Saturday, July 16, 2016

Helenio Herrera: The Special One yang Pertama*

Oleh Sid Lowe; Terj. Mahfud Ikhwan


Helenio Herrera tiba di Barcelona dengan sebuah misi: menjatuhkan Real Madrid dari tahtanya. Saat itu adalah pengujung musim 1957-58, dan sejenis penyakit hati tengah menggerogoti. Madrid memenangkan empat gelar liga dari lima musim terakhir dan meraih tiga gelar pertama Piala Champion. Barcelona, yang tak lagi menjadi kekuatan dominan di Spanyol, mengklaim gelar Copa del Generalisimo 1957 namun tidak lagi memenangi liga sejak 1953, tahun sebelum kedatangan Alfredo Di Stefano. Tak ada masa yang lebih buruk dari itu: gagal memenangkan gelar domestik seperti yang sudah mereka lakukan pada 1948, ‘49, ’52, dan ’53, mereka belum juga menjejakkan kaki di Piala Champion yang baru-baru itu digelar. Di balik ketidakhadiran mereka, Madrid—tanpa perlu diperdebatkan lagi—justru tengah meneguhkan posisinya sebagai tim terbaik di daratan Eropa, menenggelamkan rival-rival mereka, meninggalkan Barcelona terlupakan dan putus asa.

Barcelona tercengang dengan apa yang telah terjadi, menatap ke lawannya sebagai perompak, dan melalui kaca mata konspirasi. “Sukses Real Madrid di dalam maupun di luar Spanyol telah mengintimidasi Catalan,” kata Herrera. “Tapi kami punya tim yang bisa menandingi mereka—dan itulah yang ingin kutunjukkan kepada mereka. Fakta bahwa tim luar biasa seperti Barcelona tetap tak bisa bermain di Piala Champion harus segera diralat.” Herrera adalah sosok yang sempurna untuk pekerjaan itu, sang Spesial One limapuluh tahun sebelum sang Spesial One (yang sekarang)—ia dipanggil begitu di Camp Nou setengah abad sebelum Jose Mourinho dikenal dengan sebutan itu di Santiago Bernabeu dalam sebuah permulaan misi yang mirip, menerapkan metode yang sama, dan—puncaknya—berakhir dengan cara yang serupa.

Novelis Italia Gianni Brera belakangan menulis tentang Herrera saat bekerja di Internazionale: “badut dan jenius, vulgar dan estetis, raja dan hamba, ngawur dan cakap, megalomaniak dan gila kebersihan... [Herrera] adalah semuanya sekaligus lebih dari itu.” Putra dari orangtua Andalusia yang bertemu di Gibraltar, Herrera lahir di Argentina dan tumbuh di Casablanca, bermain bola di Maroko dan Prancis, dan jadi pelatih untuk pertama kalinya di Puteaux. Belakangan dijuluki Il Mago, sang Pesulap, ia menjadi manajer di Portugal dan bergabung dengan Barcelona dari Os Belenenses, setelah sebelumnya melatih Valladolid, Atletico Madrid, Malaga, Deportivo La Coruna, dan Sevilla. Memenangi gelar liga bersama Atletico pada 1949-50 dan 1950-51, juga membawa Sevilla menduduki tempat kedua pada 1956-57, Herrera sangat terobsesi dengan detail: seorang pemikir taktik yang serius, sering secara salah dituduh sebagai Bapak Catenaccio, sistem gerendel yang ultra-defensif.

Berkharisma, congkak, dan tak terbantahkan, tak pernah takut untuk berbicara, ia adalah penulis dari ribuan frasa legendaris, yang beberapa di antaranya sama sekali tak pernah diucapkannya. Tak ada pelatih yang menikmati profil besar di media melebihinya. Pers menggantungkan diri pada setiap kata-katanya dan ia membutuhkan mereka sebesar mereka membutuhkannya. “Yang jadi soal bukanlah apa yang dikatakannya,” tulis sebuah koran, “tapi fakta bahwa dialah yang mengatakannya. Jika HH bilang, ‘anginnya kencang’, koran-koran akan bilang: ‘HH menyerang ruang pers.’”

