Oleh Owen A. McBall
Meski saya bukan pendukung Spanyol, saya gembira dengan kekalahan Belanda di final, dua hari yang lalu. Meski ada sedikit denyar semangat di dada saya setiap Belanda mendapatkan peluang mencetak gol, saya gembira dengan keberhasilan Belanda mencetak hatt trick kegagalannya.
Ya, saya harus jujur, sejatinya, di pertandingan itu, ada suara lamat-lamat di kepala saya yang memanggil-manggil untuk menjatuhkan pilihan kepada Belanda. Jika ada seseorang yang memberikan vuvuzela kepada saya, meski dengan sedikit segan, ia akan saya tiup pelan-pelan untuk menyemangati lari Dirk Kuyt atau gecekan Robben. Bukan, bukan karena saya suka Belanda, tapi karena terlalu banyak orang yang mengunggulkan Spanyol, memuja-muja cara bermain mereka, tapi sama sekali tak menyinggung kalau mereka adalah tim paling membosankan di sepanjang turnamen, dan itu membuat saya tak menyukai mereka. Saya juga ada sedikit hati untuk Belanda karena saya berharap, ketika menghadapi Spanyol, mereka mampu menampilkan siapa sebenarnya mereka. Saya berharap, mereka muncul di final dengan gabungan permainan cantik dan kesuburan dalam mencetak gol, serupa dengan cara mereka bertanding pada pertandingan terakhir sebelum ke Afrika Selatan, saat menghancurkan Hungaria 6-1 di Rotterdam.
Tapi rupanya mereka memilih cara lain. Dan cara lain yang mereka tempuh itu, menurut saya, sangat layak untuk diganjar dengan kegagalan. Dan untuk itu, saya gembira.
Belanda, sebagai bangsa, punya dua sisi yang berbeda. Mereka bangsa kecil saja di belahan barat Eropa yang sesak itu. Luasnya cuma 41, 5 ribu km2, yang di kawasan itu hanya lebih besar dari negeri-negeri liliput macam Luxemburg dan Lichtentine. Namun, jangan dikira besarnya arti Belanda bagi Eropa. Bangsa kecil inilah yang melahirkan, mulai dari Erasmus, Spinoza, Rembrant, hingga Van Gogh. Tapi, di sisi lain, bangsa mungil ini juga melahirkan nabi-nabi kegelapan yang menciptakan kebiadaban yang parah lagi panjang di belahan dunia lainnya. Jan Peterszoon Coen yang serakah dan Paul Kruger yang rasis lahir dari rahim bangsa ini.
Sepakbola Belanda, menurut hemat saya, juga memiliki dua sisi yang kontradiktif dalam dirinya. Kepala mereka saya yakin dihuni oleh Erasmus atau Spinoza, sementara di kaki-kaki mereka ada tangan-tangan Rembrant dan Van Gogh. Tak heran, selama mereka mau, Belanda tak akan pernah kehabisan pemikir di bangku cadangan dan seniman bola di tengah lapangan. Lihat, mereka tak hanya melahirkan Total Football dan Akademi Ajax Amsterdam, tapi juga Cruijff, van Basten, Gullit, Rijkaard, Bergkamp, hingga yang terakhir Sneijder. Tapi, diam-diam, di balik punggung mereka, rupanya menggelayut arwah-arwah penasaran punya Coen dan Kruger. Sisi yang terakhir ini tak berapa sering tampak, namun sekali mereka muncul, kesebelasan Belanda akan jadi sekelompok monster yang menyeramkan, tak ubahnya Coen bagi orang Jawa dan Kruger bagi warga kulit hitam. Mau tahu kapan sisi mengerikan ini muncul? Catat: 1) arogansi menjijikkan sekelompok pemain di bawah komando Basten melawan pelatih mereka yang tak dikenal, Thijs Libregts, sepanjang kualifikasi PD 90, 2) “perang” antarbekas penjajah melawan Portugal pada perempat final PD ‘06 di Nuremberg yang melahirkan berbagai rekor buruk dalam hal kedisiplinan, 3) partai final melawan Spanyol di Johannesburg pada PD ’10 yang melahirkan rekor buruk berikutnya.
Ya, di South Africa 2010, terutama di partai puncak, sisi buruk itulah yang dimunculkan Belanda. Dikenal sebagai pemegang salah satu pusaka paling berharga dari sepakbola bernama Total Football, Belanda justru tampil di Afsel seperti sederetan meriam VOC yang kaku, dingin, dan efektif. Bert van Marwijk, pelatih yang perawakannya tak mengesankan itu, memperlakukan kesebelasan asuhannya seperti Peterszoon Coen memperlakukan Hindia Belanda. Jika Coen bisa melakukan apa pun demi mengapalkan pulang emas dan rempah, van Marwijk menempuh segala cara untuk membawa pulang piala. Maka, hanya sedikit beda dengan Coen yang memakai tai untuk mengalahkan Sultan Agung, van Marwijk “tega” mengubah menantunya, Mark van Bommel, yang di tangan Van Gaal di Bayern Munchen begitu elegan, menjadi seorang tukang jagal yang sangar dengan ekspresi yang begitu datar. “Ini memang bukan gaya kami, tetapi Anda bermain untuk menang,” demikian kata van Marwijk kepada media.
