Saturday, June 28, 2014

Luis Suarez Bermain Sepakbola Cara Uruguay: Kemenangan adalah Segalanya*

Oleh Martin Aguirre; Alihbahasa Mahfud Ikhwan


Adalah satu kebenaran yang tak terbantahkan bahwa di Uruguay sepakbola selalu mengambil kedudukan agama di beberapa negara. Sepakbola juga mengambil peran sangat besar dalam penciptaan mitos kami. Uruguay cuma sebuah negara mungil yang dikelilingi para raksasa, berumur kurang dari 200 tahun, dan kisah paling heroik yang dituturkan orang-orang ke anak-cucu adalah kejayaan sepakbola dan bukannya dahsyatnya peperangan. Di antaranya, tentu saja, adalah Maracana, di mana Uruguay mengalahkan Brazil di kandangnya sendiri untuk memenangi Piala Dunia 1950.

Kami membangun sebuah mitos nasional tentang kemenangan. Kemenangan melawan takdir, melawan setiap rintangan yang menghadang. Kami tertawa saat orang Inggris ngoceh tentang permainan indah. Ada seorang pelatih sangat kondang di Uruguay, Julio Ribas, yang bilang bahwa sepakbola sudah seharusnya tidak indah. Jika mau keindahan, pergilah nonton balet.

Sepakbola adalah soal kemenangan. Ini bukan berarti bisa diterima menginjak muka lawan dalam rangka mencetak gol. Namun, hal itu berdampak bahwa sekali kamu berjalan di atas lapangan, satu keseluruhan perangkat baru aturan moral masuk juga, yang sangat berbeda dibanding dengan aturan yang mengendalikan dunia luar yang kacau dan membingungkan.

Datanglah ke lapangan-lapangan sepakbola amatir di sekitaran Montevideo dan Anda akan menyaksikan pertandingan paling keras yang pernah Anda lihat. Pertandingan antara orang-orang yang kerja di kantor yang sama, sekelas, teman sepermainan begitu serunya sehingga hampir semua hal diterima untuk menang.
Sekali pertandingan selesai, orang-orang yang sama itu akan berkumpul, minum bir dan tertawa-tawa, dan segala yang telah terjadi di lapangan biar sampai di situ saja.

Semangat ultra-kompetitif ini adalah penjelasan kenapa sebuah negara dengan tiga juta penduduk mampu membangun semacam massa yang kritis bagi elit-elit pesepakbola, sebagaimana yang dilakukan Uruguay. Dan itulah satu-satunya penjelasan yang masuk akal bagi Luis Suarez.

Di negeri yang menciptakan agama kemenangan, mencucurkan keringat terakhir di lapangan, di mana orang hebat macam Nicolas Lodeiro memperoleh kreditnya hanya jika ia menyorongkan kepalanya untuk memblok bola sebagaimana ia lakukan saat melawan Inggris, maka menjadi jelas bahwa orang macam Suarez akan menjadi pahlawan nasional. Seseorang yang jadi jadi jutawan karena usahanya sendiri namun menyerahkan hidupnya di barisan untuk merebut bola, mencetak gol, dan memenangkan pertandingan. Dia mewakili semua nilai yang kami akui mengesahkan seorang pesepakbola sejati.

Maka ketika gol-golnya dan tingkah lakunya mulai menjadikannya sosok dunia, dan ketika media internasional mengarahkan lensa pembesarnya kepadanya, kami membuat-buat dua penjelasan untuk membenarkan tingkah-lakunya.  Pertama adalah masa kecilnya yang kurang bahagia: keluarganya yang  pecah dengan beban finansial, kepindahannya yang dini dari rumah keluarganya di Salto untuk mendaftar di tim muda Nacional. Namun, sejujurnya, itu saja tidak cukup, paling tidak di mata orang Uruguay. Itu boleh jadi adalah kisah sembilan dari sepuluh pemain di negeri ini. Maka, diperlukan penjelasan kedua dan sekaligus spesialisasi orang setempat: teori konspirasi.

Jika ada sebuah mitos yang menyemai sepakbola Uruguay, maka itu adalah obsesi bahwa di luar sana selalu ada persekongkolan melawan kami dalam politik permainan ini. Bahwa kami bukanlah pasar ekonomi yang penting, bahwa kami selalu merontokkan nama-nama besar di berbegai even, dan oleh karena itu kami mewakili bisnis yang buruk. Ide ini cuma akan berlaku setelah sanksi berat dan belum pernah terjadi terhadap Suarez, terutama ketika, apabila Uruguay bisa melewati Kolombia, perempat final melawan Brazil tampaknya akan terwujud.

Beginilah reaksi terhadap perkara Suarez dari sang kapten, Diego Lugano, yang mengklaim "sudah diketahui dengan baik bahwa media Inggris selalu melawan Suarez," atau dari sang pelatih, Oscar Tabarez, yang menyebut bahwa pemain bintangnya adalah "selalu jadi sasaran tembak oleh pers Inggris" dan "ini adalah Piala Dunia sepakbola, bukan lomba budi-pekerti cengeng". Bahkan Jose Mujica, Presiden Uruguay dan satu-satunya persona yang bisa menandingi ketenaran Suarez, angkat bicara membela, bersikeras bahwa ada sebuah kampanye melawan Suarez dan bahwa dirinya adalah "anak hebat". Mujica menambahkan: "Kami tak memilihnya untuk jadi filsuf, atau mesinis, atau sebab karena akhlaknya yang terpuji, dia cuma seorang pemain sepakbola yang hebat."

Semua komentar itu bukan berarti dukungan mendalam bagi Suarez. Sebagian besar orang Uruguay tak akan memaafkan saya karena menulis di koran Inggris tanpa mengibarkan bendera dan membela orang kami dari apa yang kami pandang di sini sebagai agresif, tidak jujur, dan semacam (ironisnya) kampanye rasis dari media Inggris. Tapi menggigit? Seorang pemain sepakbola profesional, yang tahu ada ratusan kamera mengarah kepadanya? Seseorang yang menghasilkan uang miliyaran dan mewakili impian dan harapan seluruh negeri? Mikir apa dia? Dari Diego Maradona ke Mike Tyson ke Tiger Wood, sebagian besar atribut yang menciptakan seorang atlet elit adalah apa yang membuat mereka begitu sulit untuk dipahami orang biasa. Namun dalam kasus Suarez, ada sesuatu yang berbeda.

Karirnya di Liverpool diikuti dengan penuh gairah di Uruguay. Orang-orang datang ke bar dan berdebat seru tentang pertandingan-pertandingan di Anfield seakan itu adalah bagian dari liga lokal. Komentar umum yang biasa muncul adalah betapa hambarnya para pemain itu, bagaimana mereka tidak mempedulikan pertahanan dengan semestinya, bagaimana sebagian besar dari mereka tidak berbeda antara yang menang dengan yang kalah. Kami memiliki istilah yang mendefinisikan pemain jenis ini beserta tingkah lakunya: "pecho frio", atau "berhati batu".

Tak seorang pun akan menganggap Suarez berhati batu. Dia mungkin melakukan hal tergila di lapangan sepakbola, namun Anda bisa memtaruhkan jiwa Anda dia akan bersedia menyerahkan hidupnya di atas lapangan. Di dunia yang dingin dan materialistis, ada puncak kualitas yang diinginkan kebanyakan orang Uruguay dari seorang pemain sepakbola. Itulah kenapa orang-orang mencintainya. Itulah kenapa mereka akan memaafkannya untuk hampir semua dosa. Dan itulah kenapa mereka akan selalu membelanya, seperti ekspresi yang dilakukan orang setempat, dengan kuku dan gigi mereka.


*Diterjemahkan dari "Luis Suarez plays football the Uruguay way: winning is all that counts", Guardian, 26 Juni 2014.

