Monday, February 13, 2012

Hantu Para Maestro

Oleh Darmanto Simaepa

Saya suka istilah Uruguay, Maestro, untuk menyebut para pelatih hebat. Ada banyak definisi, dan juga perdebatan tentang siapa Maestro. Ukuran yang paling banyak digunakan—dan mungkin paling bisa diterima—adalah seberapa banyak koleksi tropi dan medalinya. Pada level ini, Herbert Chapman, Ferguson, Giovani Trapattoni, Miguel Munoz, Mourinho bisa kita sebut didalamnya.

Bila dirincikan lagi, perdebatan tidak akan berhenti karena bicara tentang trofi juga dipengaruhi dimensi level (apakah memenangi piala dunia, liga champion atau liga domestik) dan dimensi waktu (apakah seseorang melatih tim sebelum piala dunia, era 70an atau kompetisi modern yang sangat ditentukan siaran televisi), serta selera sepakbola (apakah anda penggemar permainan menyerang atau pengagum seni bertahan).

Sebagian lain mengatakan piala memang penting, tapi kemampuan melakukan revolusi taktik dan mentransformasikannya menjadi sebuah standar permainan pada masanya, jauh lebih dihargai. Michels dengan total football-nya, Tele Santana dengan Jogo Bonito, Sacchi dengan Corto Stretto, Heleno Herera dengan Catenaccio, Cruijff dengan permutasi dan positioning play-nya, atau Lobanovsky dengan scientific football berada pada level yang berbeda dengan pelatih kebanyakan ketika berbicara tentang penemuan metodologi sepakbola.

Ada juga sebuah definisi yang (entah sadar atau tidak) dipinjam dari istilah sekolah, dimana Maestro adalah orang yang bisa menghasilkan generasi pelatih yang sama hebat dengan dirinya. Sacchi bisa dibilang hebat karena Gullit, Rijkaard, Ancelotti, Basten, Savicevic berhasil menjadi pelatih brilian. Kalau benar ini ukurannya, mungkin Rinus Michels bisa dibilang buruk karena menghasilkan pelatih sejenis Wim Rijsbergen....

******

Saya tidak akan masuk ke dalam perdebatan tanpa usai tentang siapa Maestro paling hebat. Selain bahwa perdebatan itu barangkali absurd, saya jelas sudah punya preferensi, dan setiap argumentasi hanyalah seperti sebuah omong kosong. Alih-alih mendaftar para Maestro, saya tertarik dengan kisah para hantunya.

Bagaimana ini terjadi, saya akan memulai dari kisah almarhum Bobby Robson dan Barcelona....

Bagi mendiang Robson, Nou Camp adalah rumah besar yang angker. ‘Cruijf seperti bayang-bayang gelap yang menghantuiku,’ kenang Robson untuk sedikit tahun hidup di Katalunia. Tidak peduli piala Winners yang ia menangkan, tidak peduli membuat Ronaldo menjadi pemain terbaik dunia, Robson dibayang-bayangi oleh keberhasilan Cruijf menjadikan Barca menjadi salah satu tim yang merevolusi cara menyerang—selain Milan—pada masanya. Dengan segala reputasi dan gelar kebangsawanannya, Nou Camp tidak pernah cukup bisa menerima kemampuan Robson meracik taktik.

Barcelona (selain rival abadinya, Madrid) adalah salah satu tim yang tidak cukup puas hanya bisa juara atau menang pertandingan. Seringkali, untuk mendapatkan elegansi, gaya, visi yang mereka inginkan dalam permainan, dia harus membuang para pemain termahalnya atau pelatih dambaannya. Setelah hampir dua dekade dengan sebelas pelatih datang dan pergi, bahkan sekalipun itu Rijkaard yang memberi titel Champion, bayang-bayang Cruijf hanya bisa dihapus oleh murid kesayangannya, Guardiola.

Dalam tradisi sepakbola Inggris, hantu-hantu para Maestro bergentayangan di kota-kota sepakbola. Di Manchester, bayang-bayang kebesaran Matt Busby telah membuat Old Trafford jadi kandang divisi dua selama 3 musim selama era 70-an. Ketidakberhasilan melepaskan era kejayaan Sir Matt selama dua puluh tahun, telah membuat setan merah menderita. Tim ini harus merugi, kehilangan fans, paceklik gelar dan terutama kehilangan otoritas untuk bisa dikagumi di Eropa.

