Wednesday, June 15, 2016

Dua Xhaka, Dua Negara, Satu Wajah Piala Eropa

Oleh Darmanto Simaepa


Piala Eropa kali ini adalah momen istimewa buat keluarga Xhaka. Dua bersaudara, Toulant dan Granit, akan saling bertarung di grup A, mewakili dua negara berbeda. Granit, saudara muda, berseragam Swiss; sementara Toulant berkaus Albania. Lahir di Swiss dari pasangan Albania yang mengungsi akibat perang Yugoslavia, kedua Xhaka lahir dan memulai karir di Basel.

Xhaka bersaudara punya bakat cemerlang. Tampil di liga profesional sejak usia belasan, mereka langganan juara bersama FC Basel. Keduanya bermain di semua level tim nasional Swiss junior, meski akhirnya, Toulant memilih Albania. Keputusan ini diambil atas saran si adik yang tidak ingin ia mengulangi kesalahan sama dengan memilih Swiss.

Toulant dan Granit mewakili pesepakbola masa kini yang hidup di banyak negara dan punya lebih satu kewarganegaraan. Lihatlah Jerman dan Turki. Sebagian pemain timnas Jerman adalah orang-orang Turki. Sebaliknya, timnas Turki berisi pemain-pemain yang lahir, besar dan bermain di liga Jerman. Lihatlah timnas Austria dengan Serbia atau Bosnia.

Xhaka bersaudara adalah dua di antara puluhan pemain di Piala Eropa yang bisa memiluh bermain untuk negara tempat mereka lahir atau negara orang tua. Para pemain ini lahir dari pasangan yang pindah entah karena akibat perang atau menjadi pekerja migran. Dengan hidup yang lebih baik, mereka memilih menjadi warga di negara baru dengan mempertahankan ikatan dengan negara lama.

Bagi mereka, sepakbola menawarkan jalan keluar bagi masalah adaptasi dan integrasi. Ketrampilan mengolah bola dapat mengalahkan prasangka rasial dan mengeluarkan bocah-bocah berbakat ini dari perumahan pengap dan gelap di pinggiran kota. Yang utama: sepakbola memberi pengakuan sebagai warga negara.   

Bagi negara tempat ia lahir, pemain seperti Xhaka atau Ibrahimovic adalah berlian kasar yang jarang mereka hasilkan. Dengan akademi dan industri sepakbola yang tertata, berlian itu bahan dasar prestasi tim nasional. Selain itu, mereka adalah inspirasi bagi integrasi dan contoh keberhasilan sistem demokrasi. Bagi negara asal orang tua, mereka sumber daya siap jadi. Pengalaman dengan liga profesional membuat mereka dinilai tinggi. Lebih dari itu, mereka adalah teladan perantau sukses.

Meski bukan hal yang baru sama sekali, fenomena pemain seperti Xhaka bersaudara ini muncul secara kolosal sejak satu dekade terakhir. Mereka semua lahir akhir 1980an atau awal 1990an. Dan ini bukan kebetulan. 

Pada periode tersebut, dunia menyaksikan kematian perang dingin dan menyongsong kelahiran Uni-Eropa. Setelah Tembok Berlin runtuh, kebijakan neo-liberal mulai dirasakan secara global: perdagangan bebas menjadi mantra dan arus tenaga kerja murah melintasi batas-batas negara. Nama-nama Rakitic, Hakan dan  Karim lahir di Amsterdam atau Stuttgart.

Arus migrasi ini seiring globalisasi sepakbola, yang ditandai lahirnya aturan Bosman atau siaran liga Eropa ke lima benua. Arus ini melicinkan pertukaran tradisi sepakbola yang dulunya ‘khas’ negara tertentu. Hollandse School melanglang ke Spanyol, dikembangkan menjadi tiki-taka, lantas dimodifikasi di Jerman. Inggris mengadopsi gaya Eropa Daratan, sementara Italia tak lagi mengandalkan catennacio.

Kombinasi arus pergerakan pemain dan pertukaran gaya main, gilirannya, mengubah wajah Piala Eropa. Dulu sepanjang perang dingin, Piala Eropa menjadi suaka bagi sentimen nasionalisme. Timnas adalah wakil negara yang lebih nyata dari bendera, lebih manusiawi dari kepala negara, dan lebih konkrit dari pada angka statistik.

Menonton timnas bertanding adalah wujud sentimen nasionalisme. Di Austria, Belanda, atau Polandia pertandingan melawan Jerman dan Soviet selalu dirayakan sebagai momen kolektif sebagai bangsa. Peluang mengalahkan Jerman dan Soviet sebanding dengan harapan membalas atas apa yang dilakukan Hitler atau Stalin selama masa perang.

Generasi Xhaka di Piala Eropa kali berbeda. Mereka menghadirkan turnamen sepakbola sebagai festival bagi nasionalisme kosmopolitan. Kebanggaan nasional tidak hilang, tentu saja, namun ia malih-rupa menjadi karnaval global. Tidak jarang saya ketemu orang Belanda memuji Jerman dan berharap mereka juara. Eric ‘the King’ Cantona yang orang Prancis, memberikan suaranya untuk Inggris. Beberapa orang Italia di Napoli mendukung Slovakia, negara kapten klub mereka.  

Piala Eropa masa kini kehilangan wajah nasionalisme yang keras, sempit dan patriotik. Mendukung timnas tertentu bukan lagi perkara ‘tumpah-darah’. Tiap orang pasti punya lebih dari satu negara jagoan. Dimainkan oleh pemain kosmopolit dan disaksikan secara global, turnamen ini menunjukkan jalinan evolusi mutakhir sepakbola dan globalisasi yang membentuknya. 

Apakah gelaran Piala Eropa menunjukkan gejala senjakala nasionalisme? Saya tidak yakin. Di Jerman dan Prancis, masih ada protes tentang timnas Jerman yang tidak Jerman dan Prancis yang tidak Prancis. Gambar orang Inggris menangis tetap akan ada dan perkelahian melibatkan orang Albania di Zurich mungkin saja terjadi.

Sepakbola berpilin ke udara mengikuti putaran globalisasi. Ia pernah mengeraskan sentimen nasionalisme namun sekarang melenturkannya. Arah sepakbola tidak pernah bisa ditebak atau diprediksi. Namun kita bisa menangkap wajahnya. Wajah itu terlihat dari kebahagian dan kebanggaan yang dibagi keluarga Xhaka di Basel atau Albania, seperti halnya kebahagiaan yang dibaginya untuk jutaan orang Indonesia yang tidak punya hubungan historis dan emosional dengan Albania.

No comments:

Post a Comment