Oleh Nick Hornby; terj. Mahfud Ikhwan
Di luar, tentu saja, aku ngomel-ngomel dan bersungut-sungut. Aku tunjukkan
harapanku yang menggebu bahwa mereka akan babak-belur lagi, lebih baik lagi kalau
di saat-saat terakhir sekali, menit terakhir dari pertandingan terakhir. Itu
pasti akan lebih sakit.
Aku bilang kepada orang-orang, mending orang lain saja yang menang. Ron
Atkinson boleh, bahkan Kenny Dalglish tak apa, yang penting Manchester United
jadi nomor dua. Duapuluh enam kali kegagalan United di Liga Inggris, meskipun
penontonnya bejibun, meskipun bergepok-gepok uang mereka yang melimpah bisa
membeli pemain mana pun yang mereka sukai, adalah salah satu hal terbaik yang
terjadi di sepakbola. Dan itu lelucon yang tak habis-habis. Jadi, kenapa itu
mesti diutak-atik?
Jika kamu tak biasa hadir di teras stadion, ada baiknya kamu diberi
penjelasan soal kesenangan yang lezat dan jahat dari fans tim lain atas
ketidakmampuan United memenangkan gelar domestik terpenting. Bayangkanlah orang
Inggris dan Kanada dan Australia memenangkan semua Piala Oscar dari tahun ke
tahun, sementara orang-orang Hollywood sendiri hanya bisa ndomblong saja;
bayangkanlah semua koki di Prancis membuang buku panduan masak Michelin;
bayangkan klab paling asyik di Londong menolak masuk staf majalah Face.
Dalam kasus tertentu, schadenfreude (senang lihat orang lain
susah--penrj.) adalah kewajiban moral. Manchester United yang menggap diri
sebagai klub terbesar, terbaik, dan terpenting di Eropa adalah gunungan bahan
gojekan sepanjang lebih dari seperempat abad yang tak mungkin diabaikan oleh
sebagian besar kami.
Potonglah tubuh seorang suporter sepakbola jadi dua, maka kebenaran yang
rumit akan terlihat. Jika orang biasa punya daging, tulang, dan jeroan, maka
kami (para suporter) punya lingkaran-lingkaran berlapis yang sangat mirip
dengan kulit pohon. Setiap lapis mewakili setiap musim yang dihabiskan untuk
menonton sepakbola. Lapisan-lapisan itu biasanya tak terbedakan, namun untuk
kami yang kini sudah di pertengahan 30-an terdapat keanehan botanis; persis di
lapisan galih kami, di bagian paling awal, yang ada gabusnya, di situ ada
lingkaran mencolok yang berbeda dari lingkaran lainnya. Persis seperti
Protestantisme tumbuh dari Katolikisme, dan teori Jung lahir dari teori Freud,
sebagian cinta kami kepada Arsenal atau Spurs atau Everton berakar pada sebuah
masa pertumbuhan yang terkait erat dengan Manchester United.
Akhir enampuluhan dan awal tujuhpuluhan adalah masa keemasan bagi
sepakbola, sebagaimana juga untuk musik pop: Best dan (Rodney) Marsh, Dylan dan
Aretha, Charlton Bersaudara dan The Stones, Matt Busby dan Berry Gordy. (Di
masa remajaku, sering kualami ketika mimpi aku tertukar-tukar antara musik pop
dan sepakbola, dua pilar penyangga hidupku saat melek mata: aku biasa
memimpikan bahwa Rod Stewart atau Jimmy Page "ditransfer" ke band
lawan, dan karena itu aku tak lagi bisa menyukai mereka.) Alhasil, Manchester
United adalah The Beatles (George Best sering disebut-sebut sebagai 'Beatles
kelima')--merekalah yang terbesar, terbaik, sine qua non-nya sepakbola
Inggris.
Tim mana yang didukung tidak penting lagi, nalarnya begitu. Hubungan antara
nyaris seluruh klub Inggris dan United setara dengan hubungan antara The
Monkees dan Fab Four. Mau pilih yang pertama atau yang kedua sah-sah saja,
namun entah kenapa itu terasa tak pantas. Aku cinta Arsenal, tapi jauh di lubuk
hati aku tahu bahwa dewa-dewa yang kupuja--George Armstrong, John Radford,
Bobby Gould--tidak tinggal di puncak gunung yang sama dengan Best, Law, dan
Charlton. Bobby Gould jelas penghuni Scafell Pike, dan bukannya Olympus (sebagaimana
Best dan kawan-kawan).
Jika triumvirat United yang agung itu main di Liga Inggris hari ini... Ah,
tak ada gunanya berandai-andai. Mereka semua pastinya akan main di Turin atau
Milan, bukannya di Manchester atau Tottemham. Kenyataan bahwa sang Trinitas itu
pernah main di Inggris untuk saat ini rasa-rasanya luar biasa--Paul Gascoigne
yang sorangan menjelaskan semua hal tentang sepakbola mutakhir kita--tapi fakta
bahwa mereka pernah main bersama, di tim yang sama, itu terlalu fantastik,
sebuah penyimpangan sejarah yang aneh. Hanya rangkaian terbitnya novel-novel Inggris
yang hebat pada musim 1847/1848--Jane Ayre, Dombey and Son, Withering
Heights--yang bisa jadi padanan jauhnya.
Diet gelar pendukung United di kemudian hari begitu ketatnya sampai-sampai
seseorang membayangkan bagaimana cara mereka mencolokkan jari mereka ke rongga
tenggorokan saat pulang ke rumah (dari stadion). Tendangan salto Law, sepakan
geledek Charlton, goyangan dan lob dan cungkilan dan giringan Best yang
menakjubkan tinggal jadi wayang umbul yang dijual sepicis dapat dua di Old
Trafford.
Ada satu adegan di video Sejarah Resmi Manchester United-nya BBC
yang membuatmu menangis darah karena iri dan frustrasi: gol briliant, yang
dipuncaki tendangan geledek Charlton di pertandingan Charity Shield melawan
Spurs pada 1967. Law berlari sepanjang dua pertiga lapangan, tanpa ampun
mempermalukan para pemain bertahan yang dilewatinya, lalu bola dikasih ke Kidd.
Kidd mengirim umpan silang, dan Chalton kemudian berusaha membunuh penonton
yang berdiri tepat di belakang gawang Tottemham yang dijaga Pat Jenning. Jika
Arsenal mencetak gol dengan cara macam itu di tahun enampuluhan, aku akan
dengan sukacita membakar diriku sendiri; fans United, sementara itu, paling-paling
cuma menguap saja, sebab boleh jadi pekan depan mereka akan melihat gol yang
lebih baik.
Jika kemenangan United atas Benfica di Piala Champions tahun 1968 adalah
versi sepakbolanya Woodstock, maka apa yang terjadi setelahnya adalah
Altamont-nya. Best mengemas kopernya dan ngacir ke Marbella, Law dijual,
sementara Charlton dan Sir Matt Busby pensiun; manajer-manajer baru--Wilf
McGuinness yang malang, yang rambutnya memutih karena terguncang, lalu Frank
O'Farrell--memenuhi Old Trafford dengan masa lalu, paceklik, dan hal-hal yang
talak guna.
Mereka beli Wyn Davies dan Ted MacDougall, Ian Storey-Moore, dan, yang luar
biasa, Ian Ure, pemain tengah yang bermain untuk Arsenal pada final Piala Liga
1969, yang melukaiku sangat parah hingga codetnya masih tetap terlihat jelas
hingga sekarang. Maka, degradasi pun tak terelakkan. Meskipun United langsung
bangkit dari Divisi Dua di tahun berikutnya, tak ada yang sama setelahnya.
Beberapa dari kami adalah orang-orang yang pertama kali pergi ke stadion
setelah jatuh cinta dengan permainan United dalam versi yang lebih santai;
mereka sekarang cuma tim biasa dan kami bisa membenci mereka tanpa takut dosa,
dan menertawakan kesialan mereka tanpa rasa malu.
Sebenarnya ada banyak yang bikin ngakak. Tersebutlah laju mereka yang
menakjubkan di awal musim 1972/1973 (dua kekalahan dalam duapuluh tiga
pertandingan pertama), yang kemudian diikuti oleh keterpurukan ancur-ancuran
mereka yang menyenangkan setelah Natal, yang membuat Frank O'Farrell dipecat;
selingkuh menggelikan antara (manajer) Tommy Docherty dengan istri tukang pijat
United, yang membuat Docherty didepak; kekalahan di final Piala FA melawan
Southampton dari Divisi Dua, malapetaka yang bikin semua orang bersorak gembira
sebab gol Southampton itu sebenarnya offside bermeter-meter.
Tahun delapanpuluhan sebagian besar sama saja; mereka berjaya di piala yang
remeh-temeh, kalau sesekali menanjak di papan klasemen Divisi Utama maka akan
segera diikuti oleh kemelorotan yang tak kalah bersemangatnya. Para manajer
(Dave Sexton, Ron Atkinson) datang dan pergi; citarasa yang ganjil terhadap
striker mahal yang kemudian terbukti mandul minta ampun (Alan Brazil, Garry
Birtles, Peter Devenport) menjadi tradisi.
