Wednesday, October 10, 2012
Sang Bintang
Oleh Eduardo Galeano
Pada suatu hari yang indah, angin keberuntungan mencium sepasang tungkai yang buruk: kaki kurang gizi dan sedikit bengkok. Dari kecupan lembut nasib itulah sang bintang mengada di dunia. Dia dilahirkan di sebuah ranjang berkarat di bawah atap gubuk reyot, dan muncul ke dunia untuk memaut bola.
Saat mulai belajar berjalan, dia sudah tahu bagaimana cara mengolah bola. Di masa belia, dia membawa kegembiraan di tanah berdebu, diantara lorong-lorong sempit pemukiman kumuh, dimana ia bermain sepanjang hari hingga malam beranjak, saat bola tak lagi bisa terlihat. Menjelang dewasa, ia terbang ke belahan dunia lain dan seisi stadiun melayang bersamanya. Seni gocekannya terlukis di pelbagai katedral sepakbola, minggu demi minggu, dari satu kemenangan menuju kemenangan lainnya, untuk riuh rendah tepuk tangan ke tepuk tangan berikutnya.
Bola jinak di kakinya, mengerti dan membutuhkanya. Ia memeluk dan bercumbu dengan ujung jarinya. Sebaliknya, Sang bintang merawat dan membuat kekasih bundarnya itu menyayanginya, dan sepanjang waktu, mereka terlibat dalam jutaan percintaan tanpa kata. Siapa saja, yang biasanya menjadi bukan siapa-siapa, akan merasakan desir darahnya mengaurs di sebuah momen ketika keindahan umpan satu dua, sebuah giringan bola melintas, meninggalkan lukisan imajinatif di rerumputan, gol tumit memukau atau tendangan gunting menghadirkan pesonanya. Saat ia di lapangan, timnya memiliki tak hanya sebelas pemain. ‘Dua belas? Lebih, itu adalah lima belas, dua puluh!”
Bola tertawa, berpilin dan merona di udara. Sang bintang membawanya pulang, mengajak tidur bersama, memandikannya dengan penuh kasih, membawanya berdansa dan merasakan belas kasih yang indah, sesuatu yang belum diperoleh anak cucu sang bintang, yang mungkin juga tidak akan pernah merasakan kualitas percumbuan si kakek dengan bolanya.
Namun, sang bintang adalah secercah cahaya cemerlang di sebuah momen. Keabadian manusia adalah mustahil. Ketika waktunya tiba bagi si kaki emas berubah menjadi bebek yang pincang, sang bintang akan menyelesaikan perjalanan gas berpijarnya di gelap semesta. Otot-ototnya lebih longgar dari jubah badut, dan sejak itu, pesulap menjadi lumpuh. Sang seniman menjadi terseok-seok: ‘Tidak lagi ada keajaiban'.
Guyuran pujian penonton berganti sorakan dan cemoohan: ‘Kamu bangkai’.
Terkadang, Si bintang tidak jatuh sekaligus secara penuh. Dan saat dia hancur berkeping-keping, orang-orang akan memangsa remah-remahnya.
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment