Oleh Darmanto Simaepa
Kekalahan Indonesia dengan cara buruk menyisakan rasa getir dimulut. Siaran amatir, taktik yang ceroboh, pemain yang gugup, pelatih yang bingung dan penyiar yang linglung mengubah kegembiraan menonton sepakbola menjadi horor gelap. Ini memang bukan Jumat Kliwon, tapi ini malam dimana harapan yang pernah singgah di kepala rakyat Indonesia penonton lenyap dengan tiba-tiba dan digantikan hantu kegagalan yang berteman dengan sejarah sepakbola kita.
Jutaan orang memulai menonton tayangan timnas dengan antusias. Pisang goreng, cemilan, kacang goreng, kopi panas , teh hangat, atau indomi rebus telur dihidang. Di kafe-kafe, syal, kaos, jaket dan spanduk dikibarkan ditengah yel-yel untuk menambah gegap gempita. Di ruang keluarga—baik yang di rumah megah di Karawaci, gubuk-gubuk di lereng bukit di Morowali, maupun kost-kostan di gang sempit Dolly—posisi duduk ditata agar ledakan histeria tidak memecahkan kaca atau kegembiraan merusak jendela. Banyak anak gadis dan ibu-ibu terpaksa melewatkan satu episode sinetron favoritnya.
Di rumah, Owen McBall, seorang kawan yang mencintai sepakbola dengan cara menuliskannya, membikin 2 gelas kopi Palembang. Sebelumnya, Saya telah membeli 3 bungkus cemilan: keladi goreng, kentang pedas, dan kacang. Dua teman datang menonton bersama menambah intensitas suasana. Meski datang kawan yang tidak suka sepakbola, dan terpaksa duduk bersama karena tidak ada teman lain yang mengajak bicara, semua berharap akan jadi pertandingan sempurna.
Stasiun televisi memulai siaran dengan serampangan. Setengah jam lebih, penonton menunggu siaran dengan iklan. Komentator distudio disuruh memulai dan diminta berhenti tepat sebelum kalimatnya belum selesai. Sementara penyiar dari stadion seperti bicara terhadap dirinya sendiri. Setiap pertanyaan dari partnernya diulang kembali, dan dijawab dengan hal-hal yang tidak berhubungan dengan pertanyaan. Tidak ada data, statistik atau analisa mendalam. Saya yakin malam tadi, jutaan penonton televisi memencet tombol remot ketika komentator memulai bicara dan seperti saya, berharap mikroponnya rusak atau kabelnya putus.
Timnas memulai pertandingan seperti koboi yang kehilangan pistolnya. Atau setidaknya mirip penulis yang kehilangan idenya. Sisa-sisa cekcok pelatih-pemain seperti keramik retak yang coba direkatkan dengan lem besi oleh Limbong berakhir sia-sia. Tidak ada kegembiraan dari semua elemen tim ketika keluar dari kamar ganti. Cedera beberapa pemain dan masalah kedisplinan, yang hilang dimasa Riedle, kini datang kembali. Lebih buruk lagi, yel-yel dan koor gegap gempita yang memberi semangat dari pemain ke-12 berkurang separuhnya.
Wim merubah formasi tim yang bermain bagus saat melawan Arab Saudi. Saya sangat yakin, ketika tim ini diisi Bambang, Firman, Ferry, Ridwan dan mencadangkan pemain-pemain seperti, I Made, Wahyu, Ferdinand ini bukan soal strategi. Bagaimana mungkin sebuah eksperimentasi yang sangat berhasil 3 hari menjelang pertandingan resmi diabaikan? Ini soal rasa takut orang Belanda itu dalam mengambil resiko.
Sikap menyalahkan pemain pasca kekalahan dari Bahrain masih bisa dimaafkan. Ajaibnya, begitu lantang dia membela diri, kenapa dia masih memasang para pemain yang berontak? Saya menduga, di saat posisinya terjepit sekarang ini, dia butuh kambing hitam. Ia harus menghindari hantaman. Dengan memainkan para pemain senior itu, jika nanti timnas bermain buruk dan kalah, Ia akan mudah bilang, ‘kan saya sudah memainkan semua pemain yang kaliang inginkan”. Atau begini: nah apa gua bilang. Terbukti kan. Para pemain itu memang buruk.
*****
Hujan turun. Lapangan basah. Para pemain memulai serangan dengan cara yang tidak Indonesia. Para pemain gugup. Kontrol bola tidak sempurna. Lebih banyak tekel dari pada umpan akuratnya. Belum genap setengah jam, dua teman meninggalkan kami. Setelah gol yang mudah akibat kesalahan umpan Firman, sumpah serapah pun berhamburan. Asu. Jancuk. Pantek. Tilei. Peret. Pukimak. Keple. Kere-re. Bajingan. Pakak. Goblok. Keparat. Kadang2, Fuck off. Setelah gol kedua dan ketiga, yang tersisa hanyalah gelengan kepala. Gelengan kepala yang menyisakan rasa sakit di ulu hati.