  



Monday, June 9, 2014

Kerajaan Sihir*

Oleh Eduardo Galeano; Alihbahasa Mahfud Ikhwan
Catatan
Tulisan Eduardo Galeano tentang Piala Dunia dalam Soccer in Sun dan Shadowpada edisi 2003 hanya sampai Piala Dunia 2002. Oleh karena itu, untuk Piala Dunia 2006 dan 2010, saya terjemahkan tulisan Galeano yang ada di situs The Progressive, edisi 13 Juli 2006 dan New Internationalist, edisi 11 Agustus 2010. Saya tidak tahu apakah kedua tulisan itu ditulis langsung dalam bahasa Inggris, atau hasil terjemahan dari bahasa Spanyol, sebab tak ada keterangan tambahan. -- mahfud ikhwan --



Pacho Maturana, pria Kolumbia yang telah mengecap asam-garam di belantara sepakbola, menyatakan bahwa sepakbola adalah kerajaan sihir, yang mana segalanya bisa saja terjadi. Dan Piala Dunia kali ini membenarkan perkataannya: ini adalah Piala Dunia yang tak biasa.
Sepuluh stadion yang jadi tempat Piala Dunia dimainkan adalah stadion-stadion tak biasa, indah, megah, dan mahal. Siapa yang tahu bagaimana Afrika Selatan akan mampu menjaga beton-beton raksasa itu beroperasi? Berjuta-juta dolar yang dihamburkan mudah dijelaskan, namun sulit untuk membenarkannya di salah satu negara paling timpang di dunia itu.
Bola 'Jabulani' dari Adidas tidak biasa, licin dan setengah gila, suka lepas kalau dipegang dan tak menurut kalau ditendang. Bola itu diperkenalkan meskipun kenyataannya para pemain sama sekali tak menyukainya. Namun, dari kastil mereka di Zurich, para penguasa sepakbola telah bertitah, dan bukannya hendak musyawarah. Itulah cara mereka.
Juga tak biasa karena pada akhirnya para birokrat pemegang kuasa di FIFA mengakui, setelah bertahun-tahun, harus ditemukan satu cara membantu wasit dalam memutuskan permainan. Tak banyak-banyak, cuma satu hal saja. Dan inilah waktunya. Bahkan petugas sukarelawan tuli ini harus bisa mendengar kegaduhan yang terdengar dari kesalahan wasit tertentu, yang telah mencapai tingkat mengerikan di pertandingan final. Kenapa kita harus melihat di televisi apa yang tidak bisa dilihat atau tak mungkin terlihat oleh wasit? Akal sehat berteriak: hampir semua olahraga yang lain, macam bolabasket, tenis, baseball,  bahkan anggar dan balap mobil, biasa pakai teknologi untuk menuntaskan keraguan. Sepakbola tidak. Para wasit punya hak untuk berkonsultasi dengan  temuan kuno yang disebut "jam" untuk mengukur lamanya pertandingan dan waktu tambahan, namun lebih dari itu tidak. Dan justifikasi yang memberi pijakan kebijakan ini sangat konyol kalau bukan sangat mencurigakan: eror adalah bagian dari permainan, kata mereka, membuat kita bengong saat mereka mendapati bahwa khilaf itu manusiawi.
Juga tak biasa bahwa di babak lanjutan di Piala Dunia di Afrika yang pertama dalam sejarah ini tak ada negara Afrika, termasuk tuan rumah, bisa melaju. Cuma Ghana yang bisa bertahan sampai mereka kemudian kalah oleh Uruguay di pertandingan paling hidup di sepanjang turnamen.
Pun tak biasa bahwa kebanyakan tim-tim Afrika masih mempertahankan kegesitannya namun kehilangan kebaharuan dan keberaniannya. Banyak lari, namun sedikit menari. Beberapa kalangan percaya bahwa para pelatih tim-tim itu, hampir semuanya orang Eropa, punya andil pada hambarnya permainan mereka. Jika ini masalahnya, mereka tidak memberi sumbangan pada permainan yang menjanjikan limpahan kebahagiaan dan sukaria. Afrika mengorbankan keunggulannya demi efesiensi, namun nyata benar kalau mereka tak memiliki efesiensi.
Tak biasa juga bahwa beberapa pemain Afrika tertentu mampu tampil menonjol, namun di tim-tim Eropa. Saat Ghana melawan Jerman, Boateng bersaudara saling berhadap-hadapan. Satu dalam seragam Ghana, satunya lagi dengan baju Jerman. Tentang para pemain Ghana, tak satu pun dari mereka di kejuaraan lokal Ghana. Namun semua pemain di tim Jerman bermain di kompetisi Jerman. Seperti Amerika Latin, Afrika mengekspor buruh tangan--dan kaki.
Penyelamatan terbaik di kejuaraan ini pun tak biasa. Penyelamatan itu tak dilakukan oleh penjaga gawang, namun oleh seorang penyerang. Menggunakan kedua tangannya, persis di garis gawang, pemain Uruguay Luis Suarez menghentikan bola yang akan menyingkirkan timnya dari turnamen. Berkat aksi patriotik gila-gilaannya, ia terusir tapi tidak dengan timnya.
Perjalanan Uruguay pun tak biasa, dari titik rendah hingga titik tertingginya. Negara kami, yang masuk kualifikasi Piala Dunia paling akhir, dan nyaris tidak lolos ke babak berikutnya setelah mendapat grup yang sulit, bermain dengan penuh kebanggaan, pantang mundur, dan berakhir sebagai salah satu tim terbaik. Beberapa ahli jantung memperingatkan kami, di koran, bahwa kebahagiaan yang berlebihan bisa berbahaya bagi kesehatan kami. Banyak orang Uruguay, yang nampaknya ditakdirkan untuk mati bosan, merayakan risiko ini, dan jalan-jalan di seluruh negeri membara dalam pesta raksasa.
(Tim) kami mendarat di urutan keempat, hasil yang tidak terlalu buruk bagi satu-satunya negara yang berhasil mencegah Piala Dunia menjadi sekadar Piala Eropa. Dan tak kebetulan apabila Diego Forlan terpilih menjadi pemain terbaik kejuaraan.
Tidak biasa bagi juara dan runner-up Piala Dunia sebelumnya kembali pulang sebelum sempat membuka kopernya.
Pada 2006, Italia dan Prancis bertemu di pertandingan final. Kali ini keduanya bertemu di pintu keluar bandara. Di Italia meletup kritik terhadap permainan sepakbola yang inginnya sebisa mungkin mencegah lawan ikut bermain. Di Prancis, bencana memantik krisis politik dan menyulut amarah rasial sebab hampir semua pemain yang menyanyikan Marseillaise di Afrika Selatan berkulit hitam.
Favorit lainnya, seperti Inggris, tidak bertahan lama juga. Brazil dan Argentina dipermalukan secara kasar. Setengah abad lalu, timnas Argentina dihujani uang recehan saat pulang dari Piala Dunia yang penuh prahara, namun kali ini disambut oleh kerumunan penggemar yang percaya pada hal-hal yang lebih penting dibanding keberhasilan atau kegagalan.
Tak biasa juga bahwa superstar-superstar yang paling terkenal dan ditunggu-tunggu tidak bersinar di kesempatan itu. Lionel Messi ingin berada di sana, melakukan apa yang ia bisa, dan ia sedikit kelihatan. Dan mereka bilang bahwa Cristiano Ronaldo ada di sana, namun tak seorang pun melihatnya: mungkin dia terlalu sibuk melihat dirinya sendiri.
Pun tak biasa bahwa bintang baru tak disangka-sangka justru muncul melata dari dasar samudera dan mencapai puncak tertinggi langit sepakbola: seekor gurita yang hidup di sebuah aquarium di Jerman yang pandai meramal. Namanya Paul, namun boleh juga dinamai Octodamus. Sebelum tiap pertandingan Piala Dunia dimulai, ia diberi pilihan dua remis yang masing-masing ditandai dengan bendera tim-tim yang bertanding. Ia selalu memakan remis yang ditandai bendera tim yang menang dan ia tak pernah salah.
Peramal berkaki delapan memiliki efek menentukan di dunia taruhan dan dianut di seluruh dunia dengan ketakziman agamawi, dicinta dan dibenci, dan bahkan difitnah dengan segumpal rasa dongkol, seperti saya, yang berpurbasangka, tanpa bukti, kalau dia sudah diajari.
Tidak biasa bahwa di ujung kompetisi, keadilan ditegakkan, yang tak sering terjadi baik di sepakbola maupun di kehidupan nyata.
Untuk pertama kali, Spanyol juara Piala Dunia.
Juara yang sudah ditunggu hampir seabad lamanya.
Si gurita telah mengumumkan hal itu dan Spanyol melakukannya dengan cara seperti yang saya sangka: Mereka menang dengan bersih, jadi tim terbaik di turnamen, hasil dari kerja keras dan solidaritas di atas lapangan, satu untuk semua semua untuk satu, dan berkat kemampuan mencengangkan penyihir kecil bernama Andres Iniesta.
Si gurita menunjukkan bahwa pada satu masa, dalam kerajaan dongeng sepakbola, ada keadilan.
Saat Piala Dunia dimulai, saya tempel pada pintu rumah saya sebuah kartu yang bertuliskan: Tertutup untuk Sepakbola. Saat kartu itu saya robek sebulan kemudian, saya telah menonton 64 pertandingan, dengan bir di tangan, tanpa pernah bergerak dari kursi kesayangan.
Capaian ini membuat tubuh saya remuk, otot pegal-pegal, tenggorokan serak, namun saya sudah bernostalgia.
Saya sudah mulai merindukan litani vuvuzela yang tak tertahankan itu, emosi dari gol-gol yang diperingatkan oleh para ahli jantung, keindahan dari permainan terbaik yang diputar ulang dalam gerak lamban. Dan perayaan, dan kesedihan, sebab kali ini sepakbola adalah kebahagian yang melukakan, dan musik yang dimainkan untuk merayakan kejayaan yang membuat tarian kematian terdengar sangat mirip dengan tempik-sorak keheningan stadion yang kosong, di mana malam turun, dan seseorang yang kalah tetap duduk, tak sanggup untuk bergerak, sendirian di tengah samudera luas jejak-jejak.


*diterjemahkan dari "The Realm of Magic", New Internationalist, 11 Agustus 2010.

Sunday, June 8, 2014

Piala Dunia Zidane*

Oleh Eduardo Galeano; Alihbahasa Mahfud Ikhwan


Catatan

Tulisan Eduardo Galeano tentang Piala Dunia dalam Soccer in Sun dan Shadow pada edisi 2003 hanya sampai Piala Dunia 2002. Oleh karena itu, untuk Piala Dunia 2006 dan 2010, saya terjemahkan tulisan Galeano yang ada di situs The Progressive, edisi 13 Juli 2006 dan New Internationalist, edisi 11 Agustus 2010. Saya tidak tahu apakah kedua tulisan itu ditulis langsung dalam bahasa Inggris, atau hasil terjemahan dari bahasa Spanyol, sebab tak ada keterangan tambahan -- mahfud ikhwan --




Di panggung yang mulia, sebuah serangan menggila.

Di sebuah kuil yang dipersembahkan bagi pemujaan atas sepakbola dan penghormatan atas aturan, di mana Coca-Cola menghidangkan kebahagiaan, MasterCard menjamin kemakmuran, dan Hyundai menawarkan kecepatan, menit-menit terakhir dari pertandingan terakhir di Piala Dunia dimainkan.

Itu juga pertandingan terakhir dari yang terbaik, yang paling dipuja, pemain paling dicintai, yang saat ini berencana mengucapkan selamat tinggal kepada sepakbola. Mata seluruh dunia tertuju kepadanya. Dan tiba-tiba, sang raja pesta malihrupa menjadi banteng terluka dan menghantam seorang lawan, menjatuhkannya dengan tandukan tepat ke dada, dan kemudian melangkah pergi.

Ia dikeluarkan oleh wasit dan dilempar ke cemoohan penonton yang seharusnya memberinya tepuk tangan, pergi tidak lewat gerbang utama tapi lorong menuju kamar ganti.

Saat pergi, ia melewati piala emas yang akan dianugerahkan kepada tim juara. Ia bahkan tak meliriknya.

Saat Piala Dunia kali ini dimulai, para pengamat bilang bahwa Zinedine Zidane sudah menua. Mariano Pernia, si Argentina yang bermain untuk tim Spanyol, bilang: “Angin itu telah renta, dan ia tetap bertiup.”

Dan Prancis mengalahkan Spanyol, dan di pertandingan ini dan di pertandingan-pertandingan berikutnya, Zidane adalah yang paling muda dari semua.

Bagaimana pun, di pengujung Piala Dunia, setelah yang terjadi telah terjadi, sangat mudah memaki si penjahat dalam sebuah film silat. Namun hal itu, dan terus akan begitu, sulit untuk dimengerti. Apa itu benar? Jangan-jangan itu cuma mimpi buruk saja? Bisa-bisanya dia meninggalkan para pemujanya saat mereka begitu membutuhkannya?

Horacio Elizondo, sang wasit, sudah benar mengacunginya kartu merah. Tapi kenapa Zidane melakukan apa yang telah dilakukannya?

Tampaknya pemain bertahan Italia Marco Materazzi melontarkan beberapa makian rasis yang biasanya dipekikkan oleh orang-orang gila dari tribun.

Zidane, seorang muslim, anak dari imigran Aljazair, tahu bagaimana mempertahankan dirinya sejak kanak-kanak, saat ia mendapat serangan serupa di wilayah kumuh Marseille. Ia kenal mereka dengan baik namun mereka mengganggunya seperti yang sudah-sudah. Dan musuh-musuhnya tahu bahwa provokasi itu manjur. Lebih dari sekali ia hilang kendali karena perilaku buruk yang serupa, dan Materazzi tidak dikenal—kalau boleh dikata—karena tindakannya yang budiman.

Piala Dunia kali ini ditandai dengan slogan-slogan melawan wabah rasisme, yang dianjurkan oleh tim-tim yang berlaga pada saat dimulainya pertandingan. Dan Zidane adalah salah satu dari pemain yang membuat hal itu jadi mungkin.

Rasisme adalah isu panas. Pada malam sebelum Piala Dunia dimulai, politisi ekstrem kanan Prancis Jean-Marie Le Pen berkoar bahwa timnas Prancis tidak lagi dikenali oleh para pemainnya sendiri, sebab mereka semua hampir seluruhnya hitam dan sebab kapten mereka, orang Arab itu, tidak menyanyikan lagu kebangsaan. Wakil presiden dari Senat Italia, Roberto Calderoli, menggemakan pernyataan Le Pen, dan menyatakan bahwa timnas Prancis terdiri atas orang-orang Negro, Islam fanatik, dan Komunis, yang lebih menyukai mars Internationale dibanding Marseillaise dan lebih senang Mekah daripada Belen. Sebelumnya, pelatih timnas Spanyol, Luis Aragones, menyebut pemain Prancis Thierry Henry sebagai “kotoran hitam,” dan Presiden Asosiasi Sepakbola Amerika Selatan yang tak ganti-ganti, Nicolas Leoz, bilang dalam buku otobiografinya bahwa ia lahir di sebuah kota kecil yang dihuni oleh tigapuluh orang dan 100 Indian.

Tapi bisakah seseorang mereduksinya menjadi satu hinaan, atau satu rangkaian hinaan, tragedi tentang pemain yang memilih untuk kalah ini, bintang yang mencampakkan kejayaan saat kejayaan itu bergelut melawan dirinya?

Mungkin, siapa tahu, boleh jadi amuk kemarahan itu, tanpa Zidane kehendaki atau bahkan ia sadari, merupakan sebuah lolongan ketakberdayaan.

