Oleh Mahfud Ikhwan
Saya pertama-tama
jatuh cinta dengan sepakbola. Setelah itu, baru ke Milan.
Kenapa Milan?
Saya tidak tahu persisnya; dan jika pun dijelaskan, tak akan cukup memuaskan.
Milan jelas bukan
klub pertama yang saya dengar, yang saya kenal. Dibanding Milan, sepertinya
saya lebih dulu mendengar nama Everton, Liverpool atau Manchester United. Klub-klub
sepakbola lokal malah jelas jauh lebih awal, bahkan yang namanya kini telah
menjadi asing macam Warna Agung, PS Gajah Mungkur, BPD Jateng, Perseman
Manokwari, Persis Sorong, Pusri Palembanng, dan tentu saja Niac Mitra (yang
dulu selalu saya ucapkan Niat Mitra).
Sama-sama sulit
diucapkan, ketika saya pertama kali menemukan nama Ruud Gullit dan Van Basten di
sesobek koran bekas tentang Piala Eropa 1992, saya sudah mahir menghafal nama
Benny van Breukelen, kiper Arseto Solo, juga nama-nama rumit lain macam Yonas
Sawor, Frans Sinatra Huwae, atau Edward Mangilomi. Jika ada klub Italia yang
secara sangat samar saya dengar jauh lebih awal, itu adalah Napoli. Saat itu
saya sudah mengenal nama Maradona dan Argentina. Saat pertama kali masuk
sekolah SD, buku seorang teman bergambar foto-foto tim dengan nama-nama yang
sangat aneh (yang jauh belakangan kemudian saya ketahui sebagai nama klub
Italia). Di situ saya mendapati nama Maradona dijajar dengan “nama” yang lain
yang bukan Argentina.
Maklum, saya
memulai dari radio. Bapak saya yang memperkenalkannya. Dan karena yang diputar Bapak
selain RRI Jakarta dan RRI Surabaya adalah Radio BBC London, maka Liga Inggris
adalah liga Eropa pertama yang saya ikuti, selain Liga Jerman yang disiarkan
TVRI. Milan, Fiorentina, Genoa, Padova, Bologna, Parma, juga Juve, menjadi jauh
lebih terang bagi saya begitu Piala Dunia 1994 berlangsung. Nama-nama klub itu mulai
menyita perhatian karena dikaitkan dengan pemain macam Thomas Brolin, Kennet
Anderson, Florin Raduciou, Alexi Lalas, Nestor Sensini, dan tentu saja
pemain-pemain Italia yang maju sampai final.
Lalu dari sekian
banyak itu, kenapa Milan? Saya tak bisa meyakini satu jawaban pun selain
mengira-ngira. Mmm... bolehjadi itu terjadi di saat menjelang sampai usainya final
Liga Champion 1995. Dan saat itu Milan kalah. Apakah masuk akal jatuh cinta
dengan tim yang kalah? Saya tidak tahu, tapi begitulah.
Yang saya tahu
benar asal usulnya malah lahirnya seorang Juventini. Saya tahu karena sayalah sebab-musababnya.
Sial!
***
Saya menyukai
sepakbola sejak masih TK. Tapi di SMA saya gila. Saya membaca, menghafal, dan
kemudian menggunting nyaris apapun yang berkait sepakbola.
Tabloid sepakbola
pertama saya adalah Kompetisi, milik
Group Jawapos. Karena tabloid inilah, saya yang awalnya berangkat ke Babat
ingin mondok tiba-tiba memutuskan untuk ngekos di rumah seorang tukang wingko
di dekat Pasar Babat, setelah saya melihat setumpuk Tabloid Kompetisi bekas di ruang tamu si tukang
wingko. (Tabloid bekas untuk pembungkus wingko itu sebagian kemudian diam-diam
saya colong dan guntingi.)
Bergaul dengan
anak-anak kota (kecil), saya segera mengenal Bola. Tapi, cinta sejati saya adalah GO, pimpinan Hardimen Kotto. Di antara Kompetisi yang terlalu kecil dan Bola terlalu mahal, GO
menawarkan harga yang lebih murah dengan ukuran yang lebih besar, tulisan bola
yang lebih banyak, dan—yang terpenting—poster pemain. Hal terakhir inilah yang
membuat saya memilih menahan diri untuk membeli GO edisi baru, agar bisa
membeli GO bekas secara kiloan, dan mendapatkan poster pemain lebih banyak.
