Oleh Darmanto Simaepa
Kota-Kota Palsu
Lusail adalah kota palsu, tempat
stadion plastik didirikan dalam semalam. Champs-Élysées, Place Vendome, Bukit Hollywood, bahkan Venesia tiruan di
bangun untuk mengubah neraka dunia menjadi sepetak surga.
Pendingin udara raksasa diimpor untuk
membuat gedung-gedung megah di tengah gurun layak huni. Pohon-pohon imitasi
ditanam di setiap sudut untuk memberi naungan bagi para pejalan kaki.
Waduk-waduk kecil dirancang untuk
memberi rasa sejuk dan memperdengarkan suara gemericik air di tengah padang
pasir. Taman-taman dan akuarium buatan dibangun memberi kesan bahwa negara
tanpa keragaman hayati toh peduli alam liar.
Landskap Doha penuh dengan menara-menara kaca satu warna mencakar langit yang tak pernah gelap. Di sekelilingnya jalur-jalur aspal segar bersanding dengan juluran pipa-pipa gas, berlomba-lomba membelah gurun dan melintasi cakrawala.
Turnamen Palsu
Sepp Blatter sudah mengaku: Piala
Dunia di Qatar adalah sebuah kesalahan besar. Qatar dipilih, pertama-tama bukan
karena pertimbangan sepakbola. Sarkozy dan teman-teman elitnya punya
kepentingan. Platini ingin tetap jadi Presiden UEFA. Kepala-kepala federasi
sepakbola dari Selatan butuh dukungan finansial. Dan Sepp Blater baru saja
mengirim Bin Hamam, yang orang Qatar itu, ke penjara.
Qatar sedang lagi banyak uang. Mereka
bisa mempertemukan kepentingan-kepentingan itu dan mencari jalan keluar
menyenangkan.
Maka kita mendapatkan turnamen palsu.
Orang-orang yang memeras keringat dan membantung tulang untuk menyiapkan pesta
tak bisa masuk gelanggang perayaan. Mereka bahkan hanya menikmati tulang sementara
daging dan jeroannya milik orang dari jauh yang punya uang untuk bisa
membelinya.
Kita juga mendapatkan pesta besar dunia
yang dibayang-bayangi oleh kecemasan dan ketakutan. Para pemabuk cemas tak bisa
menjangkau harga minuman. Para penyuka sesama takut di penjara kalau ketahuan
sedang bersenang-senang.
Tapi kepalsuan di turnamen ini
tidaklah buruk semua. Kita senang melihat suporter laki-laki Maroko yang tertutup
rapat oleh thobe dan shimag bersanding dengan pendukung
Kroasia setengah telanjang yang kepanasan.
Kita menyaksikan orang-orang Arab
bisa rukun, untuk sementara. Orang-orang Arab yang biasanya berseteru dan saling meludahi itu tampak
mesra mendukung ketika Maroko, Tunisia dan bahkan Iran.
Kita juga melihat, pada akhirnya, di Qatar, sepakbola memberi Lionel Messi penghormatan yang layak. Ia mungkin tidak juara, tapi setiap orang di stadion dan di depan layar tahu bahwa setiap pertandingan yang dimainkannya bisa jadi adalah perjamuan terakhir salah satu nabi sepakbola.
Sepakbola Palsu
Tidak ada tempat yang lebih baik untuk
memulai pembahasan mengenai hal-hal palsu selain tim Spanyol. Pertama-tama,
Luis Enrique tidak hanya menempatkan Gavi sebagai striker palsu. Lebih jauh, ia
bahkan punya bek tengah palsu. Andai saja, dia masih punya Xabi Alonso, ia
mungkin punya kiper palsu.
Hasilnya juga palsu. Euforia
kemenangan 6-2 atas Kostarika menyemaikan harapan palsu. Pemain-pemainya bicara
tentang final dan kemungkinan bertemu secara dini dengan Brasil. Apa lacur,
bunga yang buruk akan layu bahkan sebelum musim gugur.
Dan lihatlah akibatnya jika tim-tim
lain mengikuti kepalsuan Spanyol dan angka-angka statistik yang menipu.