Dipanggil dengan singkatan HH, panggilan yang membuat aura di sekitar dirinya memendar, pada 1955 sebuah survei menunjukkan bahwa Herrera adalah pelatih terpopuler di Spanyol. Itu berarti mereka tidak menyukainya. Maksudnya, benar-benar tidak menyukainya. Ia suka jadi pusat perhatian. Blurb di sampul buku memoarnya merangkumkan hal itu: “Herrera yang ini adalah iblis! Sekarang ia menulis memoar. Semoga Tuhan mengampuni kita semua. Seolah ia masih belum cukup membuat gaduh! Seolah koran-koran belum cukup memberikan perhatian kepadanya! Seolah kata-katanya masih belum cukup menyergap setiap rumah, setiap kantor, setiap konperensi, dan setiap tempat umum! Seolah ia masih belum cukup dipuja! Seolah ia masih belum cukup dibenci!”

Para pemain Real Madrid jelas membencinya: provokasi adalah senjatanya, dan pada hari di mana dia menjadi pelatih Spanyol pada 1959, saat masih menjadi pelatih Barca, para pemain Madrid menolak untuk berjabat tangan dengannya dan berkasak-kusuk untuk mengadakan pemboikotan terhadap timnas.

Meskipun begitu, sulit juga menemukan peraduan bertabur bunga di Barcelona, di mana kecemburuan di ruang ganti dan di ruang direksi terus menguat dalam dua tahun kedatangan Herrera di klub tersebut. Josep Semitier, direktur teknik Barcelona yang membelot, mengatakan kepada Santiago Bernabeu yang bersuka ria bahwa bekas klubnya adalah “sebuah bencana”; Herrera belakangan menulis tentang “intrik di sirkus besar”, “sebuah atmosfer kedengkian yang tak menyenangkan di dalam maupun di luar”; dan setelah sebuah derbi pada musim sebelumnya, penyerang Madrid Hector Rial berkomentar: “kelakuan suporter [Barca] aneh: mereka tidak mendukung timnya.” Di sana bahkan terjadi tawuran antarsuporter dua bintang klub tersebut: Kubala di satu pihak, Luis Suarez di pihak lain. Pendeknya, Herrera mendapati apa yang belakangan oleh Johan Cruyff disebut sebagai entorno, atau gerombolan—pusaran sosial dan politik yang mencekau klub dengan angan-angan dan bayangan ketakutan.

Tak ada bayang ketakutan yang lebih besar dibanding ketakutan terhadap Real Madrid. Dewan direksi Barcelona terobsesi bahwa Madrid telah membeli wartawan, wasit, dan tim lain. Herrera juga memiliki kecurigannya sendiri; ia bangkit dari bangku cadangannya dalam pertandingan melawan Granada untuk meneriaki wasit, “kamu tak akan berani melakukan itu kepada Madrid!”. Namun, responnya sendiri benar-benar pragmatis. Jika Madrid menyogok, katanya, Barcelona harus melakukan hal yang sama. Tak ada kebusukan moral, hanya soal fakta saja. Herrera, yang pernah didekati oleh dua orang yang mau membayarnya agar mengalah di beberapa pertandingan dalam persaingan gelar antara Barcelona dan Madrid di pengujung musim pertamanya, mengaku telah menawarkan bonus kepada tim-tim yang melawan Madrid di momen kunci di musim itu—meskipun ia selalu bersikeras bahwa klubnya tak akan bisa menyamai “kemurahan hati” tim ibukota.

Di situ ada masalah lain juga. Herrera mendapati di Barcelona beberapa pemain yang tak cukup memiliki kepercayaan diri dan kurang percaya satu sama lain. Dan, sesungguhnya, ia juga tak sepenuhnya percaya dengan mereka. Beberapa gemar hura-hura, seseorang suka menyembunyikan rokok, cognac, atau majalah lucah Prancis di meja tidurnya di hotel tim, sementara ada juga tukang intip yang terkunci di “persembunyiannya” di balkon dan bisa meloloskan diri dengan merayap turun melalui pipa air dan menerobos kamar lain di lantai bawah. Dewan direksi mengkhawatirkan pemain lain yang keluyuran bersama pacarnya, yang seorang penyanyi. Lebih buruk lagi, mereka bilang kepada manajer baru mereka, saat si pemain sedang tandang bersama tim, si penyanyi akan pergi dengan lelaki lain. Klub pun mencoba memisahkan pasangan tersebut namun gagal; mereka kemudian mengupah detektif swasta untuk mengikuti sang penyanyi dan mengumpulkan bukti ketidaksetiannya, namun perempuan itu ternyata terlalu cerdik. Kembali, respon Herrera langsung ke titik persoalan. “Gampang!” katanya kepada dewan direksi: kita akan suruh seseorang untuk tidur dengan sang penyanyi. Senyap sekejap, sebelum kemudian seorang anggota direksi yang masih muda mengangkat tangan. Aku yang akan melakukannya.

Cara Herrera berurusan dengan hal macam itu simptomatik saja. Ia meninggalkan ruang pertemuan, kemudian mengajak si pemain dan pacarnya makan bersama. Dengan berurai airmata, pasangan kekasih itu mengadu kepadanya betapa hidup mereka menjadi sangat mustahil di Barcelona: mereka diikuti ke mana pun pergi, gosip tak kunjung henti, tekanan tak tertahankan. Hanya ada satu cara menghentikan kritik, kata Herrera kepada sang pemain, dan itu adalah dengan memenangkan sesuatu. Herrera kemudian beralih kepada sang pacar, menatapnya tepat di mata, dan berkata: “dan itu juga bergantung kepadamu”. Seperti dikatakan striker Brazil Evaristo de Macedo: “Herrera tidak hanya bertanggung jawab atas tim, ia juga mengambil tanggung jawab atas apa pun yang ada di sekitarnya.”

Bukan karena itu mudah, dan melalui apa yang dialami Laszlo Kubala menunjukkan hal yang lebih sulit. Tidak semata karena beberapa anggota tim menduga bahwa Herrera tak benar-benar menginginkannya. Kubala sudah berumur 31 saat itu dan, seperti kata salah satu rekan setimnya, “sedang menurun”. Ia diperlakukan dengan rasa segan yang tidak diterima Herrera. Itu bukan karena Kubala memiliki ego sebesar—dan tentu saja tak bisa dibandingkan dengan Herrera—statusnya yang menenggelamkan semua orang dan pendekatannya pada permainan yang lesu dan main-main, lagaknya yang kekanak-kanakan, juga sikap ngeyelnya dengan ide-ide pelatihnya. Seorang wartawan yang biasa meliput Barcelona pada era itu menjabarkannya dalam kalimat sederhana: “HH tidak suka kubalismo karena ia ingin menjadi prima donna.”

Potensi masalah lain adalah bahwa Kubala merupakan pemain dengan bayaran tertinggi. Pada 1956-57, ia memperoleh 1.308.025 pesetas (11.120 pound). Pemain dengan gaji tertinggi berikutnya adalah Eulogio Martinez (378.500 pesetas) dan Basora (371.673 pesetas). Seiring dengan kedatangan Herrera, dua pemain Hungaria Sandor Kocsis dan Zoltan Czibor direkrut dari Honved. Keduanya masing-masing digaji di atas 300.000 pesetas. Evaristo memperoleh 682.500 pesetas (92.400 pound), namun Kubala naik di atas 2.471.950. Total anggaran gaji Barcelona 10.886.062 pesetas (92.400 pound) pada 1957-58, naik menjadi 17.373.853 (148.000 pound) pada musim berikutnya, beban yang kemudian menggelayuti mereka. Herrera sendiri tak mau menghargai murah dirinya: Barcelona dipaksa membayar kompensasi satu juta pesetas kepada Sevilla setelah Herrera meninggalkan mereka. Dalam jangka pendek, ia seberharga itu; namun untuk jangka panjang, beberapa orang berpendapat ia tak sepadan dengan harganya.