Boleh jadi itu adalah lolongan ketakberdayaan melawan hinaan demi hinaan, tonjokan, cipratan ludah, sepakan diam-diam, simulasi yang lihai atas pelanggaran dan kesakitan, ketakberdayaan melawan drama para bintang panggung sandiwara orang-orang yang menonjokmu dan kemudian pura-pura sekaan-akan mereka tidak pernah berada di sana.

Atau boleh jadi itu adalah lolongan ketakberdayaan melawan kesuksesan yang menghancurkan dari sepakbola kotor, melawan ketidakjujuran, kepengecutan, dan ketamakan dari sepakbola yang mengglobal, musuh dari kebinekaan, yang dipaksakan untuk kita. Pada akhirnya, sebagaimana Piala Dunia telah dilangsungkan, menjadi jelas dan lebih jelas lagi bahwa Zidane bukanlah bagian dari sepakbola dengan pendekatan macam itu. Dan sihirnya, kejadukannya, keanggunannya yang mengharu-biru, pantas untuk dikalahkan, sebab dunia hari ini, dengan produksi massal sebagai model kesuksesan, hanya layak untuk Piala Dunia yang semenjana.  

Namun bisa juga dibilang bahwa Italia layak untuk memenangkan Piala Dunia, sebab seluruh tim di Piala Dunia, beberapa lebih menonjol dari lainnya, memainkan gaya Italia, dengan gaya permainan yang sama, empat pemain bertahan dalam formasi gerendel, yang mencetak gol lewat serangan balik.

Italia melakukan apa yang harus dilakukan. Alhasil, cara bertahan ala catenaccio menciptakan kebosanan namun juga empat tropi dunia. Di Piala Dunia kali ini, cuma dua gol yang berhasil diceploskan ke gawang Italia. Satu dari titik penalti, yang lain hasil bunuh diri. Dan para pemain terbaik mereka berada di garis belakang, bukan di depan. Buffon, sang kiper, dan Cannavaro, bek tengah.

Delapan pemain Juventus tampil di final di Berlin: lima bermain untuk Italia, tiga untuk Prancis. Itu adalah kebetulan yang aneh mengingat Juventus adalah tim yang paling terlibat dalam skandal mengaturan hasil pertandingan yang merebak persis sebelum Piala Dunia. Dari Tangan Bersih ke Kaki Bersih: pengadilan Italia memutuskan untuk mendepak ke tingkatan lebih bawah di Serie B dan Serie C tim-tim paling kuat di negeri itu, termasuk di dalamnya Lazio, Fiorentina, dan Milan—yang dimiliki si budiman Silvio Berlusconi, yang berlaku curang dengan berbekal kekebelan hukum baik di sepakbola maupun di politik.

Kehakiman membuktikan serangkaian kongkalikong yang meliputi menyuapan wasit dan wartawan, pemalsuan kontrak dan akrobat neraca bank, hingga memanipulasi program-program televisi.

Seorang menteri pemerintah mengapungkan ide tentang pengampunan jika Italia memenangi kejuaraan. Dan Italia juara. Akankah ada tangan-tangan di balik meja, lagi, seperti biasa? Zidane dilempar keluar membuatnya lebih gampang.

Seseorang, entah siapa, merangkum Piala Dunia 2006 sebagai berikut: Para pemain bertingkah laku dalam gaya penuh keteladanan. Mereka tidak minum, tidak merokok, dan tidak bermain.

Begitulah, barangsiapa yang dari waktu ke waktu menciptakan gol tidak bermain sepakbola indah, sementara yang bermain sepakbola indah tidak mencetak gol. Tim-tim Afrika tersingkir dini, dan tak lama kemudian tim-tim Amerika Latin terdepak juga.

Piala Dunia malihrupa jadi Piala Eropa.

Hasil akhir jadi milik apa yang sekarang disebut pendirian praktis: tembok tinggi pertahanan dan menyisakan ujung tombak sendirian di depan, lalu memohon Tuhan untuk memberikan pertolongan. Seperti yang biasa terjadi dalam sepakbola dan hidup, dia yang bermain baik kalah, sementara yang bermain untuk tidak kalah justru menang.

Pengujung adu penalti cuma menambah ketidakadilan. Hingga 1968, pertandingan yang alot akan ditentukan dengan undian koin. Dalam satu hal, ini tetap terjadi. Mencolok sekali, adu penalti terlihat cuma soal untung-untungan saja.

Argentina lebih baik dari Jerman, dan Prancis lebih baik dibanding Italia, namun beberapa detik jauh lebih berarti dibanding dua jam pertandingan. Dan Argentina harus pulang, sementara Prancis hilang gelar.

Cuma ada sedikit imajinasi dalam pertunjukan itu. Para seniman meninggalkan permainan kepada pemain angkat besi dan pelari Olimpiade, yang lewat sekadar untuk menendang bola atau menendang lawan.

Piala Dunia begitu membosankannya sehingga sang pemilik perhelatan tak memiliki pilihan kecuali memikirkan cara-cara untuk menyuntikkan antusiasme pada pertunjukan yang suram itu.

Salah satu ide yang diusulkan FIFA adalah memberi hukuman bagi hasil 0-0. Ide lain adalah meluaskan ukuran gawang untuk meningkatkan jumlah gol. Dan, ujung-ujungnya, seperti lelucon di sekolah: “Jika kamu tidak suka sup, bawalah dua mangkuk,” adalah ide menghelat Piala Dunia dua tahun sekali.

Namun sepakbola profesional, yang menjadi cerminan dunia, dimainkan untuk menang, dan bukannya untuk dinikmati. Dan kalkulasi biaya menciptakan olok-olok tentang khayalan tak berguna lingkaran birokrat yang mengatur sepakbola dunia.

Untungnya, tidak semua sepakbola adalah profesional. Yang Anda butuhkan adalah keluar ke jalan atau pergi ke pantai untuk melihat bahwa bola masih menggelinding dengan gembira.

Dalam sepakbola profesional, dalam keramahan televisi, hanya ada sedikit kebahagiaan yang bisa disaksikan. Kita rasa-rasanya dikutuk noltalgia di masa lalu saat sepakbola memiliki lima penyerang, dan menuju pada pengakuan menyedihkan bahwa sekarang cuma tinggal satu. Dan berdasar rerata yang tengah terjadi, satu penyerang itu bahkan tak akan bersisa lagi: suatu masa, hanya akan ada satu pemain bertahan.

Zoolog Roberto Fontanarrosa telah membuktikannya: pemain depan dan panda adalah makhluk-makhluk yang terancam punah.
  

*diterjemahkan dari “The World Cup of Zidane”, yang dimuat pada situs The Progressive, July 13, 2006.

Saturday, June 7, 2014

Piala Dunia a la Galeano XVII: Piala Dunia 2002*

Oleh Eduardo Galeano; Alihbahasa Mahfud Ikhwan


Satu masa rusak-rusakan. Serangan teroris merata-tanahkan Menara Kembar New York. Presiden Bush menghujani Afganistan dengan rudal dan memberantas Taliban, kelompok yang disusui oleh bapaknya dan Reagan. Perang melawan terorisme memberikan restu pada teror militer. Tank-tank Israel meluluh-lantakkan Gaza dan Tepi Barat, sehingga rakyat Palestina bisa terus menebus dosa Holocaust yang tidak mereka lakukan.

Spiderman nangkring di puncak box-office. Sumber informasi terpercaya di Miami mengumumkan tentang pasti jatuhnya Fidel Castro, hanya soal waktu saja. Yang tersungkur justru Argentina, negara model itu, dan mata uangnya, pemerintahannya, juga semua hal yang berkait dengannya. Di Venezuela, sebuah kudeta menggulingkan Presiden Chavez. Khalayak menaikkan kembali yang termakzulkan, namun televisi Venezuela, sang kampiun kebebasan informasi, gagal menyiarkan fakta tak menyenangkan ini.

