
menolak Nurdin Halid. Usaha-usaha tersebut, dan mungkin lebih banyak lagi dalam
skala yang lebih kecil, menjadi contoh bahwa masih ada kekuatan publik
sepakbola lewat demonstrasi, mobilisasi massa, dan protes terbuka. Publik
sepakbola, meskipun sporadis, masih punya daya perubahan yang luar biasa. Tanpa
kegigihan Bonek, Persebaya mungkin hanya tinggal plang namanya saja.
Hanya saja, kasus-kasus seperti Bonek bisa dikatakan sebuah
kasus khusus, dan bukan sebuah gejala.
Cinta-tanpa-pamrih inilah yang membukakan pintu bagi
datangnya amnesia sejarah dan impunitas. Kegagalan dan kesalahan besar pengurus
PSSI dalam menyelenggarakan sepakbola Indonesia tak tercatat, dan pengurus yang
akan datang segera melakukan kesalahan yang sama. Pelaku-pelaku pengaturan skor
dan rekayasa kompetisi tetap melenggang dan kebal sanksi. Jual beli jatah promosi
dan degradasi seperti lagu lama yang disiarkan berulang-ulang di akhir
kompetisi.
Cinta yang besar ini membuat para pengurus klub yang tidak
hanya tidak becus, tapi menggunakan sepakbola secara terang-terangan untuk
dukungan politik atau akumulasi kekayaaan pribadi, tetap jadi pahlawan.
Bayangkan jika timnas Indonesia juara di Piala Tiger 1998 setelah
mengalah dari Thailand. Saya yakin nasib Mursyid Effendi tak akan jadi
pecudang. Mungkin ada buku khusus yang merayakan pertandingan itu setelah 25
tahun. Ulang tahun Andi Darussalam Tabusalla boleh jadi akan dirayakan sebagai
hari bersejarah sepakbola; dan pemain-pemain yang tampil di turnamen itu akan
menjadi pahlawan—seperti halnya puji-pujian kepada Haji Agil dan perayaan
kekalahan 0-12 Persebaya dari Persipura.
Ketiadaan dokumen—laporan jurnalistik, buku, studi—tentang Sepakbola
Gajah di Indonesia, yang bisa kita jadikan cerminan kritis tentang sejarah
siapa dan bagaimana sepakbola Indonesia, mengindikasikan bahwa peristiwa
seperti ini adalah lumrah dan wajar dalam sepakbola kita. Kita menjadikan
sebagai hal yang normal. Saya merasa, jauh di dalam dasar hati kita, kita akan
baik-baik saja, bahkan mungkin akan bangga, melakukannya sekali lagi jika itu
menjamin menghasilkan sebuah trofi.
Puncak dari cinta-tanpa-pamrih publik sepakbola Indonesia
adalah, meminjam judul sebuah buku, ‘mencintai sepakbola Indonesia meski
kusut’. Sepakbola Indonesia sudah sedemikian kusut, sehingga alih-alih
mengurai, membuang, atau memotongnya, satu-satunya yang bisa kita lakukan
adalah memandangi kekusutan itu dan tetap bersuaha mencintainya.
Publik sepakbola Indonesia adalah pecundang yang tawakal.
Kita nyaris tahu timnas akan dibantai lawan, kalah dengan cara yang buruk, atau
gagal di final oleh lawan yang tak lebih bagus, namun kita terus bertahan
dengan harapan akan adanya kemungkinan akhir yang bahagia. Stadion tetap penuh;
televisi tetap banyak iklan; tiket terus terjual; dan nyaris apokaliptik, suatu
saat ada masa ketika Indonesia menjadi juara atau ikut Piala Dunia.
***
Saya tidak menolak jika seseorang mencap saya sebagai
pemakan bangkai, karena menyalahkan komponen paling lemah dan paling rentan dalam hierarki sepakbola Indonesia: publik.
Penonton pasif, pemain, wartawan, komentator televisi, pelatih
lokal, dan klub-klub gurem tidak ada sangkut pautnya secara langsung dengan
kegagalan prestasi sepakbola nasional mereka. Jika dukungan besar dan
cinta-tanpa-pamrih dianggap tidak cukup, bahkan dipandang sebagai sebuah
kesalahan, apalagi yang bisa diberikan?
Saya punya alasan sendiri untuk ini. Sebagai bagian dari
publik sepakbola, saya merasa semua yang dilakukan oleh siapa pun di luar PSSI
dan perusahaan penyelenggara kompetisi (wartawan kritis, serikat pemain,
pelatih di daerah) seperti meninju udara. Semua keringat yang keluar dan
komitmen seperti menabrak tembok kegagalan.
Situasinya terkadang begitu beracun sehingga kita tak lagi
melihat apa yang bisa kita lakukan. Sebaliknya, seperti jutaan orang lain yang
mencemooh orang-orang tulus yang berkontribusi gagasan dan tindakan, saya
cenderung pesimis dan skeptis terhadap upaya-upaya perbaikan sepakbola
Indonesia.
Sampai kemudian saya melihat dunia paralel antara saya
sebagai bagian dari publik sepakbola Indonesia dan saya sebagai warga negara
Indonesia. Cinta-tanah-air seperti punya resonansi dengan cinta-tanpa-pamrih
terhadap timnas Indonesia. Haqqul yakin, saya tidak sendirian. Bukan suatu hal
aneh ketika jantung kita ikut berdebar dan mata kita berkaca-kaca ketika lagu
Indonesia Raya dikumandangkan di stadion sepakbola, meskipun hampir semua dari
kita suka menghindari upacara bendera di sekolah.
Perasaan haru yang paralel itu benar adanya jika sedikit
membentangkan perbandingan itu dalam konteksnya.
Sepakbola hanyalah bagian dari kementerian (olahraga) di
sebuah negara yang juga punya urusan dengan pendidikan, kesehatan, politik, hukum
dan lain sebagainnya. Jika publik sepakbola ingin timnas berprestasi dan punya
kekuatan untuk mengubah PSSI, begitu juga jutaan orang yang ingin hidup sehat
dan pintar sembari punya kontribusi terhadap perbaikan lembaga kesehatan dan
pendidikan.
Dan di sinilah letak paradoks cinta-tanpa-pamrih itu. Kita
tahu bahwa nenek yang memotong dahan jati kering di hutan negara untuk memasak
air lebih mungkin untuk masuk penjara ketimbang koruptor yang tertangkap tangan
KPK. Namun, kita tidak kehilangan rasa cinta kita terhadap Indonesia dan
harapan bahwa suatu saat semua orang setara di hadapan hukum.
Sepanjang hidup, kita mendapati layanan kesehatan yang
diskriminatif, hukum yang tajam ke bawah tumpul ke atas, birokrasi yang alih-alih
memudahkan justru mempersulit, petugas keamanan yang alih-alih melindungi
justru memukuli dan membunuh rakyatnya sendiri. Semua fakta ini tidak
menjadikan harapan kita tentang kesetaraan hukum, pencerdasan kehidupan bangsa,
dan hidup yang sejahtera berkurang.
Perbandingan serupa bisa direntangkan hingga jauh sehingga
kita bisa menemukan akibat paralel dari cinta-tanpa-pamrih untuk sepakbola dan
Indonesia ini. Jika seorang Nurdin Halid masih tetap menjadi anggota
legislatif, dan kini jadi calon gubernur, kita bisa mendapati para Jendral yang
berlumur darah tetap menjadi menteri.
Kenapa kita mendapatkan hal yang paradok dari cinta-tanpa-pamrih
ini? Saya punya sedikit argumen: cinta-buta ini lahir dari momen historis
tertentu dan bukan karakter esensial yang terberi atau muncul begitu saja dari
dalam bumi.
Penjelasannya begini.
Publik sepakbola Indonesia hidup dalam negara-bangsa
Indonesia. Ia adalah bagian dari rakyat Indonesia. Keduanya adalah publik yang
kalah, yang kekuasaannya dan kekuatannya telah ditaklukan. Ditaklukan oleh
siapa?
Mari kita melingkar dulu bertamu ke antropologi. Secara
universal, hidup manusia di semua jaman dan semua tempat butuh
pengaturan/tatanan. Kelahiran dan kematian butuh diatur. Begitu juga dengan
olahraga, kesehatan, politik, pendidikan. Semua tatanan ini membutuhkan hirarki antara si pengatur dan
yang diatur.
Secara kosmik, meta-human (Tuhan, Dewa-Dewi) dan manusia
sebagai pengatur dan yang diatur memenuhi peran itu. Di masyarakat animistik, roh-roh yang menciptakan
hewan buruan atau ‘spirit’ yang menghadirkan hujan, pelangi, dan gempa bumi
mengatur hidup manusia. Di dunia kontemporer, kapitalisme menciptakan si
pemilik modal dan buruh. Di sebuah kerajaan, paduka dan hamba sahaya memainkan
peran itu.
Penciptaan hirarki ini merupakan asal muasal segala bentuk
tatanan kehidupan. Secara umum, hirarki ini ditandai oleh pemisahan si pengatur
dan yang diatur. (Ingat, semua isi kitab suci dan mitos tentang asal-usul
kehidupan memuat terpisahnya manusia dengan si maha pengatur). Tanpa hirarki
ini, masyarakat tidak akan pernah ada dan publik tak pernah diciptakan. Hidup
akan menjadi khaos dan kekerasan akan meletus tiap hari.