Pada periode inilah, ketika klub-klub di Inggris bisa menjual seorang
pemain ke United cukup dengan mengumumkan bahwa pemain itu memang layak
dihargai sekian juta pound, para penggemar klub lain bisa mendapat hiburan
gratis dari ketidakmampuan berkelanjutan
Manchester United merebut gelar dari kubu Merseyside.
Sekarang, jelas kelihatan bahwa masa tunggu yang lama itu sedang menjelang
berakhir. Dan... dan... (alah, tinggal bilang saja susah!)... aku tidak lagi
yakin soal betapa tidak bahagia aku dibuatnya. Mula-mula, aku mulai merasakan
bahwa lelucon itu sudah setengah dekade lebih panjang, dan itu membuat ia mulai
kehilangan rasa lucunya. Kasih mereka apa kek, dan setelah itu
mungkin mereka akan bungkam.
Namun ada alasan lain, yang lebih sentimentil, untuk berharap gelar juara
itu jatuh ke Old Trafford. Ini adalah masa-masa gelap sepakbola. Norwegia punya
peluang besar untuk merebut tempat Inggris di Piala Dunia 1994; sekarang, mengumpan bola kepada salah satu
teman setim, yang sama sekali berbeda dengan menendang bola sekeras-kerasnya
ratusan mil ke angkasa, oleh sebagian besar pelatih sepakbola dianggap sebagai
tindakan ilegal seorang banci kaleng, dan tak disarankan untuk dilakukan; Liga
Premier yang baru jadi bencana kehumasan yang memalukan, sementara para
penonton berbondong-bondong menjauh.
Kadang kala terasa bahwa seperempat abad kegagalan Manchester United itu
cuma sisi keren dan simbolisme yang efektif, sebuah ilustrasi yang mendalam,
dari fakta bahwa zaman keemasan sepakbola sudah lewat. Namun, tim United yang
sekarang, memiliki gaung yang lemah namun menyenangkan dari tim mereka di tahun
enampuluhan.
Sebagai Trinitas, Giggs, Sharpe, dan Cantona agak kebanyakan suku kata
(dibanding pendahulunya, Best, Law, Charlton), namun setidaknya merekalah yang
punya takaran yang cukup memadai yang bisa ditawarkan tahun sembilanpuluhan.
Ada banyak pemain yang hampir-hampir disebut sebagai George Best Baru, sebanyak
orang-orang bilang tentang munculnya Dylan-Dylan baru, tapi Ryan Giggs adalah
tiruan Best paling lumayan hingga hari ini; cuma mukanya yang terlalu pucat
saja yang mengingatkan kita bahwa ini adalah masa yang kurang sehat.
Tapi bagaimanapun, adalah Eric Cantona, pemain mahal United paling menarik
sejak Dennis Law diselamatkan dari Torino di tahun 1963, yang menyediakan
otoritas moral bagi tim ini untuk mengklaim gelar juara.
Ya, ia pemain bagus, tapi ia juga sebuah tontonan, sebuah kebahagiaan,
sekaligus juga kelemahan, jika mengacu kepada beberapa bekas pemain profesional
yang kini mencari nafkah dengan corat-coret pakai pensil di acara Match of
The Day di TV. Dan jika memungkinkan merebut gelar Liga dengan uba rampe, misalnya
sekerat roti Prancis, di lapangan (dan Leeds United, bekas klubnya, tahu soal
hal itu, meskipun ia tidak memperkuat tim itu di beberapa pertandingan), maka
boleh jadi para pelatih kita bisa beralih ke hal-hal estetis dan bukannya
mekanis sebagai sumber ilham.
Cantona membaca puisi—bajingan betul. Ia tahu siapa Rimbaud! Dan, seperti
di pertandingan kandang terakhir United, ia seperti bisa menggelitik bola di
udara dengan kaki luarnya, dan dengan begitu Irwin tinggal hajar saja.
Aneh rasanya melihat tabel akhir klasemen Liga dengan Manchester United ada
di puncaknya. Kami sudah sangat terbiasa melihat ada dua atau tiga klub yang
menutupi mereka di atasnya—rasanya seperti melihat rumah yang tanpa atap, atau
melihat Terry Wogan tanpa rambut palsu. Sekalipun begitu, akan mustahil untuk
tidak merasakan rasa tegang oleh ketertarikan yang nostalgis, dan menerima semuanya
itu sebagai tanda bahwa masa-masa indah itu akan terulang lagi.