Herrera mengeluhkan fakta bahwa dia tidak melatih Kubala pada puncak kecemerlangannya, saat sang pemain boleh jadi merupakan yang terbaik di dunia. Herrera juga percaya bahwa bintang Hungaria tersebut habis terlalu cepat. Ia komplain bahwa Kubala tidak mengaca pada diri sendiri—meskipun dengan badan besar dan kuat ia benar-benar bisa mengaca pada diri sendri, saat dengan satu pukulan ia bisa mengempaskan empat marinir Amerika ke laut dalam sebuah perkelahian saat mabuk. Herrera memakai kisah-kisah macam itu untuk menjadi alasan menyingkirkan Kubala dari tim. Namun, bukannya menciptakan kesatuan tim seperti yang diinginkannya, hal itu justru memperdalam konflik. Ketika dia mendorong pengurus Barcelona mengeluarkan statemen publik yang menuduh si pemain Hungaria itu telah berkali-kali mangkir latihan dan menolak bertanding, menyebutnya “mengaku sakit yang sulit dibuktikan”, tujuh direktur justru mundur untuk bersolidaritas dengan Kubala. Dan bukannya berpikir bahwa ia telah terlalu keras dengan pemain bintangnya, Herrera malah menyalahkan diri sendiri karena tidak berani bertindak lebih jauh.

Sejauh yang jadi keprihatinan Herrera, Kubala sudah melambat dan kebiasaan buruknya merugikan dirinya sendiri, terlalu banyak menggocek bola, mematahkan momentum pergerakan permainan yang oleh pelatih barunya ingin diterapkan: kecepatan tinggi, langsung, agresif. Kubala dianggapnya bermain untuk pamer, “lebih spektakuler daripada efektif”. Herrera menjadi lebih terobsesi: menyerang Kubala di depan para companeros-nya sabagai “kanker” bagi tim dan belakangan menulis tentang “mitos dan berhala yang ditelan mentah-mentah oleh majalah”; mengeluhkan bahwa “fan tidak melihat bahwa kemenangan tak akan mungkin didapat tanpa pemain lain seperti Segarra, Rodri, Gracia, Olivella, pria dari cantera dengan cinta murni untuk warna kebesaran klub.”

Herrera yakin ia bisa menang tanpa Kubala, namun untuk itu ia memerlukan otoritas yang absolut, sebuah mentalitas dan pendekatan baru, sebuah gaya yang baru. Saat Herrera tiba di Barcelona pada akhir musim 1957-58, tim yang diwarisinya baru saja memainkan leg pertama final Fair Cup dan berakhir sebagai urutan kedua, kedua, kedua, ketiga dan ketiga pada lima musim liga sebelumnya. Sebuah tim yang impresif namun kekurangan sesuatu; sebuah tim yang menderita krisis kegelisahan yang hanya bisa disembuhkan dengan mengalahkan Madrid dan menjadi juara Piala Champion.

Tak ada yang kurang pada tim itu. Herrera menyebutnya sebagai tim terbaik yang bernah bekerjasama dengannya—lebih baik dibanding para pemain Internazionale yang diantarnya memenangkan dua Piala Champion secara berturut-turut. Tim tersebut boleh jadi merupakan tim paling berbakat yang pernah dimiliki Barcelona, bahkan melampaui tim Cinc Copes (tim Barcelona yang memenangkan lima gelar dalam satu musim [1951-52]—penerj.). Di luar Kubala, mereka memiliki Sandor Kocsis, Eulogio Martinez, Just Tejada, Ferran Olivella, Ramon Villaverde, dan Evaristo de Macedo. Antoni Ramallets masih di depan gawang, dan mereka juga memiliki playmaker asal Galicia, Luis Suarez. Lalu ada juga si secepat cahaya Zoltan Csibor.