Jerman menguasai angka penguasaan
bola sangat tinggi, tetapi mencetak gol terlalu sedikit. Nuer masih salah satu
libero terbaik. Joshua Kimmich tak pernah salah umpan. Namun di manakah Gerard
Mueller, Rummeneige dan Jurgen Klinsman? Angka-angka mengelabui impotensi
sepakbola yang mereka mainkan. Bahkan kini mereka tak lagi memproduksi tukang
sundul macam Miroslav Klose atau Oliver Bierhoff.
Kepulangan dini beruntun memaksa
publik jerman mempertanyakan (lagi) arah masa depan sepakbola mereka. Mereka
menyadari betapa beresikonya menjadi orang lain dan akibatnya jika memaksa
setiap pemain seperti Musiala, dan mengharapkan Musiala menjadi imitasi Iniesta.
Jepang, yang dianggap pembunuh
raksasa, pada dasarnya sama. Mereka menempatkan Maeda sebagai penyerang palsu.
Dia memang punya kaki yang cepat dan lincah bergerak di sela-sela pemain
belakang lawan. Tetapi bahkan melawan tim tua Kroasia, dia tidak banyak punya
peluang.
Kejutan melawan tim yang dianggap
kekuatan besar sepakbola juga pada dasarnya harapan palsu. Kemenangan di babak
awal penyisihan grup tidak menjadikan satu negara jadi juara Dunia. Sebaliknya
Piala Dunia dimenangkan oleh tim-tim yang mengalami kesulitan di awal-awal,
maju selangkah dengan segenap kesadaran, dan secara mental berkembang menuju
final.
Jika tim-tim yang suka palsu-palsu
cepat pulang, tidak ada jaminan tim-tim sepakbola yang memainkan pemain betulan di posisi sejati juga
bertahan. Apalagi jika pemain itu adalah…… Romelu Lukaku.
Tim tidak perlu punya striker haus
gol untuk jadi juara. Prancis sudah membuktikannya dua kali. Penyerang
memenangkan pertandingan, namun pertahanan memenangkan kejuaraan, begitu
kebenaran sejati sepakbola mengajarkan. Maroko, Kroasia, lalu Inggris dan
Belanda bukan hanya tidak pernah kalah tetapi juga berada di antara tim yang
paling sedikit kebobolan.
Terutama di turnamen padat yang penuh
emosi dan bayang-bayang adu penalti yang menegangkan, hasil-hasil pertandingan
tidak banyak ditentukan strategi canggih dan jadi-jadian. Determinasi, kekuatan
mental, dan ketabahan menghadapi penderitaan jauh lebih menentukan di babak
knock-out dari pada formasi dan penguasaan.
Anda boleh berargumen Spanyol memenangkan Piala Eropa dan Dunia berturutan dekade yang lalu dengan yang palsu-palsu. Namun jangan lupa, mereka punya, dan, selalu memainkan Fernando Torres atau David Villa di semua pertandingan di turnamen itu. Dan tentu saja Anda tidak akan bilang Sergio Ramos, Carles Puyol atau Gerard Pique sebagai Rodrigo gadungan.
Dunia Yang Palsu
Tentu saja Qatar punya selera humor
yang buruk. Negara ini tak punya air tawar dan pepohonan, namun gencar berkampanye
tentang membangun kota berkelanjutan dengan mendinginkan jalan-jalan dengan AC
raksasa. Ini juga negara yang menggunakan energi listrik paling besar untuk
menerangi kota-kotanya yang mendapat cahaya matahari paling banyak di dunia.
Mau humor yang lebih buruk lagi: ini
adalah negara dengan Yayasan paling besar di dunia. Yayasan itu menganjurkan
hak asasi, kesetaraan pendidikan, dan kesetaraan. Namun para Pendiri, Pembina
dan Pengurus Yayasan itu bajunya dicucikan, makanan dan minumannya dibuatkan,
dan anak-anaknya di asuh oleh pembantu di rumah yang jumlahnya lebih banyak
dari pengurus Posyandu.
Dan bicara tentang tentang pelayanan,
ada jutaaan orang yang bekerja siang-malam dengan upah rendah untuk menyulap
padang gurun menjadi kuil bersepuh emas. Di antara stadion yang megah dan
berkilau itu, jutaaan liter keringat menguap ke udara, dan jutaan tangan-tangan
menahan derita. Seperti halnya pembangunan piramida mesir, darah dan bangkai
manusia tanpa nama dan pusara terkubur di fondasi stadion-stadion raksasa.
Namun, sepalsu-palsunya Qatar
tidaklah sepalsu pengkritiknya. Pertama-tama, butuh keajaiban dan sejarah untuk
mengubah teluk kecil di antara gurun tandus dan laut tempat bajak laut Sudan
buang berak untuk menjadi kota perdagangan penting abad-21.
Secara historis, Qatar adalah tempat
bajak laut dan kemudian, perdagangan mutiara. Sebelum menjadi negara mandiri,
suku-suku Arab pengembara dari Bahrain, Oman, hingga Saudi saling berebut
pengaruh dan kuasa. Seperti sejarah di tempat lain, jika orang Arab berkelahi,
orang Inggris-lah yang akan menjadi pemenangnya.
Qatar modern, dengan minyak,
teknologi, restoran, museum, koleksi seni, dan belakangan sepakbola adalah,
sedikit banyaknya, hasil campur tangan pemerintah Inggris dan antek-anteknya.
Interaksi dengan dunia barat membentuk imajinasi modernitas modern Qatar.
Champs-Élysées atau
Rimini palsu; kebun raya buatan, seni instalasi jadi-jadian, wacana
keberlanjutan yang dibikin, atau sloga Doha sebagai kota ramah lingkungan tidak
meyakinkan, yang di ejek-ejek penulis Inggris itu adalah imitasi dari capaian
dan ide-ide yang datang dari Paris atau London.
Sindrom pasca-kolonial Qatar itu
diterima dengan baik dan orang-orang di Eropa. Bankir, pedagang properti,
investor, pekerja tambang pindah ke Qatar, hidup dengan nyaman di rumah-rumah
berpendingin.
Barcelona suka uang dari Qatar. Paris
Saint Germain hidup dari uang Qatar. Tiap klub punya jadwal ritiro musim
dingin di Doha.
Tapi itu tidak pernah cukup.....Bagi
orang-orang kulit putih di Eropa, punya tiruan Menara Eifel yang harganya lebih
mahal dari harga menara asli tidak membuat orang Qatar setara.
Mereka harus membuat jarak dan garis
batas. Seperti mental para pendahulunya, mereka menginginkan dan menikmati uang
minyak, tapi tidak menginginkan kotoran yang dihasilkannya. Lebih dari itu, mereka
bahkan harus mengkuliahi Qatar dengan isu hak asasi manusia. Mereka tidak hanya menjual ide tentang
modernisasi dan globalisasi sepakbola, tapi memaksa orang bagaimana seharusnya
modernisasi itu dilakukan.
Itu mengingatkan kita pada anekdot
ini: dulu, orang-orang barat itu datang ke Hawai (atau bisa juga Jawa), bertemu
dengan orang-orang setengah telanjang. Ketelanjangan itu mereka anggap sebagai
tanda keterbelakangan dan pikiran purba. Lalu sekarang ketika orang-orang yang
dulu itu bertelanjang sekarang memakai pakaian yang rapat, mereka datang lagi
dan bilang, pakaian rapat itu sebagai tanda anti-kemodernan dan anti kebebasan.
Yang modern dan maju, itu adalah, berpakaian terbuka di tempat umum....
Kuliah tentang hak asasi manusia itu
menunjukkan betapa palsunya dunia jika hanya ada satu pihak yang punya satu satu
kuasa, satu ide dan satu cara untuk menjalankan dunia. Sama halnya dengan
betapa palsunya orang-orang yang menginginkan sepakbola menarik dengan satu
bahasa yang sama, yakni bagaimana menguasai dan mendominasi bola.