Remuk karena aksi tipu-tipunya sendiri adalah perusahaan raksasa Enron, penyumbang paling pemurah bagi kampanye Bush dan sebagian besar senator Amerika Serikat. Dan seperti domino, saham para gergasi yang disembah-sembah ini segera bertumbangan setelahnya: WorldCom, Xerox, Vivendi, Merck—semua karena kesalahan kecil akuntasi beberapa miliar dolar. Rekanan-rekanan FIFA yang terbesar, ISL dan Kirch, juga musti mengetatkan ikat pinggang. Namun berbagai kebangkrutan memalukan itu gagal mencegah Joseph Blatter dinobatkan, dengan sebuah tanah longsor, di atas tahta sepakbola dunia. Carilah orang yang lebih buruk, maka kamu akan tampak baik: Blatter yang tak tergoyahkan itu membuat Havelange terlihat seperti ibu-ibu pengajian.

Bertie Felstead tersungkur juga, mangkat. Felstead, orang tertua di Inggris, adalah satu-satunya orang yang masih hidup dari pertandingan sepakbola luar biasa antara tentara Inggris dan tentara Jerman di Hari Natal, di tanah tak bertuan. Di bawah pengaruh jampi-jampi sebutir bola yang datang entah dari mana, medan perang untuk sementara berubah jadi lapangan pertandingan, sampai teriakan para komandan mengingatkan para tentara itu bahwa mereka diwajibkan saling membenci.

@@@

Tigapuluh dua tim bertandang ke Jepang dan Korea untuk melangsungkan Piala Dunia ketujuhbelas di stadion baru yang gemerlap di duapuluh kota. Piala Dunia pertama di milenium baru adalah Piala Dunia pertama yang dimainkan di Asia. Anak-anak Pakistan menjahit bola canggih untuk Adidas yang mulai bergulir di malam pembukaan di stadion di Seoul: sebuah aula dari karet, dibebat dengan kain rajut yang berlapis busa, di dalamnya kulit polimer putih dihiasi simbol api. Sebuah bola menarik keberuntungan dari rumput.

Di sana ada dua piala dunia sepakbola. Yang satu diikuti oleh para atlet dengan darah dan daging. Yang lain, yang diselenggarakan bersamaan, menampilkan para robot. Para pemain mesin, yang diprogram oleh para insinyur perangkat lunak, mengikuti RoboCup 2002 di Fukuoka, pelabuhan Jepang di seberang lepas pantai Korea. Apa yang para saudagar, teknokrat, birokrat, dan para ideologi industri sepakbola impikan? Satu impian mereka yang terus berulang, sampai lebih seperti kenyataan, adalah membuat para pemain menirukan robot.

Tanda duka dari sebuah titimangsa: abad keduapuluh satu mengkuduskan keseragaman atas nama ketepatgunaan dan mengorbankan kebebasan di depan altar kesuksesan. “Kamu menang bukan karena kamu bagus, tapi kamu bagus karena kamu menang,” tulis Cornelius Castoriadis beberapa tahun lalu. Dia tidak merujuk pada sepakbola, namun bisa jadi begitu. Membuang waktu adalah terlarang, demikian juga dengan kekalahan. Dikebiri jadi sejenis pekerjaan, ditundukkan oleh hukum rugi-laba, sepakbola tidak akan dimainkan lebih lama lagi. Seperti semua hal, sepakbola profesional terlihat dijalankan oleh Yang Maha Kuasa—bahkan jika itu tak benar-benar ada—SMK (Serikat Musuh Keindahan).

Kepatuhan, kecepatan, kekuatan, dan tak satu pun segala keindahan itu bisa kembali: inilah jamur yang tumbuh pada globalisasi yang mengguyur permainan tersebut. Sepakbola jadi produksi massal, dan ia jadi lebih dingin dari peti es dan tak punya perasaan seperti gilingan daging. Itulah sepakbola untuk para robot. Barang membosankan itu konon berarti kemajuan, namun sejarawan Arnold Toynbee telah cukup melihat hal tersebut saat ia menulis, “Peradaban yang runtuh selalu saja ditandai oleh tendensi menuju standarisasi dan penyeragaman.”

@@@

Kembali ke Piala Dunia darah dan daging. Pada pertandingan pembukaan, lebih dari seperempat manusia menyaksikan kejutan pertama di televisi. Prancis, juara pada penyelenggaraan sebelumnya, dihajar Senegal, salah satu negara bekas jajahannya dan tampil untuk pertama kalinya di Piala Dunia. Bertentangan dengan semua ramalan, Prancis tersingkir di putaran pertama tanpa menceploskan satu gol pun. Argentina, favorit besar lainnya, juga terjungkal di bursa awal. Dan kemudian Italia dan Spanyol yang dikirim pulang setelah babak belur di tangan wasit. Semua tim perkasa itu tewas di hadapan dua saudara kembar: pentingnya kemenangan dan ngerinya kekalahan. Bintang-bintang terbesar sepakbola dunia datang ke Piala Dunia dengan kewalahan menanggung beban berat ketenaran dan tanggungjawab, dan kepayahan akibat kerja habis-habisan yang dituntut oleh klub-klub tempat mereka bermain.

Dengan tanpa memiliki sejarah Piala Dunia, tanpa bintang, tanpa jaminan untuk menang atau rasa was-was kalah, Senegal bermain dengan keikhlasan dan jadi ilham bagi segenap kejuaraan. Cina, Ekuador, dan Slovenia juga bermain dengan semangat menyala, namun tersingkir di putaran pertama. Senegal sampai ke perempat final tanpa terkalahkan, namun mereka tak bisa melaju. Meski demikian, gerak-tari mereka yang abadi membawa pulang kebenaran sederhana yang cenderung bertolak belakang dengan para ilmuwan sepakbola: sepakbola adalah permainan, dan siapa yang benar-benar memainkannya akan merasa bahagia dan membuat kita juga bahagia. Gol yang paling saya suka di sepanjang turnamen adalah gol yang diciptakan Senegal, melalui umpan tumit Thiaw, lalu dituntaskan tembakan jitu Camara.  Pemain Senegal lainnya, Diouf, selalu menggiring bola rata-rata delapan kali tiap pertandingan, di sebuah kejuaraan yang mana memanjakan mata tampaknya dilarang.

Kejutan lain adalah Turki. Tak seorang pun mempercainya. Mereka absen dari Piala Dunia selama setengah abad. Di pertandingan pertamanya, melawan Brazil, kubu Turki secara semena-mena dicurangi wasit. Semangat dan kualitas permainan mereka membuat para pengamat yang meremehkan mereka bungkam.

Selebihnya hampir-hampir adalah sebentuk rasa jemu yang berkepanjangan. Untungnya, di pertandingan final Brazil mengingat bahwa mereka adalah Brazil. Tim yang akhirnya berangkat dan bermain layaknya Brazil, keluar dari kerangkeng kesemenjanaan yang oleh pelatih mereka, Scolari, dipakai untuk mengurung mereka. Lalu, empat serangkai R mereka, yakni Rivaldo, Ronaldo, Ronaldinho Gaucho, dan Roberto Carlos, moncer. Dan Brazil, pada akhirnya, kembali berpesta.

@@@

Dan mereka adalah kampiun. Persis sebelum final, seratus tujuhpuluh juta rakyat Brazil tertusuk lencana para serdadu Jerman, dan Jerman menyerah 2-0. Itu adalah kemenangan ketujuh dalam tujuh pertandingan. Kedua negara telah menjadi finalis berkali-kali, namun tak sekali pun mereka sebelumnya saling berhadapan di Piala Dunia. Turki merebut tempat ketiga, sementara Korea Selatan keempat. Jika diterjemahkan dalam bahasa marketing, Nike merebut tempat pertama dan keempat, sementara Adidas berada di tempat kedua dan ketiga.

Ronaldo dari Brazil, yang pulih dari cedera panjang, memimpin daftar pencetak gol terbanyak, diikuti oleh kompatriotnya Rivaldo dengan lima gol, kemudian Tomason dari Denmark dan Vieri dari Italia dengan empat gol. Sukur dari Turki mencetak gol tercepat di sejarah Piala Dunia, sebelas menit setelah pertandingan dimulai.


Untuk pertama kalinya, seorang penjaga gawang, Oliver Khan dari Jerman, terpilih sebagai pemain terbaik di turnamen. Karena kengerian yang diruapkannya, para pemain lawan berpikir bahwa ia adalah anak dari Khan yang lain, Jengis. Tapi tentu saja bukan.


*diterjemahkan dari Soccer in Sun and Shadow; trans. Mark Fried; Verso, 2003. 

Piala Dunia a la Galeano XVI: Piala Dunia 1998*

Oleh Eduardo Galeano; Alihbahasa Mahfud Ikhwan


India dan Pakistan mewujudkan mimpi mereka untuk memiliki bom sendiri, dan menari di depan beranda rumah kelompok nuklir ekslusif para adikuasa. Pasar saham Asia tiarap, sebagaimana juga kediktatoran panjang Suharto di Indonesia, yang kekuasaannya gembos bahkan saat kantongnya menggembung besar dengan uang enam miliyar dolar. Dunia kehilangan Frank Sinatra, yang dikenal sebagai 'sang Suara'. Sebelas negara Eropa sepakat untuk meluncurkan satu mata uang, yang dikenal sebagai Euro. Sumber informasi terpercaya di Miami mengumumkan tentang pasti jatuhnya Fidel Castro, hanya soal waktu saja.

Joao Havelange lengser keprabon dan menaikkan ke tahtanya "sang bangsawan” Joseph Blatter, selir kawakan di kerajaan sepakbola dunia. Jenderal Videla, bekas diktator Argentina yang duapuluh tahun lalu meresmikan Piala Dunia bersama Havelange, digiring menuju penjara, sementara kejuaraan baru di Prancis sedang dilangsungkan.

Mengesampingkan masalah ruwet yang menyebabkan pemogokan di Air France, tigapuluh-dua tim tiba di Stadion Saint Denis yang megah untuk ambil bagian dalam Piala Dunia terakhir abad ini: lima belas dari Eropa, delapan dari Benua Amerika, lima dari Afrika, dua dari Timur Tengah, dan dua dari Asia.

Ribut saat pesta, bersungut saat kembali terjaga: sebulan pertarungan di stadion yang penuh sesak menyisakan Prancis, sang tuan rumah, dan Brazil, sang favorit, beradu pedang di partai final. Brazil kalah 3-0. Suker dari Kroasia memimpin daftar pencetak gol dengan enam gol, diikuti oleh Batistuta dari Argentina dan Vieri dari Italia dengan lima gol.

Merujuk kepada studi keilmuan yang dilaporkan Daily Telegraph London, dalam satu pertandingan, penonton mengeluarkan jumlah testosteron yang nyaris sama dengan para pemain. Namun perusahaan multinasional juga bekerja memeras keringat seakan-akan mereka ikut bermain di lapangan pertandingan. Brazil gagal jadi juara untuk kelima kalinya, tapi Adidas berhasil. Dimulai dari Piala Dunia ’54, saat Adidas memenangkannya bersama Jerman, ini adalah kemenangan kelima dari para pemain yang mewakili si strip tiga itu. Dengan Prancis, mereka mengangkat piala emas batangan itu sekali lagi. Dan bersama Zinedine Zidane, Adidas merengkus penghargaan pemain terbaik. Nike si pesaing memantapkan posisi kedua dan keempat, yang ditempati Brazil dan Belanda. Dan sang bintang Nike, Ronaldo, kena meriang saat final. Perusahaan bubuk bawang, Lotto, membuat gol mengejutkan bersama Kroasia, tim yang tak pernah masuk Piala Dunia sebelumnya dan mengobrak-abrik semua perkiraan dengan menempati posisi ketiga.

Setelah itu, rumput di Saint Denis dijual dalam bentuk irisan, persis seperti Piala Dunia sebelumnya di Los Angeles. Penulis buku ini tidak memiliki kue rumput untuk dijual, tapi dia akan senang untuk menawarkan, gratis ataupun bayar, remah-remah sepakbola yang juga memiliki hubungan dengan kejuaraan ini.


*diterjemahkan dari Soccer in Sun and Shadow; trans. Mark Fried; Verso, 2003.

Wednesday, June 4, 2014

Piala Dunia a la Galeano XV: Piala Dunia 1994*

Oleh Eduardo Galeano; Alihbahasa Mahfud Ikhwan

Orang-orang Maya dari Chiapas angkat senjata, rakyat jelata Meksiko menohok wajah aparatnya, dan Subcomandante Marcos mencengangkan dunia dengan kata-kata jenaka dan kalimat-kalimat cintanya.

Onetti, novelis the dark side of the soul, terbaring sekarat. Juara dunia balap mobil Ayrton Senna, orang Brazil itu, terpancung di sebuah lintasan Eropa yang tidak aman. Orang Serbia, Kroasia, dan orang Islam saling bunuh di kepingan-kepingan negara yang dulunya adalah Yugoslavia. Di Rwanda hal serupa terjadi, namun televisi mengocehkan soal suku, dan bukannya manusia, dan secara tersirat bicara bahwa itu cuma masalah orang hitam saja.

Anak-turun Torrijos memenangkan pemilu presiden di Panama, empat tahun setelah invasi berdarah dan sia-sia oleh Amerika Serikat. Tentara Amerika ditarik keluar dari Somalia, di mana mereka memerangi orang kelaparan dengan senapan. Afrika Selatan memilih Mandela. Kaum komunis, yang dibaptis kembali sebagai sosialis, berjaya di pemilihan parlemen di Lithuania, Ukraina, Polandia, dan Hungaria, negara-negara yang mendapati bahwa kapitalisme ternyata juga punya tabiat yang menjengkelkan. Namun Progress Publishers di Moskow, yang biasa menerbitkan buku-buku karya Marx dan Lenin, sekarang menerbitkan majalah Reader’s Digest. Sumber informasi terpercaya di Miami mengumumkan tentang pasti jatuhnya Fidel Castro, hanya soal waktu saja.

Skandal korupsi meluluhlantakkan politik kepartaian Italia dan kekosongan kekuasaan diisi oleh Berlusconi, Orang Kaya Baru yang menjalankan kediktatoran televisi atas nama kebinekaan demokrasi. Berlusconi membungkus kampanyenya dengan sebuah slogan yang dicurinya dari stadion sepakbola, sementara Piala Dunia kelimabelas dilangsungkan di Amerika Serikat, si negeri kasti.

Pers Amerika Serikat memberi secuil perhatian dan berkomentar: di sini sepakbola adalah olahraga masa depan dan akan selalu begitu. Namun stadion penuh sesak meskipun sinar matahari mampu melelehkan batu. Untuk menyenangkan televisi Eropa, pertandingan-pertandingan besar dimainkan di siang bolong, sebagaimana di Meksiko ’86.

Tigabelas tim dari Benua Eropa, enam dari Benua Amerika, dan tiga dari Afrika, ambil bagian, ditambah Korea Selatan dan Arab Saudi. Untuk mencegah banyaknya hasil imbang, tiga poin diberikan bagi yang menang dan bukannya dua sebagaimana sebelumnya. Dan untuk mencegah kekerasan, wasit jadi lebih galak dari sebelumnya, menghambur kartu kuning dan kartu merah sepanjang turnamen. Untuk pertama kalinya wasit pakai seragam warna-warni dan untuk pertama kalinya setiap tim diperbolehkan memiliki tiga pemain cadangan untuk menggantikan penjaga gawang yang cedera.

