Monday, June 27, 2016

Pemakaman: Kekalahan Madrid dari Inter dan Akhir Karir Di Stefano*

Oleh Sid Lowe; Terj. Mahfud Ikhwan



“Pemakaman.”

Alfredo Di Stefano terdiam untuk beberapa saat. Rasa itu, andai saja ia masih bisa melihatnya, masih mendekam. Duka. Ngungun. Saat ketika semua menuju penghabisan.

Pemakaman?

Si! Muerta, la gente.” Ya! Semua orang mati.

Sekali lagi, diam.

“Lihatlah,” ia berkata menggumam, “orang-orang selalu ingin menang, dan jika tidak…”

Dan jika mereka tidak menang, maka ada konsekuensinya. Malam itu, di Stadion Prater Wina, adalah konsekuensinya. Terpental dari Piala Champion untuk pertama kalinya pada 1960-61 oleh Barcelona, Real Madrid kembali mencapai final di Amterdam pada 1961-62, ketika mereka kalah oleh Benfica 5-3, dan mereka kemudian dikalahkan Anderlecht pada babak awal musim 1962-63. Tapi pertandingan-pertandingan itu tak ada yang memiliki dampak seperti pertandingan yang ini.

Adalah 27 Mei 1964 dan Real Madrid mencapai final berikutnya di Piala Champion—final ketujuh dalam sembilan edisi pertama kompetisi ini—melawan Internazionale. Dilatih oleh Helenio Herrera, Inter memiliki Sandro Mazzola, Jair da Costa, Mario Corso, dan bekas pemain Barcelona Luis Suarez, sementara presidennya adalah Angelo Moratti. “Bernabeu tidak seperti Moratti,” kata Di Stefano belakangan. “Ia selalu bilang, kalau kita membagi pena atau bendera kepada para wasit, ia membagikan medali emas.”

Inter juga punya bek kiri bernama Giancinto Facchetti. Pelatih Madrid, Miguel Munoz, terobsesi dengannya. Facchetti punya reputasi mengebom sisi sayap dari full-back dan Munoz sudah memutuskan bahwa dialah, dan hanya dia, yang harus dihentikan. Beberapa pemain tidak yakin dengan keputusan itu; ada perdebatan sengit saat rapat tim. Semua dirancang untuk mencegah Facchetti membuat masalah bagi Madrid, menyisakan yang lainnya bebas, dan itu mengubah pendekatan permainan Madrid. “Perkara Facchetti ini membuat kami gila, menjadikannya pemain yang tampak sangat penting,” kenang Di Stefano. “Semua orang harus berpikir bahwa Facchetti adalah Gento. Jadi apa yang terjadi? Facchetti tak pernah menyerang kami, sekali pun.”

Pada babak kedua, pemain lainlah yang melakukannya. Inter mengendalikan Madrid. Tarcisio Burgnich menjaga Paco Gento, Facchetti mengatasi Amancio Amaro, dan Aristide Guarneri menempel ketat Ferenc Puskas. Untuk Di Stefano, Carlo Tagnin mengikutinya ke mana pun ia pergi. Itu adalah malam yang memutusasakan. Madrid lebih banyak pegang bola, tapi meraka tak bisa ke mana-mana. Inter secara mengejutkan justru merasa nyaman: “Satu-satunya hal yang tidak dilakukan sweeper mereka hanya ambil kursi dan main biola di tengah lapangan,” keluh Di Stefano. Mazzola mencetak dua gol, Milani satu, dan Inter menang 3-1. Mereka merengkuh gelar pertama dari dua gelar Piala Champion yang mereka menangkan secara berturut-turut. Untuk Madrid, itu adalah kekalahan berikutnya di final Piala Champion. Dan akhir masa keemasan itu pun datang menjelang.

Ignacio Zoco dikontrak dua tahun sebelumnya dan menjadi gelandang Madrid malam itu. Ia menunjuk rekaman video di pojok ruangan. “Kami pasti sudah menonton pertandingan itu delapan kali,” katanya. “Dan setiap kami menontonnya, semakin sulit kami menjelaskan kenapa kami kalah. Aku tetap tak mengerti. Tak ada seorang pun yang mengerti. Tapi kami kalah; sesering apa pun kami menontonnya, skor tetap tak berubah. Kami jadi nomor dua, dan di sepakbola nomor dua tak berarti apa-apa, lebih-lebih di klub ini.”