Belanda sangat jelas bisa menang dengan main bagus, sebagaimana sejarah sepakbola mencatatnya. Tapi, van Marwijk hanya membutuhkan kemenangan dan mengabaikan yang lain. Jangan tercengang, jika hanya itu yang didapatnya saat menghadapi Denmark, Jepang, Kamerun, Slovakia, dan Uruguay. Maka, sembari berpikir kalau tim mana pun bisa saja segrusa-grusu Jepang, seragu Slovakia, dan seapes Uruguay, dengan cara yang bukan gaya mereka itu pula mereka menghadapi Spanyol di final. (Marwijk, mungkin sama sekali tak ingat, atau bisa saja sengaja abai, kalau mereka bisa mengalahkan Brazil di perempat final justru saat bermain bola dengan gaya mereka yang sebenarnya, paling tidak pada babak kedua.)
Meski para pemain Spanyol lebih suka mengumpan daripada mencetak gol, jelas mereka sama sekali berbeda dengan tim-tim yang dihadapi Belanda sebelumnya. Mereka, seperti kata banyak orang, adalah Brazil yang dilengkapi dengan kesabaran, minus kekeraskepalaan Dunga. Saat masuk lapangan di Soccer City sore itu, mereka masih mengenakan mahkota Eropa, dan sedang sangat ingin mendapatkan yang berikutnya. Itu yang jelas tidak dimiliki tim macam Slovakia, atau bahkan Uruguay—yang targetnya telah terlampaui. Maka, alih-alih Iniesta, Xavi, Pedro, dan Alonso yang menderita karena tebasan dan terjangan van Bommel dan De Jong, justru para striker dan gelandang serang Belanda-lah yang sepi dari umpan. Dan, alhasil, kita melihat penyerang-penyerang hebat macam Robben, Kuyt, dan van Persie malih rupa menjadi tukang tekel yang—sayangnya—buruk.
Ketika hanya jadi juru jegal di sepanjang 90 menit, para penyerang Belanda tak bisa melakukan pekerjaan mereka yang sebenarnya ketika kesempatan itu datang. Pada perpanjangan waktu, Robben yang biasanya melewati 4-5 pemain belakang, dua kali tak berdaya saat berhadapan satu lawan satu dengan Casillas. Mendapati dirinya gagal, Robben bukannya bangkit dan siap menciptakan peluang berikutnya, tapi mengejar-ngejar wasit Howard Webb. Ya, Webb memang dari Inggris, tapi dia bukan wakil kerajaan Inggris abad ke-19 yang dengan senang hati memberikan kembali Hindia kepada Belanda setelah yang belakang disebut ini lepas dari penjajahan tetangganya, Prancis.
Menyusul kartu kuning kedua untuk Heitinga, sebiji gol Andres Iniesta pada menit ke-116, yang bisa saja diperdebatkan keabsahannya, menentukan siapa yang juara.
Robben dan Sneijder menangis sesenggukan, begitu pertandingan kelar dan telah jelas siapa yang merengkuh gelar. Itu amat wajar. Tapi saran saya (jika saja bisa), segera hapus air mati itu Arjen, Wesley, sebab kalian adalah dua pemain hebat yang selamat dari menjadi bagian dari sebuah tim yang memenangkan Piala Dunia dengan cara terburuk yang pernah dilakukan. Van Bommel tampak amat marah dan langsung merangsek ke wasit Webb, begitu sang wasit meniup peluit panjang terakhirnya. Ya, ia memang sepantasnya marah. Boleh kepada wasit, tapi semestinya ia harus lebih marah kepada dirinya sendiri dan mertuanya. Sebab, sepanjang pertandingan, ia jauh lebih berusaha untuk menyakiti Iniesta dibanding berusaha untuk memenangkan pertandingan. Di sisi lain, hanya van Marwijk-lah yang patut disalahkah atas tampilan Belanda yang begitu menjengkelkan dan sekaligus tetap saja gagal. Untuk pendukung Belanda, bersyukurlah. Sebab, dengan cara main yang seperti itu, tim kalian melangkah lebih jauh dibanding Prancis, Italia, dan Inggris.
“Jika Belanda juara, akan buruk bagi sepakbola...,” demikian kata Alan Hansen, mantan pemain Liverpool. Kata saya, jika Belanda juara, akan jauh lebih buruk akibatnya bagi sepakbola Belanda sendiri. Gelar juara itu tak hanya akan menodai Total Football yang, seperti kata Cruijff, keindahannya akan selalu dikenang itu. Gelar itu juga amat mungkin akan menjadikan kesebelasan Belanda dikenang oleh pencinta sepakbola seperti kenangan orang Jawa atas kemenangan Peterszoon Coen atas Mataram dan kenangan para budak Melayu dan Afrika atas kemenangan Paul Kruger pada Perang Boer.
Saya tak turut bahagia dengan gelar Spanyol, tim juara yang cuma bisa mencetak 8 gol itu. Namun, saya gembira dengan gagalnya Belanda, finalis yang mengemas 25 kartu kuning dalam 7 gim.
ommm... tarik dong catatan FB-mu ke sini qeqeqe salam blogger ;)
ReplyDeleteini lagi coba-coba dandan-dandan. susah juga jadi orang belakangan, hahaha...
ReplyDelete