Semalam, Indonesia bermain dengan taktik yang aneh. Wim sebenarnya tidak memainkan 4-4-3 seperti yang dikhayalkannya. Tidak juga 4-4-2 warisan Riedle yang mulai membentuk karakter timnas kita. Melihat mutasi Hamka, Roby, dan Purwaka, Wims sedang memainkan pola 5-3-2 ketika bertahan dan bertransformasi menjadi 4-4-2 ketika menyerang. Ketiga pemain itu diperintahkan untuk menguasai kawasan di depan posisi Ferry. Jika Hamka gagal menyapu bola, masih ada Purwaka. Ketika Purwaka menyergap aliran bola serangan balik, Hamka menjadi orang terakhir yang mengamankan kotak penalti atau segera mendapat bantuan dari Roby. Kira-kira begitulah logikanya.
Saya duga, dia terinspirasi taktik brilian Mourinho saat melawan Barca. Di final Copa del Rey, Mou memainkan Pepe sebagai gelandang bertahan bersama Alonso dan Khedira. Taktik yang sangat physical ini sangat merusak ritme permainan tiki-taka Barca. Aliran bola lawan menjadi macet akibat kemampuan memotong aluran serangan dapat menyempitkan area lapangan. Lewat Media Wims menjelaskan kenapa dia memainkan Purwaka sebagai gelandang bertahan. Anehnya, saya semalam tidak melihat Purwaka bermain disitu meneerI Jutaan orang juga tidak melihatnya. Emang elu kira penonton Indonesia bloon? Purwaka, baik di Arema maupun di Deltras tidak pernah main diposisi itu.
Sebagai peniru, Wims mencontek dengan buruk. Pertama, timnas Indonesia tidak sedang menghadapi Barca. Saya bisa terima asumsi kehadiran Hamka akan menghadang umpan-umpan panjang diatas kepala pemain kita. Asumsi itu jelas kehilangan relevansinya ketika Qatar hanya 2 kali memanfaatkan sayap dan mengirim umpan langsung ke kotak penalti. Statistik menunjukkan tendangan penjuru 3 kali lipat lebih banyak Indonesia. Bahkan jika asumsi itu benar, mengapa si pendek Purwaka dimainkan? Tiga gol Qatar memberi jawaban atas asumsi sinting itu. Semuanya berasal dari kesalahan posisi tiga pemain itu. Sudah lama kita tidak melihat Indonesia menderita dari gol-gol serangan balik dan tusukan dari tengah lapangan. Qatar hanya menendang 4 kali ke arah gawang, dan tiga diantaranya mampu bersarang.
Qatar bukan tim yang istimewa. Bakat yang buruk dan otak sepakbola yang biasa-biasa telah menyebabkan banyak pelatih kelas dunia dipecat dari tim ini. Thailand atau bahkan Myanmar terlihat lebih hebat. Tidak ada gerak tipu. Tidak ada keunggulan bola-bola atas. Tidak ada kehebatan pacu lari. Tidak ada organisasi permaian yang rapi. Lantas apa yang dikerjakan Wims selama ini? Apakah ia menonton rekaman pertandingan Qatar sebelumnya? Saya tidak tahu, tapi yang pasti, ini menjelaskan kenapa, meskipun lulusan Oranje 74, reputasinya sebagai pelatih tidak pernah terdengar.
Kedua, dia membuat Firman yang dalam beberapa pertandingan terakhir bermain buruk menjadi semakin buruk. Setelah huru-hara ancaman boikot dari Firman muncul secara terbuka, saya tidak mengerti kenapa Wims tetap memainkannya. Dulu, ia memang bermain bagus. Ketika hari buruk tiba, Bustomi menolong dengan penguasaan ritmenya. Malam ini, Hamka tidak membantu Firman sama sekali. Mungkin Wims terlalu takut dengan kritik yang sangat bias dan tidak menggunakan akal sehat dari Benny Dolo di TV beberapa hari lalu. Apapun skema permainan Bendol, pusat permainan ada pada anak kesayangannya. Bendol barangkali lupa, jaman telah bersalin dan melahirkan taktik yang sama sekali lain.
Semalam, Firman tidak pernah memenangkan perebutan bola. Kontrolnya selalu salah—kalau gak salah, bola sangat liar dikakinya. Umpan pendeknya mudah dicegat lawan dan umpan panjangnya tidak pernah menemui sasaran. Dua gol pertama Qatar berawal dari kesalahannya mengoper bola. Bahkan ia tidak pernah bisa melewati pemain dengan talentanya. Yang menyedihkan, Wims mengabaikan metronom permainan sesungguhnya, Bustomi. Kekhawatiran gelandang bertahan kita tidak begitu bermain sebagai hardman bisa kita terima, tetapi Qatar sama sekali tidak berbahaya! Pergantian telat membuat Bustomi tidak bisa berbuat apa-apa.