“Reaksi setelah pertandingan persis seperti sekarang ini: saat kamu bermain bagus, kamu fenomenal dan semua orang menepuk punggungmu; begitu kamu bermain buruk, kamu tak ada harganya,” terus Zoco. “Selalu sulit hidup dengan menanggung beban di klub ini, tapi kamu tak ada pilihan lain kecuali tak hidup sama sekali. Saat naik taksi, kamu kuatir sopirnya mengajak ngobrol: ‘pertandingan kemarin malam itu...’. Begitulah kalau keadaan sedang memburuk. Semua orang maunya main ganti: ‘orang itu sudah nggak berguna’. Itu seperti ganti oli untuk mobil: ‘ini sudah aus, ganti ini!’ Mereka ingin memensiunkanmu.”

Ingin memensiunkanmu? Untuk kasus Di Stefano, hal itu nyaris harafiah.

Final Piala Champion 1964 adalah pertandingan resmi terakhir Alfredo Di Stefano untuk Madrid. Ia tak bisa melepaskan diri dari penjaganya dan dalam sebuah kesempatan yang jarang ia lakukan, ia ribut dengan Armandi Picchi, “salah seorang sweeper” ia menandai, “yang bermain sangat dalam, yang jika kamu ada di kelimun kabut dan kamu berpikir bahwa kamu sudah melewati semua lawanmu, satu orang itu akan muncul menghadang: entah dari mana anak itu datangnya? Apa mereka main ber-12 atau bagaimana?” Di Stefano tidak terkesan dengan taktik yang dipakai timnya, bersikeras bahwa ia sudah patuh untuk berlari tak tentu tujuan sepanjang pertandingan, dan itu membuat Madrid seperti bermain satu orang lebih sedikit. Di situ ada tensi yang meletup, frustrasi, dan amarah. Pada satu kesempatan, ia mengklaim Munoz menyumpahinya dari pinggir lapangan, meneriakinya brengsek. Di Stefano menyumpahinya balik: “Kamu yang brengsek! Kami main bertaruh nyawa, berlari seratus mil perjam, dan kamu masih bilang aku brengsek?”

“Saat itulah,” Di Stefano mengenang, “Aku tahu siapa sebenarnya Munoz.”

Jika Di Stefano berpikir bahwa ia sudah terlalu banyak berlari, orang lain berpikir ia tak cukup berlari—dan tak akan kuat berlari lagi. Bagaimana pun, ia sudah dekat dengan ulang tahunnya yang ke-38, rambutnya telah menipis, dan kecepatannya telah surut. Seperti seorang pemain seangkatannya menyebut, si Anak Panah Pirang telah kehilangan dua hal yang membuatnya menjadi si Anak Panah Pirang: ia sudah tidak lagi pirang, dan ia sudah tak lagi sebilah anak panah. “Di Stefano sudah tak ada lagi. Ia kehilangan kecepatannya; ia tak lagi sanggup menjelajah lapangan,” tulis sebuah surat kabar. “Sungguh menyedihkan, kita telah menengarai masa senja karirnya.”

Respon marahnya kepada Munoz sama sekali tidak menolong. Konflik telah membesar untuk beberapa lama; Di Stefano sudah lama menjadi pelatih Madrid secara de facto dan ia sudah menjadi terlalu angkuh, sulit untuk menanggung hal itu. Kenyataanya, ia bukan lagi dirinya yang dulu. Meski begitu, akhir itu begitu tiba-tiba dan tak disangka. Sebelum final, Bernabeu bersikeras, “prajurit tua tak ada matinya.” Setelah pertandingan, “Jika kamu ingin berlagak bintang, kamu sudah pernah tahu bagaimana caranya. Tak cukup dengan bilang, ‘aku sudah begitu, sudah begitu, terbaik di posisinya.’ Oke, terus...?”

Jika ada orang yang mengira-ira bahwa orang yang di-“begini-begitu”-kan itu adalah Di Stefano, maka perkiraan itu segera terjawab. Pertandingan Real Madrid berikutnya adalah melawan Atletico Madrid, dan Di Stefano ditepikan, untuk pertama kalinya dalam 11 tahun. Ketika ia menanyakannya pada Munoz, sang pelatih hanya bilang: “Aku tak perlu menjelaskannya.”