Maradona memainkan Piala Dunia terakhirnya, dan itu adalah sebuah perayaan, sampai kemudian dia dikecundangi laboratorium yang mengetes air seninya setelah pertandingan kedua. Tanpanya dan tanpa si setan kober Caniggia, Argentina terjerembab. Nigeria memainkan sepakbola paling memuaskan di turnamen. Bulgaria, timnya Stoichkov, memenangkan tempat keempat setelah menghentikan laju Jerman yang menakutkan. Tempat ketiga direbut Swedia. Italia menghadapi Brazil di final. Itu adalah pertandingan membosankan yang berakhir seri. Namun, di antara kejemuan, Romario dan Baggio menawarkan beberapa pelajaran tentang sepakbola yang baik.

Di babak adu penalti, Brazil menang 3-2 dan dimahkotai sebagai juara dunia. Sebuah kisah luar biasa: Brazil adalah negara satu-satunya yang masuk kualifikasi seluruh gelaran Piala Dunia, negara satu-satunya yang juara empat kali, dan negara yang memenangkan paling banyak pertandingan dan mencetak paling banyak gol.

Yang memimpin daftar pencetag gol adalah Stoichkov dari Bulgaria dan Salenko dari Rusia dengan enam gol, diikuti oleh Romaria-nya Brazil, Baggio-nya Italia, Andersson-nya Swedia, dan Klinsmann-nya Jerman, dengan lima gol.


*diterjemahkan dari Soccer in Sun and Shadow; trans. Mark Fried; Verso, 2003.

Tuesday, June 3, 2014

Piala Dunia a la Galeano XIV: Piala Dunia 1990*

Oleh Eduardo Galeano; Alihbahasa Mahfud Ikhwan


Nelson Mandela bebas, setelah menghabiskan duapuluh tujuh tahun di penjara akibat bangga menjadi orang hitam di Afrika Selatan. Di Kolumbia, kandidat presiden kiri Bernardo Jaramillo terbaring sekarat karena peluru seorang pembunuh, dan dari atas helikopter polisi menembak pedagang obat bius Rodriguez Gacha, salah satu dari sepuluh orang terkaya di dunia. Luka menganga atas demokrasi di Chile mengering, namun Jenderal Pinochet, di atas tampuk kepemimpinan militer, terus mengawasi para politisi dan mengekang mereka. Fujimori, dengan menunggang traktor, mengalahkan Vargas Llosa dalam pemilu Peru. Di Nikaragua, kaum Sandinista kalah dalam pemilu, terjungkal karena kelelahan didera sepuluh tahun perang melawan pemberontak bersenjata yang dilatih oleh Amerika Serikat, sementara Amerika Serikat memulai pencaplokan baru atas Panama mengikuti sukses duapuluh tahun pertama penyerbuan atas negara tersebut.

Di Polandia, pemimpin buruh Lech Walesa, seorang yang saleh, meninggalkan penjara dan masuk ke pemerintahan. Di Moskow, kerumunan berbaris antri di depan pintu McDonald. Tembok Berlin dijual dalam bentuk serpihan, bersamaan dengan unifikasi atas dua Jerman dan mulainya perpecahan di Yugoslavia. Kebangkitan rakyat mengakhiri rejim Ceaucescu di Rumania, dan diktator veteran itu, yang suka menyebut dirinya “Danube Biru Sosialisme”, dieksekusi. Di seantero Timur Eropa, birokrat-birokrat tua malih rupa menjadi wirausahawan-wirausahawan baru, sementara derek-derek mendongkel patung-patung Marx, yang tak tahu caranya bilang, “Salahku apa?” Sumber informasi terpercaya di Miami mengumumkan tentang pasti jatuhnya Fidel Castro, hanya soal waktu saja. Di atas langit sana, satelit-satelit angkasa menyambangi Venus dan mengintainya diam-diam, sementara di bumi, di Italia, Piala Dunia keempatbelas sedang dimulai.

Empatbelas tim dari daratan Eropa dan enam dari benua Amerika ambil bagian, ditambah Mesir, Korea Selatan, Uni Emirat Arab, dan Kamerun, yang mencengangkan dunia dengan mengalahkan Argentina pada pertandingan pertama dan bermain gagah berani melawan Inggris. Milla, seorang veteran empatpuluh tahun, menjadi kendang pertama dimulainya tetabuhan Afrika.

Maradona, dengan satu kaki bengkak seperti labu, melakukan yang terbaik untuk memimpin timnya. Anda bisa mendengar alunan tango. Setelah kalah dari Kamerun, Argentina bermain imbang melawan Rumania dan Italia, dan hampir kalah melawan Brazil. Brazil mendominasi keseluruhan laga, sampai Maradona, dengan kaki sebelah, mengelabui tiga pengawalnya di lapangan tengah dan merancang peluang untuk Canigia, yang menceploskan bola sebelum Anda sempat bernafas.

Argentina menghadapi Jerman di final, persis seperti Piala Dunia sebelumnya. Namun, Jerman kali ini menang 1-0 berkat penalti siluman dan kecerdikan melatih Beckenbauer.

Italia merebut tempat ketiga, dan Inggris keempat. Schillaci dari Italia memimpin daftar pencetak gol dengan enam gol, diikuti Skuhravy dari Cekoslowakia dengan lima gol. Kejuaran ini, pertunjukan sepakbola yang membosankan dan tanpa keberanian dan keindahan, punya rerata gol terendah dalam sejarah Piala Dunia.


*diterjemahkan dari Soccer in Sun and Shadow; trans. Mark Fried; Verso, 2003.

Monday, June 2, 2014

Piala Dunia a la Galeano XIII: Piala Dunia 1986*

Oleh Eduardo Galeano; Alihbahasa Mahfud Ikhwan




Baby Doc Duvalier meninggalkan Haiti, membawa semua bersamanya. Juga mencuri dan pergi adalah Ferdinand Marcos dari Filipina, sementara sumber Amerika Serikat mengungkapkan--lebih baik telat daripada sama sekali tidak--bahwa orang yang sangat dihargai sebagai pahlawan Filipina dalam Perang Dunia II ini sebenarnya seorang pembelot.

Komet Haley mampir di langit kita setelah lama tidak nongol; sembilan bulan ditemukan di sekitar Planet Uranus; dan lobang pertama ditampakkan pada lapisan ozon yang melindungi kita dari sinar matahari. Sebuah obat antileukemia, anak kandung dari rekayasa genetik, memasuki pasar. Di Jepang, seorang biduanita mati bunuh diri, yang diikuti oleh keduapuluh tiga penggemarnya. Gempa bumi menyisakan duaratus ribu penduduk El Salvador tak berumah. Malapetaka di pengayaan nuklir Uni Soviet di Chernobyl meletupkan hujan racun radioaktif, yang tak mungkin diukur dan dicegah, melalap luas wilayah dan jumlah orang yang tak diketahui.

Felipe Gonzalez mengatakan “Ya” kepada NATO, aliansi militer Atlantik Utara, setelah berteriak “Tidak”, dan sebuah plebisit merestui sikap balik badan itu, sementara Spanyol dan Portugal memasuki Pasar Bersama Eropa. Dunia bersedih oleh kematian Olof Palme, Perdana Menteri Swedia, yang dibunuh di jalanan. Itu juga masa bersedih untuk seni dan kesusastraan: di antara yang meninggalkan kita adalah pematung Henry Moore dan penulis Simone de Beauvoir, Jean Genet, Juan Rulfo, dan Jorge Luis Borges.

Skandal Irangate meledak, yang melibatkan Presiden Reagen, CIA, dan kelompok pemberontak Contras di Nikaragua dalam penyelundupan senjata dan perdagangan obat bius; juga meledak adalah pesawat luar angka Challenger yang tinggal landas dari Tanjung Canaveral dengan tujuh awaknya. Angkatan Udara Amerika Serikat memborbardir Libya, membunuh salah seorang putri Kolonel Khaddafi, untuk menghukum yang bersangkutan atas serangan yang beberapa tahun kemudian diketahui ternyata dilakukan oleh Iran.