******
Selain pertandingan yang buruk, siarannya juga sangat buruk. Saya tidak mengerti mengapa SCTV memenangkan tender pertandingan dari PSSI. Saya merasa bola selalu keluar dari batas layar televisi. Kamera menyorot ke tengah ketika permainan berlangsung di kotak penalti. Kadang tayang ulang disiarkan ketika bola masih aktif di sepak di lapangan. Sebaliknya, di saat jeda cepat karena pelanggaran atau lemparan ke dalam, momen-momen menarik tidak di siarkan ulang. Beberapa kali kita kehilangan peristiwa-peristiwa penting dengan lengkap—tendangan ke arah gawang, skrimit di kotak penalti. Gemuruh suara penonton GBK hanya terdengar sayup-sayup.
Yang lebih buruk adalah penyiar tidak memberi nilai tambah bagi pertandingan ini. Saya tidak pernah membenci penyiar atau komentator sepakbola. Komentator cerdas akan membantu pemirsa memahami bagaimana pertandingan berlangsung. Analisa yang mendalam, data-data yang relevan, dan kecakapan penguasaan pengetahuan dapat menarik emosi pemirsa ke dalam suasana pertandingan. Siaran-siaran luar negeri, dengan gairah yang tepat dan bahasa yang pas membuat pertandingan punya irama tersendiri. Mundurnya Andy Gray dari Sky TV membuat kita merindukan suaranya. Martin Tyler membuat liga Champion tidak hanya enak ditonton, tapi sangat enak didengar. Edy Sofyan, John Halmahera adalah komentator di hati saya. Bung Towel yang terbaik di era sekarang. Kusnaini, Gita Suwondo, Ucup, bisa sangat memikat.
Tim buruk, siaran buruk dengan penyiar buruk menghasilkan pertandingan horor. Bung Kusnaini tidak punya waktu panjang membedah pertandingan. Iklan-iklan berseliweran memenggal keahlian analitiknya. Penyiar pertandingan, yang punya waktu 90 menit untuk menemani pemirsa, berbicara untuk dirinya sendiri. Lebih mirip penyiar radio, dia menganggap para penonton tidak tahu apa-apa. Ia hanya melaporkan belaka. Tidak ada antusiasme. Tidak ada analisa pertandingan. Tidak ada penghantar tentang cuaca atau suasana agar emosi penonton di rumah terseret arus nuansa pertandingan.
Dari sebelas pemain Qatar, yang ia sebut hanya 4 orang: Al Shulaiti, Razarak, Khalfan dan Malick Baba. Pertanyaan-pertanyaan dari partnernya tidak pernah dijawab. Saya memetik beberapa momen seperti dibawah ini:
‘Kira-kira, menurut bung Kesit, bagaimana cara Indonesia mencari ruang kosong di babak kedua. Apa perubahan strategi yang harus dilakukan?
‘Eeeee....benar bung kita harus mencari ruang kosong. Itu yang harus dilakukan oleh para pemain Indonesia. Ruang kosong harus dicari untuk menekan para pemain Qatar. Firman, Ilham harus terus berusaha mencari ruang kosong di pertahanan Qatar bung. Dalam sebuah pertandingan dimana kita tertinggal, para pemain harus berhasil mencari ruang kosong. Strategi kita adalah bagaimana kita menemukan ruang kosong itu. Selama 60 menit tampaknya tim kita belum berhasil menemukan ruang kosong itu.’
Sepanjang pertandingan kita mendengar omong kosong sejenis itu. Ketika permainan timnas kian berengsek, saya berharap ada kalimat-kalimat tepat yang menjelaskannya. Itu jauh panggang dari api. Kalimat-kalimat datar yang tidak ada relevansinya dengan pertanyaan dan pertandingan terus saja bermunculan. Kalaupun menjelaskan pertandingan, itu dengan cara yang tidak sama sekali elegan.
*****
Lewat babak pertama, kehendak hati meninggalkan siaran ini. Kejeniusan orang gila dari Uruguay dapat mengurungkannya. Ilham dengan tusukan dan keberaniannya membawa bola memberi sedikit harapan yang tersisa. Setiap luluh lantak oleh gol-gol yang ceroboh, ada secercah harapan. Tapi lambat laun, setelah gol ketiga, pertandingan semakin mengerikan. Semangat yang menyala-nyala yang dulu pernah ada di AFC 2007 atau AFF 2010 menguap entah kemana.
Para pemain bergerak seperti hantu gentayangan. Kalimat penyiar seperti lolongan anjing kudisan di kejauhan. Kamera bergerak ke sana kemari seakan-akan mengejar penjahat cabul dalam film-film Suzanna. Malam lengang dan murung di kepala penggemar sepakbola menjadi latar belakangnya. Jutaan pemirsa patah harapan. Horor gelap dalam sepakbola Indonesia.
Usai pertandingan, sumpah serapah tidak meringankan sakit kepala sepanjang 90 menit yang saya derita. Sementara, kesabaran tidak pernah bisa menemukan tempatnya dalam momen semacam ini. Melihat timnas kalah dengan cara seperti ini, rasanya jauh lebih pahit dan getir dari nasib usia 30-an yang masih jejaka dan tidak punya kerja.
No comments:
Post a Comment