Di Stefano kemudian ditawari posisi tertentu di klub, tapi karena harga dirinya sudah terluka dan masih yakin bahwa ia masih bisa terus tampil di lapangan, ia menolak tawaran itu. Seperti dikenangnya, Bernabeu bilang ia menginginkannya bertahan dan bekerja untuk klub “di berbagai posisi”; “Berbagai posisi,” Di Stefano menimpal. ”Posisi apa? Aku tak mau jadi satpam atau pegawai TU... Perbarui kontrakku, dan jika pada Oktober atau November aku tidak bermain sebagaimana biasanya, aku akan pulang dan kamu bisa menawariku pekerjaan. Jika aku suka, aku akan terima. Tak ada masalah. Tapi setidaknya, setelah darah, keringat, dan air mata ini, bicaralah padaku.”

Bernabeu bergeming. Munoz, orang yang oleh sang presiden dideskripsikan di media sebagai “jujur dan bijaksana”, telah menulis laporan yang merekomendasikan bahwa pemain terhebat Real Madrid sepanjang zaman sedang menuju pensiun, dan bersikeras bahwa ia tak akan sanggup lagi bermain dalam sistem klub tersebut. Tapi itu bukan satu-satunya alasan. “Aku tidak membela atau menyalahkan Di Stefano, tapi yang tak lagi bisa kami terima adalah kurangnya kedisiplinan,” sang presiden mengumumkan, mencoba menyembunyikan luka hatinya. “Di Stefano sudah pergi, dan itu tak masalah. Pemain lain juga pergi. Kami menangis, tapi itu sama sekali tak jadi soal.”

Di Stefano bergabung dengan Espanyol, tempat ia kembali setim dengan teman lamanya Laszlo Kubala dan mencetak 19 gol dalam dua musim. Bernabeu melihat kepindahannya ke klub lain sebagai pengkhianatan; demikian juga Di Stefano. Pemain-pemain lain sama tidak senangnya dengan tindakan klub terhadap pemain Argentina itu. Dalam sebuah pertengkaran tak lama setelahnya, kepada sekretaris klub Marquitos ngotot: “separo lapangan ini adalah milik Alfredo.” Di Stefano berpikir, ia tahu dari mana semua ini bermula: “Munoz bilang ‘brengsek’ ke aku,” tulisnya belakangan, “dan mereka menendangku dari klub karena aku bilang balik kalau dialah yang brengsek.”

Itu adalah akhir dari sebuah persahabatan yang indah. Bernabeu menamai perahu pemancingannya yang ia apungkan di lepas pantai Santa Pola dengan nama Di Stefano, namun sang Anak Panah Pirang tak pernah kembali ke Real Madrid. Istri Bernabeu belakangan mengeluh bahwa Di Stefano tak pernah sekalipun menanyakan kabar suaminya saat ia sakit keras. Tapi Bernabeu sendiri mungkin tidak akan menyambut kunjungan bezuknya. Di Stefano memperoleh bet pelatihnya, menyelesaikan ujiannya sebagai peraih rangking satu bersama Kubala. Keduanya sah jadi pelatih, dan masing-masing menjadi manajer yang sukses. Di Stefano memenangkan liga dan Piala Winner bersama Valencia, juga memimpin River Plate menjadi juara Argentina. Namun ketika media mendorong-dorong bahwa ia adalah orang yang paling pas menangani Real Madrid, sang presiden tak mau tahu, dan—seperti dilaporkan—bersumpah bahwa Di Stefano tak akan bisa balik lagi ke Madrid selama dirinya, Bernabeu, masih hidup.

Di Stefano sudah seperti rasa asin pada air laut, seseorang yang namanya tak ingin disebut oleh Bernabeu. “Aku kehilangan seorang anak,” seseorang pernah mendengarnya mengatakan demikian. Di Stefano, bagaimanapun, akhirnya kemballi di awal 1980-an, melatih klub muda Madrid dan kemudian klub utamanya. Pada 1983, Madrid yang dilatihnya menjadi runner-up di lima kompetisi, dan belakangan, pada 1990, ia menjadi manajer sementara bersama Jose Antonio Camacho. Fkorentino Perez menjadikannya presiden kehormatan Madrid pada awal milenium. Namun karena Bernabeu sudah mati lebih dari dua dekade lalu, sumpahnya pun tunai.


*Diterjemahkan dari  Fear and Loathing in La Liga (Yellow Jersey Press, 2013), khususnya sebagian Bab 9 (Blond Arrow), hlm. 146-151.   

No comments:

Post a Comment