Csibor datang ke Spanyol usai pemberontakan Hungaria pada 1956, bergabung dengan Barcelona pada 1958. Sepuluh ribu orang terbunuh di minggu pertama pemberontakan saat tank Soviet menerjang masuk dan orang-orang Hungaria mati-matian mempertahankan diri dengan mengguyurkan air cucian di jalanan, berharap itu membuat para penyerangnya terpeleset dan kemudian pulang balik. Seperti Puskas, Czibor saat itu bermain di Austria dan mencari kesempatan kabur saat ada pertandingan antarnegara Eropa. Klubnya, Honved, mengupah para penyelundup untuk menolong keluarga Czibor menyelinap menembus perbatasan agar bisa bersatu kembali dengannya. Saat di pelarian, ketika sebuah kelompok kecil pelarian mencapai sebuah persimpangan di sebuah jalan dimana mereka memecah diri, istri Czibor dan anak-anaknya ikut salah satu rombongan. Saat itulah rombongan yang menempuh jalur lain ditumpas habis oleh berondongan senapan mesin.

Anak Czibor, juga bernama Zoltan, duduk di meja restoran yang ada di tepian Barceloneta. “Bayi-bayi diminumi sesloki alkohol agar berhenti menangis,” katanya dengan senyum nakal, seperti mengingkari drama yang terjadi di momen itu. “Untuk para pemain sepakbola, tiba di Spanyol adalah sebuah pembebasan. Orang-orang ngomong soal kediktatoran Franco, tapi kami berhasil menghindari Komunisme. Kami diberikan kewarganegaraan Spanyol sebagai pengungsi dari sebuah negara Komunis; prosesnya cepat, berdasarkan atas alasan-alasan yang disukai Franco. Ayahku kemudian merancang sebuah bar di Barcelona yang dinamai Kep Duna, yang dipakai sebagai tempat bernaung para pengungsi Hungaria. Para pelarian akan datang untuk mencari bar tersebut—mereka akan menetap di situ atau di rumah Kubala. Ayahku adalah pemain sepakbola terbaik yang pernah ada, sayap kiri yang sangat berbakat. Keadilan tak dianugerahkan kepada tim (Barcelona) itu.”

Suarez mengingat: “Kami punya penyerang-penyerang yang level kemampuannya sangat tinggi, jelas-jelas kelas dunia.” Suarez sendiri boleh jadi merupakan yang terbaik di antara mereka, seorang pemain yang oleh Herrera disebut sebagai “pengorganisir tim yang hebat”, yang “memimpin dengan teladan langsung”; Di Stefano menyebut Suarez sebagai “sang arsitek”; dan Evaristo menegaskan: “Luisito adalah pemain terhebat yang pernah aku lihat. Ia cerdas dan pandai sekali mengumpan—ia berkali-kali membuatku bisa berhadapan satu lawan satu dengan kiper.” “Aku adalah seorang organizador,” kata Suarez. “Aku memulai dari kedalaman namun bisa menguasai sebagian besar sisi lapangan dan aku punya perspektif yang luas, sebuah visi. Aku punya kecepatan, teknik yang bagus, dan bisa menembak dari luar area penalti.” Beberapa orang menyamakannya dengan Xavi Hernandez. Xavi adalah pemain yang oleh Suarez sendiri dianggap lebih hebat, namun ia adalah seseorang yang senang dengan orang pemalu yang unjuk kemampuan dan, bagaimanapun, ia tidak yakin. Senyum malu-malu merebak di wajahnya. “Aku bisa mengumpan sejauh empat puluh yard, dan bisa beralih posisi dari satu sisi ke sisi lain,” protesnya, sambil tertawa. “Permainanku lebih beragam dibanding permainan Xavi.”