Di penjara Lima, empat ratus tawanan dibariskan dan ditembak. Sumber terpercaya di Miami mengumumkan kepastian jatuhnya Fidel Castro, hanya tinggal tunggu jamnya saja. Beberapa gedung tanpa pondasi yang memadai namun dihuni sangat banyak orang rubuh ketika sebuah gempa menyapu Mexico City pada tahun sebelumnya. Dan saat kawasan mewah masih jadi reruntuhan, ketika itulah Piala Dunia ketigabelas dilangsungkan di sana.

Yang ambil bagian adalah empatbelas tim dari Benua Eropa dan enam dari Benua Amerika, ditambah Maroko, Korea Selatan, Irak, dan Aljazair. Sebuah “gelombang” lahir di tribun di Piala Dunia Meksiko, dan sejak itu penggemar sepakbola di seluruh dunia tenggelam dalam ritme ombak laut itu. Di sana terdapat beberapa pertandingan yang membuat bulu kuduk berdiri, seperti pertandingan antara Prancis melawan Brazil, di mana Platini, Zico, dan Socrates, para pemain yang terbendung itu, macet saat melakukan adu penalti. Dan di sana juga terdapat dua pesta gol spektakuler yang melibatkan Denmark: mereka menceploskan enam gol melawan Uruguay dan terjeblos lima gol melawan Spanyol.

Namun ini adalah Piala Dunia-nya Maradona. Dengan dua gol yang “kekiri-kirian” melawan Inggris, Maradona membalas dendam atas terlukanya harga diri negerinya akibat Perang Falkland: gol pertama diceploskan dengan tangan kirinya, yang disebutnya sebagai “gol tangan Tuhan”, dan gol lainnya ia cetak dengan kaki kiri, setelah meng-KO jatuh bek-bek Inggris.

Argentina menghadapi Jerman di final. Adalah Maradona yang menciptakan umpan menentukan yang membuat Burruchaga hanya berduaan saja dengan bola, ketika waktu sudah menuju penghabisan. Maka, Argentina menang 3-2 dan menggondol piala. Namun, sebelum itu, gol mengesankan lain tercipta: Valdano merancang serangan dari garis gawang Argentina, melewati lapangan tengah, dan ketika Schumacher keluar untuk menghadangnya, ia mencungkil bola ke tiang kanan gawang dan masuk ke jala. Valdano bicara kepada bola sembari berlari menepi, memohon: “Ayo, masuklah.”

Prancis merebut tempat ketiga, diikuti Belgia. Lineker dari Inggris memimpin daftar pencetak gol dengan enam gol. Maradona mencetak lima gol, sebagaimana juga Careca dari Brazil dan Butragueno dari Spanyol.


*diterjemahkan dari Soccer in Sun and Shadow; trans. Mark Fried; Verso, 2003.

Sunday, June 1, 2014

Piala Dunia a la Galeano XII: Piala Dunia 1982*

Oleh Eduardo Galeano; Alihbahasa Mahfud Ikhwan

“Mefisto”, karya Istvan Szabo, sebuah masterpiece seni dan pemberontakan, memenangkan Oscar di Hollywood, sementara di Jerman hidup yang merana dari sutradara berbakat Fassbinder berakhir terlalu cepat. Romy Schneider bunuh diri, Sophia Loren dipenjara karena penghindaran pajak. Di Polandia, tokoh serikat buruh Lech Walesa menapaki jalan menuju penjara.

Garcia Marquez menerima Nobel atas nama penyair, pengemis, musisi, nabi, pejuang, dan bajingan di Amerika Latin. Tentara membantai satu desa di El Salvador: tabik atas merajanya senjata, lebih dari tujuhratus petani mati, sebagian besar adalah anak-anak. Di Guatemala, Jenderal Rios Montt merampas kuasa untuk melipatgandakan penjagalan atas orang Indian—ia sesumbar bahwa Tuhan telah menganugerahkan kekuasaan negara kepadanya dan mengumumkan bahwa Roh Kudus akan menuntun para agen rahasianya.

Mesir mendapatkan kembali Semenanjung Sinai, yang dirampas Israel sejak Perang Enam Hari. Jantung buatan yang pertama telah berdetak di dada seseorang. Sumber informasi yang terpercaya di Miami mengumumkan kejatuhan pasti Fidel Castro, hanya tinggal tunggu jamnya saja. Di Italia, Paus selamat dari percobaan pembunuhan yang kedua kalinya. Di Spanyol, sekelompok aparat yang menyerang Kongres secara terorganisir mendapat hukuman tigapuluh tahun penjara, sementara Felipe Gonzalez melancarkan kampanye impresif menuju bangku kepresidenan. Di Barcelona, sementara itu, Piala Dunia keduabelas sedang dilangsungkan.

Duapuluh empat negara ambil bagian, delapan lebih banyak dibanding sebelumnya, namun Benua Amerika tidak memperoleh jatah lebih: ada empatbelas tim dari Benua Eropa, enam dari Benua Amerika, dua dari Afrika, ditambah Kuwait dan Selandia Baru.

Pada hari pertama, juara bertahan Argentina kalah di Barcelona. Beberapa jam kemudian, jauh dari situ, di Kepulauan Falkland, tentara Argentina kalah dalam perang melawan Inggris. Para jenderal pemberani itu, yang selama bertahun-tahun dalam kediktatorannya memenangkan perang melawan bangsanya sendiri, menyerah seperti kambing congek kepada Inggris. Gambar itu disiarkan di televisi: laksamana laut Alfredo Astiz, pelanggar segala jenis HAM, menundukkan wajah sembari menandatangi penyerahan yang memalukan di Kepulauan Georgia Selatan.

Pada hari berikutnya, televisi menayangkan gambar Piala Dunia ’82: jubah menggelembung Sheikh Fahid al-Ahmad al-Sabah, yang lari masuk ke lapangan memprotes sebuah gol dari Perancis ke gawang Kuwait; gol pemain Inggris Bryan Robson setelah setengah menit, gol tercepat dalam sejarah Piala Dunia**; ketakacuhan kiper Jerman Schumacher setelah ia menggasak striker Prancis Battiston dengan lututnya. (Sebelum jadi kiper, Schumacher adalah seorang pandai besi.)

Tim-tim Eropa memenangkan tempat-tempat teratas di turnamen, meskipun Brazil memainkan sepakbola terbaik melalui kaki Zico, Falcao, dan Socrates. Tim Brazil sial, namun mereka membuat penonton terkagum-kagum. Zico, yang baru saja memenangkan gelar sebagai pemain terbaik di Amerika Selatan, memantapkan sekali lagi “Zicomania” di bangku penonton.

Piala jatuh kepada Italia. Tim Italia mengawali dengan buruk, tersuruk dari satu hasil imbang ke hasil imbang lainnya, namun pada akhirnya melesat tinggal landas, berkat kepaduan yang menyeluruh dan jitunya bidikan mesin golnya, Paolo Rossi. Di final melawan Jerman, Italia menang 3-1.

Polandia, di bawah iringan musik indah Boniek, merebut tempat ketiga. Tempat keempat jatuh pada Prancis, yang seharunya berhak mendapat tempat lebih baik berkat gabungan keefektifan Eropa dan kegembiraan Afrika yang menciptakan lapangan tengah yang patut dikenang.

Rossi dari Italia memimpin daftar pencetak gol terbanyak, diikuti pemain Jerman Rummenigge, yang mencetak lima gol dan menjadi kompor bagi timnya.


*diterjemahkan dari Soccer in Sun and Shadow; trans. Mark Fried; Verso, 2003.
**sebelum dipecahkan oleh Hakan Sukur dari Turki pada Piala Dunia 2002.