Para pengganti Busby, merasa langkahnya diikuti oleh bayang-bayang sir Matt: di ruang ganti, dibangku cadangan, di tempat latihan, di pesawat. Definisi tentang bermain sepakbola, bagaimana kostum dirancang, jenis sepatu yang dipakai merujuk pada kata-kata Matt. Frank O’Farrel, yang hanya beberapa bulan duduk di kursi yang selama puluhan tahun ditempati pendahulunya itu, mengeluh bahwa dia hanya direkrut untuk mengunci pintu kantor yang ditinggalkan oleh Sir Matt. ‘Dia selalu ada dimana-mana,’ keluh Farrel, ‘dan para pemain mudah menemukannya’.

Berganti kisah ke merah lainnya, hantu Bill Shankly juga membayangi kehidupan Bob Paisley selama tahun-tahun awal gejolak transisi di Anfield. Suatu masa di Melwood, saat Shankly yang setengah pikun mencari-cari halaman rumahnya dan kesasar di lapangan latihan, tiba-tiba semua pemain, staff, dan pembersih kamar mandi menoleh ke arahnya dan mengatakan ‘hai Boss’ dan sedikit mengacuhkan keberadaan Paisley. Paisley bahkan harus mengancam klub untuk ‘mengusir’ Shankly (yang saat itu menjadi dewan direktur) atau dia akan mundur untuk mengikis hantunya. Hantu Shankly hanya bisa diatasi Liverpool setelah dirinya, karena setengah terusir dari Anfield memilih mengungsi ke Goodison Park.

Manchester mungkin lebih beruntung karena, setelah dekade frustasi di tahun 70-an dan 80-an, mereka menemukan orang yang bisa menghalau hantu sir Matt—kita tidak usah menyebut nama si diktator penggantinya ini. Arsenal butuh 6 dekade untuk mencari reinkarnasi Herbert Chapman dalam diri Arsene Wenger. Auxerre kehilangan selama-lamanya figur ayah dalam diri Guy Roux, dan kehidupan sepakbola di kota itu tidak pernah lagi sama sejak ia pensiun. Intermilan harus melewati banyak kenistaan dan menahan tahun-tahun penuh rasa malu dan rendah diri untuk membuat roh Helenio Herrera bersemayam dengan tenang sampai saat mereka menemukan si istimewa Mourinho.

Menjadi pelatih hebat dan juara memang sulit. Tapi jauh lebih sulit lagi dia bisa menciptakan serial hantu yang mampu menteror para penerusnya. Kebanyakan Maestro yang mampu menciptakan hantunya adalah orang yang mampu membuat revolusi bagi timnya. Revolusi ini tidak harus berarti permainan ala Guardiola atau Sacchi. Para Maestro ini mampu mentransformasikan visinya ke dalam konteks permainan yang dia inginkan. Helenio Herera bisa diterima di klub Barcelona karena ia mampu merevolusi cara klub berpikir—tidak peduli cara berpikir itu berbeda dengan gaya flamboyan Catalan.

Apa kualitas yang menentukan para Maestro itu? Disini dibutuhkan ego, karakter, kekuasaan, dan kualitas personal yang sangat besar. Anda tidak akan mencatat Steve McLaren untuk menjadi pelatih Inggris yang dikagumi atau Zaccheroni untuk pelatih Milan yang dikenang. Dibutuhkan Seseorang dengan daya pimpin yang kuat—tidak peduli jahat atau brutalnya dia—dan bisa mentransformasikan dirinya menjadi representasi klub. Ego yang sangat besarlah yang mampu mewujudkan apa yang identik dengan tim, klub dan cara bermain sepakbola.

‘Wajah pelatih adalah cermin dari kesehatan timnya,’ ujar Wenger suatu kali. Dan tentu saja ia benar. Coba apa yang anda pikir tentang Fergie, MU dan permainannya? Pasti anda berpikir tentang betapa berkuasanya (dia dan tim ini), betapa arogannya, betapa disiplin dan loyalnya seseorang menjadi bagian terpenting dari sebuah kehidupan sepakbola. Jika anda tidak sesuai dengan gaya Fergie, pintu Old Trafford selalu terbuka. Jika saya disuruh berpikir tentang Chelsea, saya akan berpikir tentang metode Mourinho! Juga cara Lampard, Terry dan Drogba menendang dan mengumpan bola.