Pekerjaan rumah Herrera adalah menjadikan mereka sebuah tim, membuat mereka melakukan sesuatu dengan caranya, menanamkan kesan atas dirinya kepada para pemain dan para direktur. Suara yang tajam dan pidato-pidato penyemangat berhamburan. Slogan-slogan bertempelan di dinding, berisi kata-kata seperti: Kecepatan, Teknik, Kerjasama Tim. Sebelum pertandingan, para pemain akan saling mengumpan bola secara memutar sambil berteriak “menang!” ke satu sama lain. Janji-janji diucapkan. Sebelum sebuah tur, Czibor komplain bahwa ia tak ingin bepergian jauh terlalu lama. Maka, Herrera berkata kepadanya bahwa ia bisa pulang jika mencetak tiga gol selama pertandingan tandang. Czibor membuat hat-trick pada pertandingan pertama.

“Kepada pemain Catalan, aku bicara soal ‘warna kebesaran Catalonia, bermainlah untuk negerimu’,” kata Herrera kepada Simon Kuper pada awal 1990-an, “dan kepada pemain asing aku bicara soal uang. Aku bicara soal istri dan anak-anak mereka. Kamu punya duapuluh lima pemain, kamu tak bisa bicara hal yang sama kepada setiap orang.”

Nyatanya, Herrera sering melakukan hal itu. Yang tidak dilakukannya adalah berkata hal yang sama kepada semua orang di klub. Ia secara aktif mencoba menciptakan ikatan antara dirinya sendiri dengan para pemainnya—untuk satu tujuan, melawan dewan direksi, membeli loyalitas mereka dengan mengatakan kepada mereka bahwa mereka bisa mendapatkan lebih banyak uang dibanding sebelum-sebelumnya dan berjuang agar mereka mendapat bonus yang lebih besar. Menjanjikan uang kontan membuat skuat menyorakkan dan menyanyikan namanya; sebuah momen show-me-the-money berdekade-dekade sebelum Jerry Maguire mengangkat sinisme olahraga ke sinema.

Jika di situ ada uang kontan, tentu harus ada kerja kontan juga. Sesi latihan pertama Herrera berakhir dengan muntahnya para pemain. Tiga sesi sehari adalah biasa untuk memulai latihan—ia kasar dan agresif. Ia memaksa seorang pemain tetap masuk latihan meskipun ia protes bahwasanya ia sedang sakit; ia mencabut plaster pembalut pemain lainnya, dan menolak memberi kelonggaran. Di antara berjibun rumor, salah satunya mengatakan bahwa dokter Barcelona dipaksanya untuk menolak bahwa suplemen “gula” yang dibagikan Herrera sama sekali bukan zat lain. Para pemain mengeluh tak bisa tidur setelah pertandingan, sementara pemain lain yang khawatir dengan isi kandungannya menolak mengambil suplemen tersebut atau membuangnya begitu saja saat sang pelatih tidak melihatnya. Lluis Lainz, salah satu pemain, yang curiga dengan teh yang dibagikan Herrera, memberikan teh tersebut kepada temannya yang dokter untuk menganalisisnya. Tes menunjukkan bahwa suplemen itu mengandung zat-zat amphetamine dan Kubala menantang Herrera untuk meminumnya sendiri. Beberapa pemain membantah rumor ini.

Pengejaran Herrera atas kesuksesan tak mengenal belas kasih. Ramallets menyebut pelatihnya sebagai seorang jenius. “Ia punya berkas-berkas untuk semua hal. Ia bisa bercerita kepadamu soal orangtua para pemain Jerman atau Italia, hari apa pemain-pemain itu lahir, semuanya. Ia punya visi taktik yang hebat dan ia tahu bagaimana membangkitkan semangat pemain. Ia adalah orang dengan misi, dan ia tahu tim lain dari soal pe hingga pa. Ia berkata kepadaku: ‘Antonio, jika kena tendangan penalti dan si anu atau si itu yang ambil, ia akan begini atau begitu.’ Aku tak pernah ambil pusing. Tapi ia tahu soal pemain luar-dalam.” “Senantiasa ada intensitas tinggi, keyakinan, dan konsentrasi. Ia sangat-sangat profesional—dan sama sekali berbeda dengan siapa pun,” kenang Suarez. “Kerja lebih keras, lebih kuat, lebih cepat, dan lebih agresif; pendekatannya langsung. Tak ada canda—sangat serius.”