Sistem kepengaturan ini punya banyak bentuk. Ada yang berupa
kekerabatan (leluhur sebagai pemberi restu/sanksi dan keturunannya yang hidup
sebagai publik), kerajaan (raja dan rakyatnya), polity (dewan kota dan
publiknya), dan secara umum kita sekarang mengenal negara-bangsa (pemerintah
dan rakyatnya). Di sepakbola, ada FIFA/PSSI dan publik sepakbola.
Dalam setiap tatanan ini, relasi si pengatur dan yang diatur
diwarnai oleh ketegangan. Sudah menjadi nasibnya, si penguasa/pengatur terus
ingin melanggengkan kekuasaan untuk ‘memerintah’ dan berusaha memonopoli
kekuasan memerintah atas publiknya, sementara publik selalu berusaha membatasi
campur tangan si pemerintah sembari menuntut si penguasa menjalankan kebutuhan
kolektif milik publik. Jadi, ketegangan akan terus-menerus mewarnai hubungan
keduanya.
Jika ketegangan itu berlangsung sehat, maka keseimbangan
kekuatan adalah hasilnya.
Idealnya, si penguasa dan publik akan tumbuh bersama. Di
saat-saat ini, secara umum kita sebut publik tumbuh dengan baik dan makmur.
Jika penguasa terlalu kuat (apalagi sampai berkolaborasi
dengan penguasa lain, menciptakan senjata dan militer), maka tatanan berada
dalam risiko untuk menjadi absolut. Menjadi diktatur. Menjadi raja. Menjadi
otoriter. Penguasa menjadi hukum, penentu moral, sekaligus panglima perang.
Jika publik yang kuat, hasilnya bisa jadi demokrasi atau welfare state,
tapi dalam bentuk ekstremnya adalah sebuah revolusi.
Nah, dari sini kita bisa sedikit melihat, sejak kapan publik
sepakbola Indonesia dan secara umum rakyat Indonesia kalah. Karena kata
pengantar ini bukanlah teks sejarah, bukan tempatnya untuk secara rinci
mendeskripsikan bagaimana pendulum sejarah Indonesia berayun dari keseimbangan
penguasa-rakyat di awal-awal revolusi kemerdekaan, menjadi demokrasi terpimpin,
dan mencapai titik ekstremnya pasca anti-revolusi 1965, yang menjadi kemenangan
mutlak penguasa atas rakyat/publik.
Cukuplah di sini kita ingat bahwa sejak 1968 hingga kini,
PSSI nyaris selalu dipegang oleh tentara. Bila di masa tertentu bukan orang
dengan senjata yang pegang, maka ia pastilah pengusaha. Bisa disebut di sini
bahwa klub-klub profesional Galatama muncul sejalan dengan tumbuhnya kapitalis
pribumi yang mendapat proteksi dari penguasa dan tentara. Dan mudah dipahami,
pasca desentralisasi, klub-klub yang ikut kompetisi adalah klub-klub daerah
yang menjadi alat politik-ekonomi para bupati, walikota, hingga ketua partai.
Dan jangan heran, setelah era Djohar Arifin, yang gagal jadi boneka patuh
oligarki, kita sekarang punya Edy Rahmayadi.
Kemenangan penguasa atas publiknya di Indonesia begitu telaknya,
sehingga media massa, satu-satunya
tempat publik sepakbola memiliki suara, sepanjang berdekade-dekade memilih
bungkam dan apolitis di waktu-waktu publik sepakbola mulai mengguncang PSSI.
Seperti halnya rakyat Indonesia secara umum, publik
sepakbola Indonesia sudah kalah selama setengah abad. Penguasa, yang berkolaborasi
dengan tentara dan pengusaha, unggul sangat jauh, sehingga tidak ada
tanda-tanda mereka akan goyah. Kepecundangan ini sudah sedemikian dalam, karena
berlangsung beberapa generasi. Akibatnya, kita tidak tahu lagi bagaimana
berimajinasi tentang restorasi sepakbola Indonesia.
***
Meski kritis terhadap publik sepakbola Indonesia, bukan
berarti saya kehilangan harapan. Walau cinta-tanpa-pamrih publik sepakbola Indonesia
memiliki karakter fatalis, ia menunjukkan bahwa ia belum sepenuhnya mati.
Dari sudut lain, dukungan total publik Indonesia bisa jadi
adalah bentuk yang paling embrionik dari usaha publik untuk mengajak penguasa
sepakbola berbagi kekuatan dan dukungan. Tak sulit untuk memahami, jika timnas
menang yang menang adalah semuanya. Pendukung menang. PSSI pun menang.
Barangkali sepakbola unik karena ia bisa memberikan harapan
berulang kali. Setiap tahun selalu ada kualifikasi atau turnamen yang diikuti.
Setiap kemenangan dan prestasi kecil adalah kemenangan kolektif besar. Dan
ketika di bidang-bidang lain kekalahan rakyat sudah sedemikan sulit dipulihkan
dan kemenangan kolektif yang bisa dibanggakan bersama—baik oleh rakyat maupun
penguasanya—sulit dibayangkan, kemenangan (di sepakbola) ini jadi semakin
berarti.
Lapangan sepakbola dan timnas Indonesia masih memberi
kemungkinan imajinasi bahwa ketegangan dinamik antara penguasa dan publiknya
bisa disalurkan menjadi prestasi yang membanggakan. Setiap pertandingan, tak
peduli berapa skala maupun nilai pentingnya, adalah momentum untuk membuktikan
bahwa publik, federasi, pemain, dan seluruh elemen sepakbola Indonesia bisa
memberi kemenangan kecil.
Keluhan, makian, ratapan adalah bukti bahwa publik sepakbola
Indonesia masih bernyawa. Tidak. Tidak. Kita belum sepenuhnya putus asa.
Harapan itu masih ada. Ia masih terdengar dari jantung jutaan orang yang
berdegup pelan, yang akan mengencang jika timnas Indonesia bertanding. Ketika
rasa bangga, haru, sekaligus sedih dan putus asa itu tiba-tiba menyelinap di
balik kulit dan meremangkan bulu kita, itulah saat kita bisa berimajinasi
kolektif sebagai sebuah publik, sebagai sebuah bangsa.
*tulisan ini merupakan kata pengantar untuk buku Mahfud Ikhwan, "Dari Kekalahan ke Kematian" (EA Books, 2018).
Bingung cari Situs Poker Terpercaya ??
ReplyDeleteSering kalah? lebih sering deposit dari pada wd??
Solusi Terbaik Buat Member Yang Sering Lose !!
Pokers128(dot)com
Buktiin Sendiri Main Di Pokers128 !
Bisa Main Dari HP !!
Support IOS & ANDROID
7 Games Dalam 1 User_ID
Menangkan Jackpot Harian S/d Puluhan Juta
Jackpot Global Ratusan Juta
Minimal Deposit Sangat Terjangkau !!
Rp 10,000
Withdraw Diproses Super Cepat !
1menit s/d 3menit
JANGAN TUNGGU DAN JANGAN RAGU LAGI UNTUK MENJADI SEORANG PEMENANG DAN DAFTARKAN DIRI ANDA SEKARANG JUGA DI WWW.S1288POKER.COM
Info lebih lengkap,silahkan hubungi CS 24/7 kami melalui :
PIN BBM : 7AC8D76B
WA : 08122221680
Twitter : @S1288POKER
Agen Togel Online Terbaik & Terlengkap!
ReplyDeleteTersedia Pasaran Hongkong - Sydney - Singapore
Potongan Diskon 2D = 30% | 3D = 59% | 4D = 66%
Dapatkan Keuntungan Dalam Menebak Angka Hingga Ratusan Juta Setiap Hari..
Yuk Gabung Bersama Bolavita Di Website www. bolavita .fun
Untuk Info, Bisa Hubungi Customer Service Kami ( SIAP MELAYANI 24 JAM ) :
BBM: BOLAVITA
WA: +628122222995
Menangkan Jutaan Rupiah dan Dapatkan Jackpot Hingga Puluhan Juta Dengan Bermain di www(.)SmsQQ(.)com
ReplyDeleteKelebihan dari Agen Judi Online SmsQQ :
-Situs Aman dan Terpercaya.
- Minimal Deposit Hanya Rp.10.000
- Proses Setor Dana & Tarik Dana Akan Diproses Dengan Cepat (Jika Tidak Ada Gangguan).
- Bonus Turnover 0.3%-0.5% (Disetiap Harinya)
- Bonus Refferal 20% (Seumur Hidup)
-Pelayanan Ramah dan Sopan.Customer Service Online 24 Jam.
- 4 Bank Lokal Tersedia : BCA-MANDIRI-BNI-BRI
8 Permainan Dalam 1 ID :
Poker - BandarQ - DominoQQ - Capsa Susun - AduQ - Sakong - Bandar Poker - Bandar66
Info Lebih Lanjut Hubungi Kami di :
BBM: 2AD05265
WA: +855968010699
Skype: smsqqcom@gmail.com
Bonus 8 kali win dan dapatkan bonusnya hanya disini BONUS WIN 8 KALI BERUNTUNi
ReplyDelete