United akan menjuarai Piala Champions lagi, akan ada serangkaian
single-single hebat yang dihasilkan di label Tamla Motown, Tuan Waverley akan
memberikan Napoleon Solo misi U.N.C.L.E baru dan aku akan menghabiskan setiap
Sabtu pagiku nonton acara anak-anak di ABC. Jangan ngaco, United (kecuali kalau
kalian main ke London Utara, di mana kalian tak akan dapat tos dariku); aku
ingin masa kecilku kembali.
Winning303 : Judi Bola Online | Casino Online | Slot Online | Poker Online Terpercaya
ReplyDeleteJudi Bola Online
Casino Online
Slot Online
Poker Online
Sabung Ayam
* KUNJUNGI SITUS KAMI DI *
www.winning303.com
*NB : MENANG BERAPAPUN, PASTI KAMI BAYAR !!! *
* Melayani LiveChat 7 x 24 Jam Nonstop :
- WA : +6281717177303
- BBM : WINNING303
- LINE : WINNING303*
PENGGEMAR SLOT GAMES ONLINE ?? DISINI TEMPAT YANG AMAN, NYAMAN, DAN PASTINYA BERAPAPUN KEMENANGAN ANDA AKAN DI BAYAR TUNTAS !!!!
ReplyDeletehttp://bolazeus.com/ JUGA MENYEDIAKAN BERBAGAI FASILITAS SEPERTI DEPOSIT VIA PULSA, DEPOSIT VIA OVO, DEPOSIT VIA ATM BANK LOHH !!!
BURUAN DAFTAR DAN MAINKAN GAMES KEGEMARAN ANDA BERSAMA SITUS BETTING ONLINE TERPERCAYA DI INDONESIA !!
UNTUK INFORMASI LEBIH LANJUTNYA HUBUNGI :
Whatsapp : 0813-3355-2228
SMS : 0813-3355-2228
LINE : zeusbola
BBM : bolazeus
https://hasilbola.vip/prediksi-sepakbola/baca/4543/werder-bremen-vs-bayer-leverkusen-19-mei-2020
ReplyDeletePrediksi Bola Werder Bremen vs Bayer Leverkusen 19 Mei 2020 Yang akan segera dilive streaming oleh team kami bolavita1.com. Dan menyediakan Prediksi Bola yang terlengkap di https://hasilbola.vip
Hasil Pertandingan Dan Prediksi Bola
Prediksi Hasil Bolavita
Donaco Poker Sebagai Situs Agen Poker Online Uang Asli Yang Menyediakan Transaksi Dari Bank Bca, Bni, Bri, Mandiri dan Danamon Memberikan Minimal Deposit Yang Sangat Murah Serta Menyediakan Hadiah Jackpot Setiap Harinya Dan Bisa Bermain Dengan Para Player Dari Seluruh Kota Yang Ada Di Indonesia.
ReplyDeleteWaktu Yang Relatif Singkat Dalam Semua Proses Transaksi Akan Semakin Membuat Para Member Betah Dan Puas.
Hubungi Kami Secepatnya Di :
WHATSAPP : +6281333555662
https://hasilbola.vip/prediksi-sepakbola/baca/4818/everton-vs-aston-villa-17-juli-2020
ReplyDeleteDalam pertemuan kedua tim di Liga Inggris kali ini akan di Jadwal Bola Malam Ini, Pasti akan terlihat seru dalam pertandingan ini oleh karena itu tim kami membuat Prediksi Liga Inggris.
Pastinya Akurat Dalam prediksi ini, yuk kunjungi situs nya langsung hasilbola.vip
Anda suka bermain slot???
ReplyDeleteMau bonus slot 200%???
Mari join bersama kami di Winning303
Dapatkan bonus slot 200% langgsung untuk anda
Info regis
- WA : +6287785425244
Dapatkan keseruan dengan deposit minimal 10ribu di Donaco Poker...Menangkan bonus jackpot hingga puluhan juta rupiah tanpa ribet...
ReplyDeleteDapatkan Juga Bonus Dari Donaco Poker...
- Bonus Deposit 15% New Member Weekend.
- Bonus Deposit 10% Next Deposit Weekend.
- BONUS DEPOSIT HARIAN 5%
- BONUS ROLLINGAN MINGGUAN 0.5%
- BONUS KEJUTAN LAINNYA
Hubungi Kami Secepatnya Di :
WHATSAPP : +6281333555662