Dibandingkan dengan Madrid dalam hal gaya, kontras itu jadi jauh lebih mencolok. Barcelona telah menemukan cara untuk menetralisir juara Eropa itu dan Herrera melakukannya; taktiknya disesuaikan dengan taktik mereka. Obat penawar bagi permainan teknikal Madrid diterapkan secara langsung dan dengan pendekatan fisikal. Dan manjur. Barcelona dan Madrid bertemu pada Oktober 1958 pada awal musim penuh pertama Herrera sebagai pelatih Barcelona. Madrid punya barisan penyerang itu—Kopa, Rial, Di Stefano, Puskas, dan Gento—namun Barcelona menang 4-0, dengan Evaristo mencetak hat-trick, sebuah hasil yang menggulingkan Madrid dari puncak klasemen. “Rahasianya adalah bermain ekstra cepat, sementara Real Madrid senang dengan gaya kalem yang memanfaatkan permainan teknikal mereka yang memang aduhai,” Herrera berkata dengan bangga. Dan meskipun Madrid mengalahkan mereka 1-0 saat mereka bertemu kembali di akhir kompetisi, tim Herrera merebut gelar liga untuk pertama kalinya sejak 1953.

Pertandingan terakhir adalah sebuah tandang ke Racing Santander. Pers menautkan sebuah kutipan atas nama Herrera bahwa ia telah berkata timnya akan menang “tanpa perlu keluar dari bus”. Meski ia membantah mengatakannya, hal itu tak menghindarkannya dari ejekan sepanjang pertandingan atau plesetan bentuk kutipan tersebut dalam leksikon sepakbola Spanyol untuk menggambarkan soal menang mudah. Para pemain Racing dituduh mendapatkan iming-iming mobil untuk mengalahkan Barcelona, tentunya dari Real Madrid. Sementara itu, Barcelona juga menawarkan bonus kepada tim yang jadi lawan terakhir Madrid. Barcelona menang dan gelar liga jadi milik mereka—dan mereka memecahkan rekor jumlah poin untuk meraih gelar itu.

Namun tidak semuanya bisa mereka menangkan. Barcelona menghadapi Madrid pada semifinal Copa del Generalisimo hanya beberapa hari setelah Madrid memenangkan gelar Piala Champion kelima mereka di Glasgow, dengan kemenangan menakjubkan atas Eintracht Frankfurt—ada penghormatan atas sang juara Eropa sebelum pertandingan itu. Puskas mencetak dua gol dan Barcelona tertinggal 2-0 saat turun minum. Namun Angel Mur Sr. mengingat Herrera—yang sebelum pertandingan dengan lantang sesumbar bahwa timnya akan menang—masuk ke ruang ganti dan meneriaki para pemainnya. “Mereka milik kita sekarang! Mereka sudah kerepotan! Kalian akan membantai mereka! Tetap main seperti itu dan kita akan hantam mereka!” Mur Sr. tak percaya dengan apa yang didengarnya, tapi Herrera memang benar: Barca menang 4-2 dan leg kedua berakhir 3-1, membawa mereka ke final dimana mereka bisa mengamankan piala bersama gelar liga dan gelar Fairs Cup, plus Copa Duarte dan Piala Martini Rossi.

Dengan kata lain, semuanya lancar. Kecuali Piala Champion.



*Diterjemahkan dari Fear and Loathing in La Liga (Yellow Jersey, 2013), khususnya Bab 10 (HH: The Original Special One), hlm. 152-161.      

                                 

No comments:

Post a Comment