Poster-poster itu
terdistribusi ke mana-mana. Sebagian saya tempel berjejal-jejal di lemari
pondokan yang saya yang kecil dan reot (ya, saya akhirnya tetap mondok—mau jadi
apa kalau tidak mondok?). Yang terbanyak saya tempel di buku-buku sekolah saya,
terutama di sampul-sampul buku pelajaran IPA yang sampulnya membosankan itu. Yang
terbaik saya bawa pulang, saya kasih alas kardus, saya beri pigura, dan saya
pajang di ruang tamu rumah. Meskipun telah menjadi fans Milan yang bangga, saya
tetap dengan mudah menyukai pemain dari klub mana pun. Karena itu, poster pemain
yang saya pajang di dinding rumah berasal dari bermacam klub. Saya sudah lupa poster
siapa saja yang saya pajang, tapi saya ingat bahwa Milan hanya diwakili oleh
Marco Simone, striker yang saat itu pun sudah pindah ke PSG. Tapi poster
kesayangan saya adalah duel langka antara Batistuta (dengan kaos ungu
Fiorentina bersponsor dada Gelati Sammontana) melawan Del Piero (dalam kaos
lorek bertajuk Danone). Kenapa itu poster langka? Karena tangan sayalah,
dibantu gunting dan lem, yang membikinnya.
Mungkin saat ini Anda,
bahkan saya sendiri, akan menertawakan poster rekayasa itu. Tapi tidak untuk
seseorang.
Poster-poster
pemain itu sebenarnya tak bertahan lama di tempatnya. Saya jatuh cinta dengan
kanvas dan cat minyak, terutama di kelas tiga SMA. Dan sori saja... untuk saat
itu, kegilaan pada sepakbola tak berdaya mengalahkan gejolak jiwa seni yang
tengah menggelegak. Poster-poster itu saya campakkan. Tapi seseorang, dengan
mata dan kepalanya yang masih kecil, justru menyimpannya dengan baik—dan kemudian
selektif. Dan “makhluk yang tak dikehendaki itu” kemudian lahir dari situ.
***
Saya suka pamer
kegilaan saya dengan sepakbola, tapi saya tak suka mempengaruhi orang lain,
termasuk dengan keluarga atau teman dekat. Makanya, saya tidak ingat pernah memaksa-maksa
orang lain, termasuk adik saya, menonton atau menikmati sepakbola (kecuali jika
itu membuat saya bisa menonton sepakbola: pemilik tv atau lurah pondok,
misalnya). Meski demikian, saya tidak heran ketika, pada satu kesempatan balik
dari Jogja, saya dipersalahkan oleh guru madrasah setempat soal adik saya. Pasalnya,
saat Ujian Akhir tingkat SD, dia selalu menyelesaikan soal dengan terburu-buru,
dan sudah keluar dari ruang ujian saat waktu masih tersisa puluhan menit. Kenapa
saya dipersalahkan? Karena bocah itu buru-buru menyelesaikan soal ujiannya cuma
agar bisa menyaksikan pertandingan Copa Amerika.
“Ah, dasar anak
bapaknya dan adik kakaknya,” begitu cibir orang-orang. Dan, dengan tersenyum-senyum,
saya menyepakatinya.
Saya juga tidak
heran ketika sangat belakangan saya tahu kalau ia menjadi pendukung Juventus. Pasti
karena ia mulai menyukai sepakbola bersamaan dengan masa-masa hebat Juventus di
pertengahan hingga akhir ‘90-an, saat Juve menguasai sendirian Serie A dan jadi
langganan final Liga Champions.
“Ah, paling
karena menangan,” begitu tebak saya, sambil mengejek. Adik saya menggeleng.
“Lha, terus?”
Ia tersenyum dengan
sungkan: “Karena poster Del Piero-mu di rumah dulu.”
Lihat, Juve
bahkan melakukan kecurangan di rumah saya!
***
Saya tidak punya
persoalan dengan Juventus. Sungguh! Wani kithing!
Tidak cuma punya adik yang Juventini, saya juga punya banyak teman dekat yang Juventini.
Jadi, tentu saja saya berharap yang terbaik untuk mereka.
Misalnya, dengan mengukuhkan
predikatnya sebagai runner-up terbanyak Liga Champions. Itu jelas hebat. Dan
itu sebuah rekor!
Jangan salah
paham. Seperti yang dilakukan semua fans atas klubnya, yang saya harapkan adalah
yang terbaik untuk klub saya, AC Milan—di tengah keterpurukannya. Karena Milan
tidak sedang dalam kondisi bisa diharapkan mempertahankan kebesarannya, maka
yang bisa saya dilakukan adalah berharap kebesaran itu tak terkurangi.
Mengharapkan Barca dan Juve sama-sama gagal jelas tak mungkin, maka yang paling
mungkin adalah mengharapkan Juve gagal.
No comments:
Post a Comment