Hantu para Maestro yang hadir di kantor, WC dan konferensi pers klub, jika tidak pernah bisa tidur tenang, menjadi salah satu faktor yang akan membuat klub hidup dalam masa kegelapan. Nottingham Forest tidak pernah berhasil mencari figur Brian Clough yang tidak beristirahat dengan damai karena melihat klub tercintanya terdegradasi. River Plate terus menerus gusar mencari padanan kehebatan Angel Labrina—bahkan ketika Pasarella mencobanya—dan kini terpuruk ke divisi dua.

Namun, kisah hantu para Maestro ini tidak melulu membuat depresi para penerusnya. Bayang-bayang kehebatan itu juga kerap kali menghantui si Maestro sendiri. Rinus Michels kembali ke Ajax 5 kali setelah pensiun dan tidak pernah bisa menciptakan Ajax seperti yang ia wariskan. Di ujung Skandinavia, Eggen harus bolak-balik 6 kali ke klub yang sama selama 30 tahun terakhir untuk mencari-cari formasi 4-3-3 versi Skandinavia yang telah ia ciptakan. Juga si Tabarez harus turun gunung lagi menukangi Uruguay mencari sejumput kejayaan masa lalunya di Montevideo. Bahkan tarik ulur masa pensiun Fergie adalah sebuah contoh dimana ia selalu dihantui kebesarannya sendiri.

*****

Kehebatan setiap Maestro memiliki sisi gelapnya. Para pelatih yang sangat sukses menjadi ikon dan representasi klub membuat klubnya berada dalam resiko besar—terutama setelah si Maestro pensiun. Kejayaan Liverpool era Paisley dan kemudian diteruskan oleh Dalglish telah membuat klub ini menghasilkan satu generasi Scouse yang patah hati, murung dan menderita inferioritas yang sangat dalam.

Masalah terbesarnya adalah para pelatih hebat dan segala keberhasilannya akan mentransformasikan harapan tertentu. Harapan terbesar publik Nou Camp adalah mencari pelatih yang membawa evolusi permainan yang telah dirancang dan dipraktikkan oleh Michels dan Cruijff. Bahkan Van Gaal yang sangat sukses di 3 negara dan Rijkaard (dan memberikan Barca gelar bergengsi) tidak bisa memberikan harapan itu.

Menenangkan arwah Cruijf mungkin hal yang sangat sulit, tapi barangkali dalam sepakbola kontemporer, menyapu jejak Ferguson di Old Trafford barangkali pekerjaan yang nyaris mustahil. Perdebatan siapa pengganti Fergie selalu menjadi teka-teki yang tak pernah usai. Siapapun yang menggantikannya akan dihantui oleh level keberhasilan yang telah Fergie capai selama 25 tahun.

Tidak ada klub yang mampu melakukan transisi yang berlangsung mulus untuk sebuah suksesi sebuah rejim yang sangat sukses. Tidak mengherankan jika ramalan The Guardian menyebutkan MU adalah sebuah kerajaan yang sedang menanti zaman keruntuhannya.

Tepat disinilah saya harus memberi apresiasi kepada Mourinho. Ia menjadi istimewa, tidak hanya seperti yang diklaimnya sendiri, karena keberhasilannya untuk membunuh hantu-hantu Maestro dan sekaligus menggandakan hantunya di klub-klub yang ia pernah tangani.

Kenapa ia begitu dipuja Moratti dan Interisti karena tidak hanya berhasil melampaui apa yang Herrera berikan untuk Inter, ia juga telah membuat 4 pelatih hebat setelahnya—Benitez, Leonardo, Gasperini, dan Ranieri—menerima bayang-bayangnya dan tidak berhasil keluar darinya.

Saya kira, hantu Mou bahkan tidak bisa dihapus oleh Ancelotti di Stamford Bridge—apalagi oleh Villas Boas. Satu-satunya orang yang bisa membunuh hantunya adalah dia sendiri. Tidak kebetulan jika dia ingin kembali ke premier league dan Inggris akan selalu menjadi rumah sepakbola baginya. Ia sepertinya belum selesai menyempurnakan hantu ciptaannya sendiri di Chelsea dan saya yakin ia pasti kembali ke sana suatu saat nanti. Dalam sepakbola modern ini, meskipun saya membencinya, saya kira Mourinho adalah satu-satunya Maestro yang terus menerus menciptakan hantunya sendiri!

Setidaknya, saya selalu dihantui oleh nama Mourinho saat menulis tentang kisah para pelatih.......

2 comments: