Friday, May 30, 2014

Piala Dunia a la Galeano XI: Piala Dunia 1978*

Oleh Eduardo Galeano; Alihbahasa Mahfud Ikhwan


Di Jerman, Volkwagen Beetle yang populer sedang sekarat; di Inggris, percobaan pertama bayi tabung telah lahir; di Italia, aborsi sudah dilegalkan. Korban pertama AIDS, yang saat itu belum memiliki nama, sudah tak kuat lagi. Brigade Merah membunuh Aldo Moro; Amerika Serikat menjanjikan untuk memberikan kembali kepada Panama terusan yang dicuri pada awal abad. Sumber informasi yang terpercaya di Miami mengumumkan kepastian jatuhnya Fidel Castro, tinggal tunggu jamnya saja.

Di Nikaragua, Dinasti Somoza sedang limbung. Di Iran, Dinasti Shah hoyong. Sementara, militer Guatemala memberondongkan senapan mesin ke kerumunan petani di kota kecil Panzos. Domitila Barrios dan empat perempuan lainnya melancarkan mogok makan melawan diktator militer Bolivia, dan sesaat kemudian seluruh Bolivia dilanda mogok makan: kediktatoran pun jatuh. Kediktatoran militer Argentina, sebaliknya, malah segar bugar, dan pamer kekuatannya dengan menjadi tuan rumah Piala Dunia kesebelas.

Sepuluh negara Eropa, empat dari Benua Amerika, ditambah Iran dan Tunisia, ambil bagian. Sang Paus mengirimkan berkatnya dari Roma. Diiringi alunan mars militer, Jenderal Videla menyematkan medali kepada Havelange saat upacara pembukaan di Stadion Monumental Buenos Aires. Beberapa langkah dari situ, Auschwitz-nya Argentina, sebuah kamp penyiksaan dan pembasmian di Sekolah Mekanik Kelautan, dioperasikan dengan kecepatan penuh. Beberapa mil dari tempat itu, para tawanan dilempar hidup-hidup dari pesawat ke laut.

“Paling tidak, dunia bisa melihat wajah sesungguhnya Argentina,” sanjung Presiden FIFA di depan kamera televisi. Sang tamu istimewa, Henry Kissinger, meramalkan: “Negeri ini memiliki masa depan yang gilang-gemilang.” Dan kapten tim Jerman, Berti Vogts, yang melakukan kick-off pertama, menyatakan: “Argentina adalah sebuah negara dengan pemerintahan yang tertata. Aku tak pernah melihat ada tahanan politik.”

Tim tuan rumah menang beberapa kali, namun kalah dari Italia dan imbang melawan Brazil. Untuk mencapai final melawan Belanda, mereka harus menenggelamkan Peru dengan banjir gol. Argentina mendapatkan lebih dari yang mereka butuhkan, namun pembantaian itu, 6-0, menyemai kecurigaan di antara penonton yang nyinyir. Yang berbaik sangka juga. Tim Peru dilempari batu begitu kembali ke Lima.

Final antara Argentina dan Belanda ditentukan dalam perpanjangan waktu. Argentina menang 3-1 dan dalam perjalanannya menuju kejayaan itu mereka mesti berterimakasih atas patriotisme tiang gawang yang menyelamatkan mereka dari kebobolan saat menit terakhir waktu normal. Tiang itu, yang menghentikan tembakan Rensenbrink yang mendesing, tak pernah mendapatkan tanda jasa militer hanya karena watak dasar manusia yang tak tahu terimakasih. Bagaimanapun, lebih penting dari si tiang, pada akhirnya, adalah gol-gol Mario Kempes, si kuda liar tak terjinakkan yang mencongklang di atas rumput yang bertaburan konfeti, dengan rambut panjangnya yang berkibaran ditiup angin.

Saat pemain Argentina mengangkat piala, pemain-pemain Belanda menolak untuk memberi tabik kepada pimpinan kediktatoran Argentina. Tempat ketiga diraih Brazil, sementara keempat milik Italia.

Kempes terpilih sebagai pemain terbaik di turnamen sekaligus pencetak gol terbanyak dengan enam gol. Di belakangnya adalah pemain Peru Cubillas dan Rensenbrink dari Belanda dengan lima gol.


*diterjemahkan dari Soccer in Sun and Shadow; trans. Mark Fried; Verso, 2003.

Wednesday, May 28, 2014

Piala Dunia a la Galeano X: Piala Dunia 1974*

Oleh Eduardo Galeano; Alihbahasa Mahfud Ikhwan



Presiden Nixon sedang kepayahan, dengkulnya linu, diterjang tak henti-henti oleh skandal Watergate, sementara sebuah kapal luar angkasa sedang meluncur menuju Jupiter. Di Washington, seorang letnan angkatan darat yang membunuh seratus penduduk sipil di Vietnam diputuskan tidak bersalah; toh mereka tak lebih dari seratus, cuma orang sipil, Vietnam pula.

Novelis Miguel Angel Asturias dan Par Lakgervist terbaring sekarat, demikian pula dengan pelukis David Alfaro Siqueiros. Dan Jenderal Peron, yang menancapkan jejaknya pada sejarah Argentina, tergolek di ranjang persemayamannya. Pun, sekarat adalah Duke Ellington, sang raja jazz. Putri si raja koran, Patricia Hearst, yang jatuh cinta dengan penculiknya sendiri, merampok bank dan mengumumkan bahwa bapaknya adalah babi borjuis. Sumber informasi yang bisa dipercaya di Miami mengumumkan pasti jatuhnya Fidel Castro, tinggal tunggu jamnya saja.

Kediktatoran Yunani berantakan, demikian pula di Portugal, di mana Revolusi Anyelir berjingkrak mengentakkan lagu “Grandola, vila morena.” Kediktatoran Augusto Pinochet menguatkan cengkeramannya atas Chile, sementara di Spanyol Fancisco Franco sekarat di Rumah Sakit Francisco Franco, digerogoti oleh kuasa dan usia.

Dalam sebuah plebisit yang bersejarah, penduduk Italia melakukan pemungutan suara untuk mengesahkan perceraian, yang kelihatannya lebih baik tinimbang pisau, racun, atau cara-cara lain yang biasanya disukai tradisi untuk menyelesaikan persoalan rumahtangga. Dalam pemungutan suara yang tak kalah bersejarahnya, para pemimpin dunia sepakbola memilih Joao Havelange sebagai Presiden FIFA. Sementara di Swiss Havelange mengusir Stanley Rous yang berwibawa itu, di Jerman Piala Dunia kesepuluh sedang dilangsungkan.

Piala dalam bentuk baru dipertunjukkan. Meskipun lebih jelek dibanding Rimet Cup, piala itu begitu didambakan oleh sembilan tim dari Benua Eropa dan lima tim dari Benua Amerika, plus Australia dan Zaire. Uni Soviet kehilangan tempat di kejuaraan karena mereka menolak memainkan pertandingan kualifikasi di Stadion Nasional Chile, sebab tak lama berselang tempat tersebut jadi kamp konsentrasi dan jadi tempat eksekusi oleh regu tembak. Maka, di stadion tersebut skuad Chile memainkan pertandingan paling memprihatinkan dalam sejarah sepakbola: mereka bermain tanpa lawan, mencetak beberapa gol di gawang yang tak dijaga, dan disoraki oleh penonton. Saat Piala Dunia, Chile tidak memenangkan satu pertandingan pun.

Kejutan: para pemain Belanda membawa istri atau pacar mereka ke Jerman dan tinggal bersama mereka selama turnamen. Itu adalah pertama kalinya terjadi. Kujutan lain: para pemain Belanda seperti memiliki sayap di kakinya dan mencapai final tanpa terkalahkan, dengan empatbelas gol memasukkan dan hanya satu kemasukan; itu pun karena sial belaka, sebab yang memasukkannya adalah salah satu dari mereka sendiri. Piala Dunia ’74 berkisar di sekitar “Weker Oranye”, hasil karya luar biasa dari Cruyff, Neeskens, Rensenbrink, Krol, dan pemain Belanda lain yang tak memiliki pusar, yang dikendalikan oleh pelatih Rinus Michels.

Pada awal pertandingan final, Cruyff bertukar warna dengan Beckenbauer. Dan kemudian kejutan ketiga terjadi: “Der Kaizer” dan timnya menusuk balon pesta milik Belanda. Maier yang menghadang segalanya, Muller yang menjebol segalanya, dan Breitner yang memecahkan segalanya, menyiramkan dua timba air dingin ke kepala sang favorit, dan melawan segala ketidakmungkinan. Jerman menang 2-1. Sejarah Piala Dunia ’54 di Swiss, saat Jerman mengalah Hungaria yang digdaya, kembali terulang.

Di belakang Jerman dan Belanda adalah Polandia. Di tempat keempat ada Brazil, yang tak sanggup melakukan apa yang sebelumnya bisa mereka lakukan. Pemain Polandia, Lato, berujung menjadi pemimpin daftar pencetak gol dengan tujuh gol, diikuti oleh pemain Polandia lain, Szarmach, dan pemain Belanda Neeskens dengan lima gol.


*diterjemahkan dari Soccer in Sun and Shadow; trans. Mark Fried; Verso, 2003.

Tuesday, May 27, 2014

Piala Dunia a la Galeano IX: Piala Dunia 1970*

Oleh Eduardo Galeano; Alihbahasa Mahfud Ikhwan


Di Praha, dalang film boneka Jiri Trnka sedang sekarat; demikian juga Bertrand Russel di London, setelah hampir seabad hidup penuh semangat. Setelah hanya mencapai usia duapuluh, penyair Rugama roboh di Managua, berjuang sendirian melawan satu bataliyon kediktatoran Somoza. Dunia kehilangan musiknya: the Beatles bubar, karena overdosis kesuksesan; dan karena overdosis obat, gitaris Jimi Hendrix dan penyanyi Janis Joplin mengakhiri hidupnya.

Topan memporak-porandakan Pakistan sementara gempa bumi menghapuskan limabelas kota di Andes, Peru. Di Washington, tak ada seorang pun yang percaya dengan Perang Vietnam, namun perang terus dihela walaupun korban tewas mencapai sejuta, menurut Pentagon, dan para jenderal mengelak maju dengan menyerang Kamboja. Setelah kalah dalam tiga kali pemilu, Allende melancarkan kampanyenya untuk menjadi presiden Chile, menjanjikan susu untuk setiap anak dan menasionalisasi tembaga milik negara. Sumber yang bisa dipercaya di Miami mengumumkan kepastian akan jatuhnya Fidel Castro, hanya tinggal hitungan jam saja. Untuk pertama kalinya dalam sejarah, Vatikan dilanda pemogokan. Saat para pegawai Bapa Suci di Roma berpangku tangan, di Meksiko pemain dari enambelas negara mengayunkan kakinya untuk memulai Piala Dunia kesembilan.

Sembilan tim dari Eropa, lima dari Amerika, plus Israel dan Maroko ambil bagian. Pada pertandingan pertama, wasit mengacungkan kartu kuning untuk pertama kalinya. Kartu kuning, tanda peringatan, dan kartu merah, tanda pengusiran, bukan hal satu-satunya yang baru di Piala Dunia Meksiko. Peraturan membolehkan dua pergantian tiap pertandingan. Sebelumnya, hanya penjaga gawang yang boleh diganti jika mengalami cedera, sementara bukan perkara yang sulit untuk mengurangi jumlah lawan dengan satu-dua tendangan jitu.

Gambaran Piala Dunia ’70: kesan ditinggalkan oleh Beckenbauer yang bertarung hingga menit terakhir dengan satu lengan di dalam gendongan; semangat menggebu Tostao, yang baru saja lepas dari operasi mata dan sanggup tampil mantap di setiap pertandingan; kemampuan meringankan tubuh Pele di Piala Dunia terakhirnya. “Kami melompat bersamaan,” kata Burgnich, pemain bertahan Italia yang menjaganya. “Tapi ketika aku sudah mendarat, aku bisa melihat Pele masih mengambang di udara.”

Empat juara dunia, Brazil, Italia, Jerman, dan Uruguay, menembus semifinal. Jerman meraih tempat ketiga, Uruguay keempat. Di final, Brazil mencengangkan Italia dengan kemenangan 4-1. Koran Inggris berkomentar: “Sepakbola indah macam itu seharusnya dianggap tidak sah.” Orang-orang terpaku menceritakan kisah gol terakhir: bola mengalir melalui semua pemain Brazil, kesebelas pemain menyentuh bola, dan pada akhirnya Pele, tanpa melihat, menghidangkan bola di nampan perak bagi Carlos Alberto yang datang seperti topan untuk melakukan tendangan mematikan.

Muller “si Torpedo” dari Jerman memimpin daftar pencetak gol dengan sepuluh gol, diikuti oleh Jairzinho dari Brazil dengan tujuh gol.

Juara tanpa terkalahkan untuk ketiga kalinya, Brazil berhak menyimpan Rimet Cup untuk jadi benda pusaka. Pada akhir 1983, piala tersebut dicuri dan dijual setelah dicairkan menjadi emas murni seberat dua kilogram. Di lemari pameran, piala tiruan berdiri di tempat piala asli.

*diterjemahkan dari Soccer in Sun and Shadow; trans. Mark Fried; Verso, 2003.

Monday, May 26, 2014

Piala Dunia ala Galeano VIII: Piala Dunia 1966*

Oleh Eduardo Galeano; Alihbahasa Mahfud Ikhwan

Militer memandikan Indonesia dalam kubangan darah. Setengah juta, sejuta, atau entah berapa tak ada yang tahu, mati. Dan Jenderal Soeharto meresmikan kediktatorannya yang panjang dengan membunuhi sisa-sisa orang merah, yang kemerah-merahan, atau yang dicurigai merah, yang masih hidup. Jenderal lainnya menggulingkan Nkrumah, Presiden Ghana sekaligus nabi bagi kesatuan Afrika. Kolega mereka lainnya di Argentina mendongkel Presiden Illia dengan kudeta.

Untuk pertama kalinya dalam sejarah seorang perempuan, Indira Gandhi, memerintah India. Mahasiswa menggulingkan kediktatoran militer Ekuador. Angkatan Udara Amerika membom Hanoi dengan semangat baru, namun rakyat Amerika semakin lama semakin yakin mereka seharusnya tidak pergi ke Vietnam, tidak menggangu negeri itu, dan pergi dari sana sesegera mungkin.

Truman Capote baru saja menerbitkan In Cold Blood. One Hundred Years of Solitude karya Garcia Marquez dan Paradiso-nya Lezama Lima sudah muncul. Pendeta Camilo Torres sekarat pada pertempuran di pegunungan Kolumbia. Che Guevara sedang mengendarai Rocinante bututnya melewati pedesaan Bolivia. Mao melancarkan Revolusi Kebudayaan di Cina. Beberapa bom atom jatuh di pesisir Spanyol di Almeria, menebarkan kepanikan meskipun orang-orang tak tahu harus pergi ke mana. Sumber yang bisa dipercaya di Miami mengumumkan tentang keniscayaan jatuhnya Fidel Castro, cuma tinggal dalam hitungan jam saja.

Di London, bersamaan dengan Harold Wilson mengisap pipa tembakaunya dan merayakan kemenangan di pemilu, para gadis muda yang keranjingan rok mini, Carnaby Street menjadi ibukota mode, dan seluruh dunia yang menggumamkan nada-nada Beatles, Piala Dunia kedelapan dilangsungkan.

Ini adalah Piala Dunia terakhir bagi Garincha, juga pesta perpisahan bagi kiper Meksiko Antonio Carbajal, satu-satunya orang yang bermain di lima Piala Dunia.

Enambelas tim ambil bagian: sepuluh dari Benua Eropa, lima dari Benua Amerika, dan, aneh tapi nyata, Korea Utara. Yang menakjubkan, orang-orang Korea itu menyingkirkan Italia dengan sebuah gol dari Pak, seorang dokter gigi dari Kota Pyongyang yang bermain bola di waktu senggang. Padahal, dalam skuad Italia ada Gianni Rivera dan Sandro Mazzola. Pier Paolo Pasolini biasa mengatakan bahwa Rivera dan Mazolla bermain bola seumpama prosa yang jernih yang diselingi oleh sajak yang cemerlang, namun Pak si dokter gigi membuat mereka tak bisa bicara.

Untuk pertama kalinya semua pertandingan dalam kejuaraan disiarkan langsung lewat satelit, dan meskipun masih hitam-putih seluruh dunia bisa menyaksikan acara yang dipandu para wasit itu. Pada Piala Dunia sebelumnya, wasit-wasit Eropa memimpin duapuluh enam pertandingan; kali ini, mereka memimpin duapuluh empat dari tigapuluh dua pertandingan. Seorang wasit Jerman menghadiahi kemenangan Inggris pada pertandingan melawan Argentuna, sementara wasit Inggris memberi Jerman kemenangan saat bertanding melawan Uruguay. Brazil tak kalah sialnya: Pele diburu dan dijegal tanpa hukuman oleh Bulgaria dan Portugal, tim yang menyingkirkan Brazil dari kejuaraan.

Ratu Elizabeth menghadiri pertandingan final. Ia tidak berteriak ketika terjadi gol, cuma dengan malu-malu bertepuk tangan. Piala Dunia menjadi milik orang Inggris Bobby Charlton, seorang yang memiliki gocekan menakutkan dan jago tembak, dan orang Jerman Beckenbauer, yang baru saja memulai karirnya dan sudah bermain dengan topi, sarung tangan, dan tongkat. Seseorang mencuri Piala Rimet, namun seekor anjing bernama Pickles menemukannya di sebuah kebun di London, dan tropi sampai ke tangan pemenang tepat waktu. Inggris menang 4-2. Portugal jadi nomor tiga. Di tempat keempat, Uni Soviet. Ratu Elizabeth menghadiahi Alf Ramsey, pelatih tim juara, pangkat kehormatan, sementara Pickles menjadi pahlawan nasional.

Piala Dunia ’66 dirampas oleh taktik bertahan. Setiap tim menggunakan sistem sweeper dengan seorang pemain bertahan tambahan di garis gawang di belakang para fullback. Meski demikian, Eusobio, manusia artileri asal Afrika berkebangsaan Portugal, mampu menembus tembok pertahanan yang mustahil dijebol itu sembilan kali. Di belakangnya adalah Haller si Jerman, dengan enam gol.


*diterjemahkan dari Soccer in Sun and Shadow; trans. Mark Fried; Verso, 2003.

Saturday, May 24, 2014

Piala Dunia a la Galeano VII: Piala Dunia 1962*

Oleh Eduardo Galeano; Alihbahasa Mahfud Ikhwan

Beberapa peramal Indian dan Malaysia menujum tentang akhir dunia. Nyatanya, bumi tetap berputar. Dan bersama dengan itu sebuah organisasi dengan nama Amnesty International pun lahir. Dan Aljazair mengambil langkah pertama menuju kehidupan yang merdeka setelah selama lebih dari tujuh tahun berperang melawan Prancis.

Di Israel, penjahat Nazi Adolph Eichmann digantung, para penambang di Asturias mogok, dan Paus Johanes mencoba mengubah Gereja dan kembali berpaling kepada kaum papa. Orang-orang itu mulai membuat disket komputer pertama dan melakukan operasi pertama dengan sinar laser, sementara Marilyn Monroe sedang kehilangan keinginan untuk hidup.

Berapa harga suara sebuah negara? Haiti menjualnya secara ketengan untuk limabelas juta dollar, jalan tol, sebuah dam dan sebuah rumah sakit, dan begitulah cara OAS mendapat suara mayoritas untuk mengucilkan Kuba, si kambing hitam Pan-Amerikanisme. Sumber yang dipercaya di Miami mengumumkan bahwa kejatuhan Fidel Castro tinggal hanya dalam hitungan jam saja. Tujuhpuluh lima gugatan dilayangkan ke Pengadilan AS untuk melarang novel Tropic of Cancer karya Henry Miller, yang terbit pertama kali dengan edisi yang masih belepotan. Linus Pauling, orang yang tak lama lagi akan mendapatkan Hadiah Nobel keduanya, berjaga di Gedung Putih sebagai bentuk protesnya melawan ujicoba nuklir, sementara Benny “Si Bocah” Paret, orang Kuba hitam buta huruf itu, sedang sekarat, ditumbuki macam bubur kertas, di atas ring di Madison Square Garden.

Di Memphis, Elvis Presley mengumumkan pensiunnya setelah menjual tiga juta kaset, namun tak lama kemudian ia berubah pikiran; di London, sebuah perusahaan rekaman, Decca, menolak merekam lagu-lagu sebuah grup band yang terdiri atas pemusik-pemusik berambut gondrong yang menyebut dirinya The Beatles. Carpentier sedang menerbitkan Explosion in the Cathedral, Gelman menerbitakn Gotan, militer Argentina menumbangkan Presiden Frondizi, sementara pelukis Brazil Candido Portinari sedang sekarat. Primeiras Estorias karya Guimaraes Rosa tengah ada di toko-toko buku, sebagaimana juga buku puisi yang ditulis Vinicius de Moraes, para viver um grande amor. Joao Gilberto mendayukan “One-Note Samba” di Carnagie Hall saat tim Brazil tiba di Chile, berharap memenangkan Piala Dunia ketujuh melawan lima tim lain dari Benua Amerika dan sepuluh tim dari Benua Eropa.

Pada Piala Dunia ’62, Di Stefano kurang beruntung. Ia bermain untuk negeri barunya, Spanyol. Pada usia ke-tigaenam, ini pasti akan menjadi kesempatan terakhirnya. Persis sebelum pertandingan pembuka, ia cedera lutut dan tak mungkin lagi bermain. Di Stefano, “Si Anak Panah Pirang”, salah satu pemain terbaik dalam sejarah sepakbola, tak pernah sekali pun bermain di Piala Dunia. Pele, bintang abadi lainnya, tak beranjak jauh: ototnya tertarik pada pertandingan awal dan tak bisa bermain. Dan satu lagi nabi agung dalam sepakbola, Yashin dari Rusia, berubah jadi kambing congek: penjaga gawang terbaik di dunia membiarkan gawangnya dibobol empat kali saat melawan Kolumbia, sebab, kelihatannya, ia kebanyakan menenggak minuman keras di kamar ganti.

Brazil menjuarai turnamen tanpa jasa Pele dan bantuan Didi. Amarildo berkilau dengan peran sulitnya menggantikan tempat Pele, Djalma Santos membuat dirinya benteng pertahanan di belakang, dan di depan Garincha terilhami dan mengilhami. “Garincha itu dari planet mana?” tanya harian El Mercurio, saat Brazil menjinakkan tim tuan rumah. Chile mengalahkan Italia dalam sebuah pertandingan yang berubah jadi ajang pertempuran. Mereka juga mengalahkan Swiss dan Uni Soviet. Mereka melahap habis spagetti, coklat dan vodka, tapi mereka tersedak kopi: Brazil menang 4-2.

Di final, Brazil menundukkan Cekoslowakia 3-1 dan, seperti pada Piala Dunia ’58, menjadi juara tanpa terkalahkan. Untuk benar-benar pertama kalinya final Piala Dunia disiarkan langsung secara internasional di televisi, meskipun masih dalam warna hitam-putih dan cuma ke beberapa negara.

Chile memenangi tempat ketiga, rangking terbaik yang pernah mereka raih. Yugoslavia memperoleh tempat keempat berkat burung lincah bernama Dragoslav Secularac, yang tak bisa ditangkap oleh satu pun pemain bertahan.


Kejuaraan itu tak memiliki pemuncak daftar pencetak gol, namun beberapa pemain mencatatkan empat gol. Garincha dan Vava dari Brazil, Sanchez dari Chile, Jerkovic dari Yugoslavia, Albert dari Hungaria, dan Ivanov dari Uni Soviet.


*diterjemahkan dari Soccer in Sun and Shadow; trans. Mark Fried; Verso, 2003.

Thursday, May 22, 2014

Piala Dunia a la Galeano VI: Piala Dunia 1958*

Oleh Eduardo Galeano; Alihbahasa Mahfud Ikhwan


Amerika Serikat meluncurkan sebuah satelit menuju langit ketujuh: sebuah setelit kecil baru yang bersimpang jalan dengan Sputnik-nya Soviet namun tak pernah bertegur sapa. Dan saat para adikuasa berlomba di Luar Angkasa, di Muka Bumi perang sipil meletus di Lebanon, Aljazair menyala, Prancis menggenggam api dan Jenderal de Gaulle berdiri enam kaki di atas bara dan menjanjikan keselamatan.

Di Kuba, pemberontakan para jenderal Fidel Castro melawan kediktaroran Batista gagal, namun di Venezuela pemberontakan jenderal lain menjatuhkan kediktatoran Perez Jimenez. Di Kolumbia, kaum Konservatif dan Liberal bersaing dalam pemilihan umum untuk mematut kesepakatan berbagi kekuasaan setelah selama sedasarwarsa saling memusnahkan. Richard Nixon, sementara itu, disambut dengan sambitan batu pada tur Amerika Latinnya. Deep Rivers karya Jose Maria Arguedas telah diterbitkan, sebagaimana juga Where the Air is Clear-nya Carlos Fuentes dan Poemas de amor-nya Idea Vilarino.

Di Hungaria, Imre Nagy ditembak bersama para pemberontak lain dari Gerakan ’56 yang lebih menginginkan demokrasi dibanding birokrasi. Pun demikian para pemberontak Haiti, yang meregang nyawa setelah melancarkan serangan ke istana tempat Papa Doc Duvalier berkuasa di tengah kerumunan para tukang tenung dan juru pancung. Yohanes XXIII, Yohanes yang Budiman, jadi Paus baru di Roma; Pangeran Charles jadi pewaris tahta Kerajaan Ingris; Barbie jadi ratu baru para boneka. Di Brazil, Joao Havelange merebut tahta di bidang industri sepakbola, sementara di bidang seni budayanya bocah tujuhbelas tahun bernama Pele ditahbiskan sebagai sang raja dunia.

Penobatan Pele bertempat di Swedia bertepatan dengan Piala Dunia keenam. Ambil bagian di situ duabelas tim dari Eropa, empat dari daratan Amerika, dan tak satu pun dari penjuru dunia sisanya. Orang Swedia bisa menonton pertandingan di stadion dari rumah mereka. Ini adalah yang Piala Dunia pertama yang ditelevisikan, meskipun siaran langsungnya cuma ada di Swedia. Orang luar harus nonton belakangan.

Ini pula untuk pertama kalinya sebuah tim yang bermain di luar benuanya jadi juara. Pada permulaan Piala Dunia ’58, para pemain Brazil tak mengkilap amat. Namun setelah para pemain mokong dan meyakinkan pelatihnya untuk menurunkan tim yang mereka inginkan, mereka tak bisa lagi dihambat. Pada saat itu, lima cadangan jadi pemain inti. Di antara mereka adalah remaja tak dikenal bernama Pele dan pemain yang sudah cukup masyhur di Brazil dan telah bersinar di Piala Dunia sebelumnya bernama Garincha. Garincha terpinggirkan sebab tes kepribadian menunjukkan bahwa dia punya otak tak memadai. Para sekondan hitam yang menggantikan pemain-pemain kulit putih itu bersinar berkilauan di tim bintang yang baru, bersama pemain hitam menakjubkan yang lain, Didi, yang mengendalikan sihir tim itu dari belakang.

Pertanding demi pertandingan, kilauan demi kilauan: koran London World Sport mengatakan Anda harus menggosok mata dulu untuk percaya bahwa permainan (Brazil) berlangsung di dunia nyata. Di semifinal melawan Prancis, timnya Kopa dan Fontaine, Brazil menang 5-2. Dan mereka menang lagi 5-2 di final melawan tuan rumah. Kapten Swedia, Liedholm, salah satu pemain paling bersih dan paling elegan dalam sejarah sepakbola, mencetak gol pertama di pertandingan itu. Namun kemudian Vava, Pele, dan Zagalo membalikkan keadaan dan menempatkan Swedia di tempat seharusnya di bawah tatapan terpukau Raja Gustavus Adolphus. Brazil menjadi juara tanpad sekali pun kalah. Saat pertandingan selesai, para pemain juara itu memberikan bola kepada seorang pendukung mereka yang paling setia, si tukang pijit hitam Americo.

Prancis mendapatkan tempat ketiga, sementara Jerman Barat keempat. Fontaine dari Prancis memimpin daftar pencetak gol dengan menggelontorkan tigabelas gol, delapan dengan kaki kanan, empat dengan kaki kiri, dan satu dengan kepala. Diikuti Pele dan Helmut Rahn dari Jerman yang mencetak enam gol.


*diterjemahkan dari Soccer in Sun and Shadow; trans. Mark Fried; Verso, 2003.

Tuesday, May 20, 2014

Piala Dunia a la Galeano V: Piala Dunia 1954*

Oleh Eduardo Galeano; Alibahasa Mahfud Ikhwan

Gelosomina dan Zampano mekar dari tangan ajaib Fellini dan mereka melucu dengan renyahnya dalam “La Strada”, sementara Fangio melesat ke depan untuk menjadi juara dunia balap mobil untuk kedua kalinya. Jonas Salk sedang meracik sebuah vaksin untuk melawan polio. Di Pasifik, bom hidrogen pertama meletus. Di Vietnam, Jenderal Giap memukul tentara Prancis dalam Pertempuran Dien Bien Phu yang menentukan. Di Aljazair, jajahan Prancis yang lain, perang kemerdekaan baru saja dimulakan.

Jenderal Stroessner terpilih menjadi Presiden Paraguay dalam coblosan tertutup melawan dirinya sendiri. Di Brazil, tali kekang para saudagar dan orang besar, uang dan senapan, menjerat Presiden Getulio Vargas dan dengan segera sebuah peluru meledakkan jantungnya. Pesawat-pesawat Amerika Serikat memborbardir Guatemala dengan restu dari OAS (Organisasi Negara-negara Benua Amerika), dan seorang serdadu yang dipungut oleh Kuasa dari Utara menyerang, membunuh, dan menang. Sementara di Swiss lagu-lagu kebangsaan enambelas negara dinyanyikan dalam pembukaan Piala Dunia kelima, di Guatemala para pemenang menyanyikan lagu kebangsaan Amerika Serikat dan merayakan jatuhnya Presiden Arbenz, orang yang semena-mena dicap berideologi Marxist-Leninis begitu ia mengutak-atik tanah-tanah milik United Fruid Company.

Yang ambil bagian pada Piala Dunia ’54 adalah sebelas tim dari Benua Eropa dan tiga dari Benua Amerika, plus Turki dan Korea Selatan. Brazil mulai memakai kaos kuning berkerah hijau untuk menggantikan seragam putih yang membawa sial di Maracana. Namun, pada mulanya, seragam warna kenari ini tak membantu: pada sebuah pertandingan penuh kekerasan, Brazil kalah oleh Hongaria dan bahkan gagal masuk semifinal. Utusan Brazil mengajukan komplain kepada FIFA soal wasit Inggris, yang berlagak seperti “mewasiti komunisme internasional melawan peradaban Barat Kristen.”


Hungaria adalah favorit berat untuk memenangkan Piala. Kombinasi mesin giling Puskas, Kocsis, dan Hidegkuti empat tahun tak terkalahkan, dan tak lama sebelum Piala Dunia mereka menghancurkan Inggris 7-1. Namun hal itu tak berkelanjutan.

Setelah pertarungan sengit dengan Brazil, para pemain Hungaria memberikan segalanya melawan Uruguay. Hungaria dan Uruguay bertarung mati-matian, tak memberikan ruang sejengkal pun untuk lawan, sama lelah, sama berjatuhan, hingga pada akhirnya dua gol Kocsis menentukan akhir pertandingan.

Partai final mengadu Hungaria melawan Jerman, tim yang dilumat 8-3 di awal turnamen saat sang kapten menepi karena cedera. Puskas tampil kembali di final, hampir-hampir berlari hanya dengan satu kaki, memimpin sebuah tim yang gilang-gemilang namun kelelahan. Hungaria memimpin 2-0, namun berakhir dengan kalah 3-2, dan Jerman memenangkan gelar dunia pertamanya. Austria jadi yang ketiga, dengan Uruguay sebagai yang keempat.


Si Hungaria Kocsis memimpin daftar pencetak gol dengan sebelas gol, diikuti si Jerman Morlock dengan delapan dan si Austria Probst enam. Perihal sebelas gol Kocsis, yang paling hebat adalah yang dicetak saat melawan Brazil. Kocsis tinggal landas seperti kapal terbang, melayang menembus udara, dan menanduk bola ke sudut jala.


*diterjemahkan dari Soccer in Sun and Shadow; trans. Mark Fried; Verso, 2003.

Monday, May 19, 2014

Piala Dunia a la Galeano IV: Piala Dunia 1950*




Oleh Eduardo Galeano; Alihbahasa Mahfud Ikhwan

Televisi berwarna sudah muncul; komputer-komputer melakukan ribuan operasi dalam satu detik; Marilyn Monroe melakukan debut Hollywood-nya. Sebuah film karya Bunuel, “Los Olvidados”, merebut Cannes. Otomobil yang dikendarai Fangio menang di Prancis. Bertrand Russell memenangkan Nobel. Neruda menerbitkan Canto General-nya, sementara Onetti dan Octavio Paz mengeluarkan edisi pertama dari A Brief Life dan The Labyrinth of Solitude.

Albizu Campos, yang berjuang keras dan berkepanjangan demi kemerdekaan Puerto Rico, dijatuhi hukuman tujuhpuluh sembilan tahun di penjara Amerika Serikat. Seorang informan menjeritkan nama Salvatore Giuliano, bandit legendaris dari Italia Selatan, dan dia terkapar sekarat, dilubangi peluru polisi. Di Cina, pemerintahan Mao mengambil langkah pertama dengan melarang poligami dan penjualan anak. Dibungkus dalam bendera PBB, tentara Amerika menyerang Semenanjung Korea dengan api dan pedang, sementara para pemain sepakbola mendarat di Rio de Janeiro untuk bersaing di Rimet Cup keempat setelah prei panjang sehabis perang .

Yang ambil bagian pada turnamen 1950 di Brazil terdiri atas tujuh negara dari Benua Amerika dan enam dari Eropa yang baru saja bangkit dari debu perang. FIFA tak membolehkan Jerman ikut bermain. Untuk pertama kalinya, Inggris ikut Piala Dunia. Sebelum-sebelumnya, orang Inggris menganggap remeh kejuaraan tersebut. Percaya atau tidak, Inggris kalah oleh Amerika Serikat. Dan gol yang menempatkan Amerika di atas angin bukan dibikin oleh Jenderal George Washington, melainkan oleh seorang ujung tombak dari Haiti hitam bernama Larry Gaetjens.

Brazil dan Uruguay meraih final di Maracana, kandang baru tim tuan rumah, stadion terbesar di dunia. Brazil yakin jadi juara. Final akan jadi sebuah pesta. Sebelum pertandingan dimulai, para pemain Brazil, yang menghancurkan tim-tim yang mereka hadapi dengan gol demi gol, dianugerahi gelang emas dengan tulisan “Untuk Juara Dunia” yang tertera di gelang belakangnya. Halaman depan koran telah dicetak lebih dulu, arak-arakan raksasa yang akan memimpin parade kemenangan sudah diatur, setengah juta kaos dengan semboyan tentang kemenangan yang pasti datang sudah diperjual-belikan.

Saat pemain Brazil Friaca mencetak gol pertama, gemuruh suara dari duaratus ribu penonton dan ledakan kembang api mengguncang stadion monumental itu. Namun kemudian Schiaffino menyamakan kedudukan dan sebuah tembakan dari pemain sayap Giggia memberikan mahkota juara bagi Uruguay dengan kemenangan 2-1. Saat Giggia mencetak gol, keheningan di Maracana begitu memekakkan. Keheningan paling parau dalam sejarah sepakbola. Ary Baroso, musisi dan komposer lagu Acuela do Brasil, yang mengomentari pertandingan ke seluruh penjuru negeri, mundur dari dunia penyiaran demi kebaikannya.    

Usai peluit panjang, komentator Brazil menyebut kekalahan tersebut sebagai “tragedi paling buruk dalam sejarah Brazil”. Jules Rimet menyeberang lapangan seperti arwah gentayangan, memeluk piala yang bertatahkan namanya: “Aku mendapati diriku sendirian dengan piala di genggaman dan tak tahu apa yang harus kulakukan. Aku akhirnya menemukan kapten Uruguay, Obdulio Varela, dan aku berikan piala itu kepadanya dengan cara seolah-olah tak membiarkan siapa pun tahu. Aku ulurkan tanganku tanpa bicara sepatah kata.”

Di sakunya, Rimet menyimpan naskah pidato yang dia tulis untuk memberi ucapan selamat atas kemenangan Brazil.

Uruguay juara dengan bersih: mereka hanya melakukan sebelas pelanggaran, dibanding Brazil yang melakukan duapuluh satu pelanggaran.

Tempat ketiga diraih Swedia. Yang keempat didapat Spanyol. Ademir dari Brazil memimpin daftar pencetak gol dengan sembilan gol, diikuti oleh Schiaffino dari Uruguay dengan enam gol dan Zarra dari Spanyol dengan lima gol.


*diterjemahkan dari Soccer in Sun and Shadow; trans. Mark Fried; Verso, 2003. 

Sunday, May 18, 2014

Piala Dunia a la Galeano III: Piala Dunia 1938*

Oleh Eduardo Galeano; Alihbahasa Mahfud Ikhwan



Max Theiler tengah menemukan sebuah vaksin untuk demam kuning; foto berwarna baru saja muncul; Walt Disney sedang meluncurkan “Snow White”; dan Eisenstein tengah memfilmkan “Alexander Nevski”. Nilon, yang belum lama berselang ditemukan oleh seorang profesor Harvard, tengah diubah jadi parasut dan kaos kaki perempuan.

Dua penyair Argentina, Anfonsina Storni dan Leopoldo Lugones, membunuh dirinya sendiri. Lazaro Cardenas menasionalisasi minyak Mexico dan menantang blokade dan aneka ragam kegeraman Barat. Sementara Orson Welles sedang menayangkan infasi penduduk Mars kepada Amerika Serikat untuk menakut-nakuti mereka yang jerih, Standard Oil minta infasi sungguhan atas Mexico untuk menghukum jalan sesat Cardenas dan mengakhiri tabiat buruknya.

Di Italia, Manifesto on the Race sedang ditulis dan penyerangan kepada Yahudi tengah meningkat. Jerman mencaplok Austria; Hitler memburu Yahudi dan mengangkangi teritori. Pemerintah Inggris memerintahkan warganya menimbun makanan dan mengajari mereka mempertahankan diri dari serangan gas beracun. Franco sedang mengurung benteng terangkhir Republik Spanyol dan telah memperoleh pengakuan dari Vatikan. Cesar Vallejo sedang sekarat di Paris, boleh jadi saat hujan deras, sementara Sartre menerbitkan Nausea. Dan di sana, di Paris, di bawah bayang-bayang hitam akan pecahnya perang, di mana ‘Guernica”-nya Picasso tengah dipamerkan untuk mencela masa yang bobrok itu, Piala Dunia ke-3 tengah berlangsung. Di Stadion Colombes, Presiden Prancis Albert Lebrun melakukan tendangan pembuka. Ia mau menendang bola, tapi kakinya mencangkul tanah.

Seperti Piala Dunia sebelumnya, ini adalah sebentuk kejuaraan Eropa. Cuma dua negara Amerika Selatan yang bergabung dengan sebelas negara Eropa. Sebuah tim dari Indonesia, saat itu masih disebut Hindia Belanda, datang ke Paris sebagai satu-satunya wakil dari sisa dunia.

Kubu Jerman diperkuat oleh lima pemain yang diambil dari Austria yang baru saja dirayah. Penguatan ini, ditambah dengan tanda swastika di dada dan segala simbol kekuatan Nazi di genggaman, tim Jerman datang dengan keperkasaan, juga klaim tak terkalahkan; mereka ternyata cuma setor muka dan bertekuk lutut dengan Swiss yang semenjana. Kekalahan Jerman terjadi hanya beberapa hari sebelum keunggulan ras Arya kembali terjerembab oleh pukulan keras lain di New York, saat petinju kulit hitam Joe Louis meluluh-lantakkan juara Jerman Max Schmeling.

Italia, di sisi lain, menapaki pengulangan Piala Dunia sebelumnya. Di semifinal, Azzurri mengalahkan Brazil. Sebuah penalti patut dipertanyakan, tapi Brazil memprotesnya dengan sia-sia. Seperti Piala Dunia ’34, semua wasit adalah orang Eropa.

Lalu sampailah final: Italia lawan Hungaria. Untuk Musollini, kemenangan adalah persoalan negara. Pada malam sebelum pertandingan, para pemain Italia memperoleh telegram tiga kata dari Roma, yang ditandatangani sang pemimpin fasis: “Menang atau Mati.” Mereka tidak jadi mati karena Italia menang 4-2. Hari berikutnya, para jawara itu memakai seragam militer menuju upacara penutupan, yang dipimpin oleh Il Duce.

La Gazetta dello Sport sesumbar “ejawantah paling sempurna tentang olahraga kaum fasis telah disimbolkan oleh kejayaan ras ini.” Tidak lama sebelumnya, koran resmi merayakan kemenangan Italia atas Brazil dengan kalimat berikut: “Kami ucapkan tabik atas kemenangan intelejensia Italia atas otot kasar para Negro.”

Namun yang memilih para pemain terbaik turnamen adalah koran internasional, dan di antara para pemain itu terdapat dua orang Brazil hitam, Leonidas dan Domingos da Guia. Dengan delapan gol Leonidas juga jadi pencetak gol terbanyak, diikuti oleh si Hungaria Zsengeller dengan tujuh gol. Gol paling indah dicetak oleh Leonidas saat melawan Polandia. Bermain ketika hujan deras, ia kehilangan sepatunya yang menancap di lumpur di area penalti dan mencetak gol dengan kaki telanjang.


*diterjemahkan dari Soccer in Sun and Shadow; trans. Mark Fried; Verso, 2003. 

Thursday, May 15, 2014

Piala Dunia a la Galeano II: Piala Dunia 1934*

Oleh Eduardo Galeano; Alibahasa Mahfud Ikhwan

Johnny Weissmuller sedang mengarang auman pertama Tarzan; kolonye pertama yang diproduksi massal tengah menggebrak pasar; sementara Polisi Louisiana menembak mati Bonnie dan Clyde. Bolivia dan Paraguay, dua negara paling miskin di Amerika Selatan, berperang atas nama Standar Oil dan Shell berkait minyak di Chaco. Sandino, yang digulingkan para marinir di Nikaragua, ditembak mati dalam sebuah penyergapan. Samoza, pembunuhnya, meresmikan dinastinya. Di Cina, Mao memulai Long March-nya. Di Jerman, Hitler ditahbiskan sebagai Fuhrer of the Third Reich dan mewara-warakan Undang-undang Pemurnian Ras Aria, yang memaksakan pembersihan para penjahat dan semua orang yang memiliki penyakit turunan. Dan di Italia, Mussolini tengah membuka Piala Dunia Kedua.

Poster untuk kejuaraan menunjukkan gambar Hercules yang menimang bola di kakinya sementara tangannya mengacungkan salam fasis. Untuk Il Duce (Sang Pimpinan), Piala Dunia ’34 di Roma adalah sebuah ajang propaganda yang terencana. Mussolini hadir di semua pertandingan, duduk di bangku kehormatan, dengan dagu mendongak ke arah tribun yang dipenuhi penonton berpakaian hitam. Sebelas pemain Italia mempersembahkan kemenangan-kemenangan mereka kepadanya. Tangan kanan mereka mengulur ke depan.

Namun jalan menuju gelar tidaklah mudah. Semifinal antara Italia dan Spanyol muncul sebagai pertandingan paling melelahkan dalam sejarah Piala Dunia. Pertempuran berakhir 210 menit dan tak juga rampung sampai hari berikutnya. Italia menang, namun menyelesaikan pertandingan tanpa empat pemain intinya, sementara Spanyol tanpa tujuh pemain utamanya, yang menepi karena digasak cedera atau dirundung kepayahan. Di antara yang cedera terdapat dua pemain terbaik Spanyol: Langara dan si kiper Zamora, yang memukau siapa pun pemain lawan yang menjejak kotak penaltinya.

Italia meraih tiket final melawan Cekoslowakia di Stadion Partai Fasis Nasional dan menang 2-1. Dua orang Argentina yang baru-baru itu saja dinasioalisasi sebagai orang Italia mengerjakan tugasnya: Orsi mencetak gol pertama, menggocek bola melewati kiper, dan Guaita, orang Argentina yang lain, memberi umpan pada Schiavio untuk menciptakan gol yang memberi Italia gelar Piala Dunia pertamanya.

Pada tahun ’34, enambelas negara ambil bagian: duabelas dari Eropa, tiga dari Amerika Latin, dan Mesir, yang mewakili belahan dunia sisanya. Sang juara bertahan, Uruguay, menolak datang karena Italia tak datang ke Piala Dunia pertama di Montevideo.

Jerman dan Austria jadi yang ketiga dan keempat. Orang Ceko, Nejedly, jadi pimpinan pencetak gol dengan lima gol, diikuti oleh Cohen dari Jerman dan Schiavio dari Italia dengan empat gol.


*diterjemahkan dari Soccer in Sun and Shadow; trans. Mark Fried; Verso, 2003. 

Tuesday, May 13, 2014

Piala Dunia a la Galeano I: Piala Dunia 1930*

Oleh Eduardo Galeano; Alihbahasa Mahfud Ikhwan

Sebuah gempa bumi mengguncang Italia bagian selatan dan mengubur 1.500 penduduk Napoli; Marlene Dietrich menyanyikan “Blue Angel”; Stalin tengah menuntaskan perebutan kekuasaan Revolusi Rusia-nya; penyair Vladimir Mayakovski memutuskan bunuh diri. Inggris memenjarakan Mahatma Gandhi, orang yang menuntut kemerdekaan dan mencintai negaranya dan membuat India tetap tegak berdiri; di bawah panji yang serupa, di Indies yang lain, Indies kita, Augusto Cesar Sandino membangkitkan para petani Nikaragua. Angkatan Laut Amerika membakar hasil panen mereka dan mengalahkannya dengan kelaparan.

Di Amerika, sebagian orang menarikan dansa-dansi jenis baru, tapi Auman Duapuluhan telah disikat dengan tonjokan mematikan oleh krisis tahun ’29. Pasar Modal New York ambruk, menghancurkan harga komoditas internasional, dan menyeret beberapa pemerintahan di Amerika Latin masuk jurang. Harga timah anjlok, menggulingkan Presiden Bolivia Hernando Siles, dan kedudukannya digantikan oleh seorang jenderal. Ambruknya harga daging dan gandum memungkasi kekuasaan Presiden Hipolito Yrigoyen di Argentina, dan kedudukannya diambil seorang jenderal. Di Republik Dominika, jatuhnya harga gula jadi pembuka siklus panjang kediktatoran Jenderal Rafael Leonidas Trujillo, yang kemudian meresmikan rejimnya dengan menamai ibu kota dan pelabuhan dengan namanya sendiri.

Di Uruguay, kudeta belum terjadi hingga tiga tahun kemudian. Pada 1930, mata dan telinga negeri ini cuma untuk penyelenggaraan Piala Dunia pertama. Kejayaan Uruguay pada dua Olimpiade sebelumnya membuat negeri itu menjadi pilihan wajar untuk jadi penghelat turnamen pertama.

Duabelas negara tiba di pelabuhan Montevideo. Semua negara Eropa diundang, namun cuma empat tim yang menyeberangi samudera menuju ke semenanjung selatan. “Itu jauh dari mana pun,” mereka bilang. “Dan biayanya mahal.”

Sebuah kapal membawa Piala Jules Rimet dari Prancis, disertai oleh Don Jules, Presiden FIFA, serta tim Prancis yang ogah-ogahan.

Di antara kemegahan dan kegentingan, Uruguay meresmikan gelanggang monumental yang dibangun dalam waktu delapan bulan. Stadion itu dinamai Centenario, guna merayakan seabad konstitusi yang memberikan hak sipil kepada perempuan, buta huruf, dan orang miskin. Tak ada ruang kosong sejengkal pun di tribun saat Uruguay dan Argentina berhadap-hadapan di pertandingan final. Stadion jadi lautan topi bulu, menutupi kamera-kamera berpenyangga. Penjaga gawang memakai peci, sementara wasit mengenakan kulot hitam.

Final Piala Dunia 1930 tak memperoleh tanggapan melebihi kolom 20 baris di koran Italia La Gazetta dello Sport. Selebihnya, pertandingan tersebut adalah ulangan Olimpiade Amsterdam 1928: dua negara dari tepian Sungai Perak (Rio de la Plata) mengejek negeri-negeri Eropa dengan menunjukkan belahan dunia mana yang lebih baik dalam hal memainkan sepakbola. Seperti pada tahun ’28, Argentina menduduki tempat kedua. Uruguay, kalah 2-1 pada paroh pertama, namun mengakhiri pertandingan dengan menang 4-2 dan dimahkotai gelar juara. Untuk mewasiti pertandingan final, wasit asal Belgia John Langenus meminta jaminan asuransi. Tapi tak ada hal terlalu serius yang terjadi kecuali beberapa baku hantam di bangku penonton. Setelah pertandingan, di Buenos Aires, kerumunan melempari konsulat Uruguay.

Tempat ketiga jatuh kepada Amerika Serikat yang sebagian pemainnya adalah imigran Skotlandia yang baru datang. Tempat keempat jadi milik Yugoslavia.

Tak ada satu pun pertandingan yang berakhir imbang. Pemain Argentina, Stabile, memimpin daftar pencetak gol dengan delapan gol, diikuti Cea dari Uruguay dengan lima gol. Louis Laurent dari Prancis mencetak gol pertama dalam sejarah Piala Dunia saat berhadapan dengan Mexico.

*diterjemahkan dari Soccer in Sun and Shadow; trans. Mark Fried; Verso, 2003.

Monday, May 12, 2014

Piala Dunia a la Galeano: Pengantar dari Belakang Gawang

Oleh Mahfud Ikhwan

Man City juara lagi. Kedua kali dalam tiga musim ini. Liverpool gagal lagi—untuk ke-24 kali. Mou, sekali lagi, tak dapat apa-apa dengan tim yang dilatihnya. Dua busnya cuma dapat urutan ketiga. Sementara Arsenal mengulang-ulang lagu lama, MU merengkuh banyak rekor [kalah] di kandangnya: WBA, Newcastle, Everton, Sunderland, dan... banyak lagi yang lainnya.

Empat pekan lagi Piala Dunia. Brazil si tuan rumah terus berderap tapi tetap tampak tak kunjung siap. Ada tribun yang ambruk. Banyak buruh bangunan yang mati. Lebih banyak lagi orang miskin tanpa tanah yang tergusur. Senasib dengan Kaka, Robinho, dan Ronaldinho, yang tak dapat tempat di Selecao.

Di Indonesia, orang-orang sibuk menyerang calon presiden yang bukan pilihannya. Yang agak kalem dan saleh mungkin bersiap menyambut puasa sunat tengah Sa'ban, sebelum benar-benar larut pada Ramadan yang akan datang. Yang kalem, saleh, dan lumayan bisa memanfaatkan peluang, tengah menimang surat panggilan pemilihan suaranya untuk, suatu hari, ditukar dengan sedikit uang. Pasti lumayan untuk belanja berbuka.

Sudah tak cukup yakin bisa meningkatkan iman dan takwa saat puasa, tak cukup bersemangat untuk berencana berangkat ke bilik suara, sementara novel baru tak terbit juga, maka Piala Dunia adalah harapan saya hampir satu-satunya.

Ada dua novel tentang sepakbola, masih dalam kepala. Ada dua naskah lama yang seharusnya diterbitkan ulang, tapi siapa yang mau baca? Ada banyak film dan soundtrack lagu India yang sudah diunduh dan belum disimak, tapi masa itu melulu? Karena tak mungkin menunggu mulainya Piala Dunia sambil mati bosan mendengarkan uraian yang tak pernah diuji dari Burhanudin Muhtadi, dan tak mau menghabiskan waktu menyimak berita bola ala suratkabar online yang berisi tebak-tebakan, saya memutuskan untuk balik ke Belakang Gawang, tempat persembunyian yang hampir dua musim ini saya tinggalkan.

Dan buku Soccer in Sun and Shadow-nya Galeano. Buku buah tangan seorang teman yang kini sudah penuh coretan. Buku yang, bagi seorang penggila bola, sangat menggiurkan. Tapi juga menggentarkan—mengingat angka 3 dalam Bahasa Inggris yang saya dapat pada ujian nasional di tiga jenjang.

(Tapi Darmanto bisa, kenapa saya tidak?)

***

Eduardo Hughes Galeano, seperti yang dengan terbata saya baca di Wikipedia, adalah penulis Uruguay yang gagal menjadi pemain sepakbola. Ia menulis buku sejarah, novel, dan esai tentang bola. Nyeni dan kiri, membuatnya selalu berurusan dengan jenderal-jenderal sayap kanan. Tahun 1973 terjadi kudeta militer di Uruguay. Ia dibui dan terpaksa menyingkir. Bukunya tentang sejarah Amerika Latin, Open Veins of Latin America, dilarang di beberapa negara. Ketika tinggal di Argentina ia kembali harus terusir setelah namanya masuk daftar orang yang harus dilenyapkan oleh para begundal Jenderal Videla.

Soccer in Sun adalah buku yang indah, begitu kata yang pernah membacanya. Saya mempercayainya dan karena itu berusaha membacanya—sebisanya. Dan saya rasa begitu—kalau tidak salah. (Karena takut salah itulah, saya mencoba menerjemahkannya, dan membaginya dengan beberapa gelintir pembaca Belakang Gawang.)

Tapi ‘indah’ tak mencukupi untuk menggambarkan buku ini. Membaca Soccer in Sun, dalam pengalaman saya, seperti melihat cuplikan gol dan trik-trik Maradona, atau dagu mendongak dengan kerah tegak Cantona, atau diving Suarez, atau wawancara Mourinho. Atau, sepakbola itu sendiri.

Indah jelas. Tapi kepahitan juga ditemukan di banyak bagian. Ledakan tawa tercetak satu halaman dengan rasa ngungun dan murung. Main-main ada. Serius dan berdarah-darah lebih banyak lagi. Di atas semuanya, adalah rasa agung. Dan memang demikianlah sepakbola.

Orang banyak menyebut sepakbola sebagai permainan. Saya meyakininya sebagai seni budaya. Dan hal itulah yang saya temukan pada Soccer in Sun. Seperti seni budaya yang lain, berlawanan dengan harapan naïf dan rasis dari mantan Presiden FIFA Stanley Rous, sepakbola tak bisa dibahas sebagai dirinya sendiri dan tak mungkin dikucilkan dari apa yang terjadi di sekitarnya. Pasar saham di New York, harga tebu di Dominika, penulis yang mati bunuh diri di Rusia, kelaparan di Haiti, hingga pembantaian PKI di Indonesia, semua memiliki keterkaitan dengan sepakbola. Demikian Galeano meyakininya dan meyakinkan saya.

“Militer memandikan Indonesia dalam kubangan darah. Setengah juta, sejuta, atau entah berapa, mati. Jenderal Soeharto meresmikan kediktarotannya yang panjang dengan membunuh orang-orang merah, kemerah-merahan, atau yang dicurigai merah yang masih hidup…” demikian Galeano membuka kalimatnya saat hendak menulis Piala Dunia 1966 Inggris. Indah, bukan?

***

Sembari menunggu Piala Dunia, agar tak terjebak menonton—meminjam istilah seorang teman—berita banjir bandang di Metro TV yang sebenarnya kencing Surya Paloh dan berita Topan di TVOne yang sesungguhnya kentut Bakri, saya bermaksud menerjemahkan beberapa tulisan dari Soccer in Sun yang terkait Piala Dunia untuk Belakang Gawang.

Itu untuk saya.

Untuk Anda? Jika terlalu sibuk membela calon presiden pilihannya atau menyerang calon presiden orang lain, tak apa, lewatkan saja—toh, calon-calon itu tak omong apa-apa tentang sepakbola. Atau, yang tengah khusuk menyambut Nisfu Sa’ban, ini jelas tak terlalu penting. Tapi, yang jelas, Belakang Gawang tak hendak menyabotase pemilu, apalagi membawa insan kepada jalan kesesatan. Jadi, ke TPS-lah, puasalah, dan coba bacalah. Insyaallah Anda akan jadi pemilih saleh yang lebih baik.

(Tapi mohon tak berharap terlalu tinggi—mengingat angka 3 dalam Bahasa Inggris yang saya dapat pada ujian nasional di tiga jenjang pendidikan.)   

***   

Oh ya, ngomong-ngomong, apa kabar dengan tiki-taka?

Sunday, May 11, 2014

Garincha*

Oleh Eduardo Galeano; Alihbahasa Mahfud Ikhwan











Salah seorang abangnya menjulukinya Garincha, nama sejenis burung kecil buruk rupa dan sia-sia. Ketika ia mulai bermain bola, dokter memberi tanda silang untuknya. Mereka meramalkan makhluk tak berbentuk itu, yang lolos dari busung lapar dan polio, pincang dan bodo, dengan otak udang, punggung melengkung seperti huruf S, dan sepasang kaki bengkok ke arah yang sama, tak akan pernah jadi pesepakbola.

Tak ada sayap kanan seperti dia. Pada Piala Dunia ’58, dia yang  terbaik di posisinya. Pada Piala Dunia ’62, dia yang terbaik di kejuaraan. Namun, selama bertahun-tahun keberadaannya di lapangan bola, Garincha lebih dari itu semua: dalam sepanjang sejarah sepakbola, tak ada seorang pun yang membuat penonton bahagia melebihinya.

Saat ia bermain, lapangan diubahnya jadi pasar malam. Bola adalah hewan jinak baginya. Permainan berubah jadi ajang pesta. Seperti bocah yang mempertahankan mainannya, Garincha tak akan melepaskan bola yang dikuasainya. Bola dan dirinya akan menampilkan akobat bangsat yang membuat penonton tertawa tergelak-gelak. Ia melompat di atas bola, bola melenting di atasnya. Bola menghilang, ia melenggang. Ternyata bola mengikuti di belakang. Pada prosesnya, para pemain lawan akan saling bertabrakan, kaki mereka keriting, sebelum limbung karena pusing, kemudian jatuh rubuh. Garincha melakukan trik-trik kurang ajar ini di tepian lapangan, di sekitar sisi kanan, jauh dari lapangan tengah: ia tumbuh di kawasan kumuh pinggiran kota, di mana ia biasa bermain bola. Ia bermain untuk klub bernama Botafogo, yang berarti “tukang sulut”. Dan ia memang tukang sulut yang membuat penontong menggila dengan air api dan semua hal yang menyala. Dialah orangnya yang kabur dari jendela pusat pelatihan karena mendengar, dari gang yang jauh di belakang, panggilan bola yang minta dimainkan, musik yang mengajak menari, dan perempuan yang mau dicumbu.

Seorang jawarakah dia? Pecundang beruntung lebih tepatnya. Dan keberuntungan punya penghabisan. Seperti pepatah Brazil: jika tahi bisa jadi duit, orang miskin akan lahir tanpa burit.

Garincha mati dengan cara seperti yang dikira: mabuk, papa, dan sebatang kara.


*diterjemahkan dari Soccer in Sun and Shadow; trans. Mark Fried; Verso, 2003

Saturday, May 10, 2014

Gol Maradona*


Oleh Eduardo Galeano; Alihbahasa Mahfud Ikhwan


Saat itu 1973. Tim remaja Argentinos Juniors dan River Plate berhadap-hadapan di Buenos Aires.

Nomor 10 dari Argentinos menerima bola dari kipernya, melewati barisan depan River, dan terus melaju. Beberapa pemain mencoba menjegal langkahnya: ia melewatkan bola di bokong orang pertama, di antara kolong kaki pemain kedua, lalu membodohi yang ketiga dengan gerakan tumitnya. Lalu, tanpa berhenti, ia melumpuhkan para bek, melewati kiper yang terjerembab di tanah, dan kemudian menggulirkan bola ke jala. Di lapangan, tujuh bocah termangu dan merana, sementara empat sisanya cuma bisa ternganga.

Tim kanak-kanak itu, Cebollitas namanya, tak terkalahkan dalam 100 pertandingan dan menarik perhatian surat kabar. Salah seorang pemainnya, ‘si Racun’ julukannya, yang berumur tigabelas, sesumbar: “Kami main untuk senang-senang. Kami tak pernah bermain untuk uang. Ketika uang datang, setiap orang bunuh diri untuk jadi bintang. Setelah itu, iri dengki dan mementingkan diri sendiri yang berjingkrang.”

Saat dia mengatakan itu, lengannya melingkari pundak pemain terbaik dan paling dicintai dari semuanya, yang badannya lebih pendek dan wajahnya lebih sumringah: Diego Maradona, bocah berumur duabelas dan baru saja mencetak gol hebat itu.

Maradona punya kebiasaan menjulurkan lidah saat sedang menyerang. Semua gol dicetaknya dengan lidah terjulur. Saat malam ia tidur dengan tangan memeluk bola, saat siang ia tampil ajaib dengan bola tersebut. Ia hidup di rumah reot di sebuah kawasan bobrok. Dan ia ingin menjadi mekanik pabrik.


*diterjemahkan dari Soccer in Sun and Shadow; trans. Mark Fried; Verso, 2003

Friday, May 9, 2014

Moreno*

Oleh Eduardo Galeano; Alihbahasa Mahfud Ikhwan


Mereka menyebutnya “El Charro” sebab wajahnya mirip seorang bintang film Mexico. Tapi dia berasal dari daerah hulu di pinggiran Buenos Aires.

Jose Manuel Moreno, pemain paling populer River Plate era “Mesin”, suka sekali menyaru: kaki perompaknya tampak akan menendang ke satu arah tapi bola menuju ke arah lain, sementara kepalanya yang bajingan menunjukkan hendak menanduk ke arah tiang gawang sini namun bola meluncur ke tiang sana.

Kapan pun lawan menggasaknya, Moreno akan bangun sendiri dan tanpa mengeluh. Dan betapa pun dia kesakitan, dia akan tetap bermain. Dia angkuh, penuh lagak dan petantang-petenteng, yang bisa memukul KO seluruh pendukung lawan. Juga dirinya sendiri. Sebab, meskipun penggemarnya mengelu-elukannya, mereka punya tabiat buruk mencercanya setiap River kalah.

Penyuka musik bermutu, senang berteman, gemar keluyuran malam, Moreno biasa menyambut fajar dalam keadaan awut-awutan. Nyungsep di ketiak seorang perempuan. Atau, tengah ngorok bertopang dagu di meja sebuah kedai minuman.

“Tango,” katanya, “adalah cara terbaik untuk berlatih: kamu merawat ritme, lalu mengubahnya saat melangkah maju, kamu mengenali berbagai sisi, kamu bekerja dengan tangan dan kaki-kakimu.”

Pada Minggu tengah hari bolong, sebelum waktu pertandingan, dia akan mengganyang sebaskom besar ayam rebus dan menenggak tandas berbotol-botol anggur merah. Pihak berwenang di River memerintahkannya untuk menghentikan kebiasaan buruknya itu, yang tak pantas untuk seorang atlet profesional. Dia melakukan sebisanya. Sepanjang pekan dia tidur saat malam dan tidak minum selain susu. Lalu dia memainkan pertandingan terburuk dalam hidupnya. Ketika dia kembali teler, klub menghukumnya. Rekan-rekan setimnya mogok untuk menunjukkan solidaritas atas si urakan bengal ini. River kemudian memainkan sembilan pertandingan dengan pemain cadangan.

Tapi coba dengar: Moreno adalah salah satu pemain dengan karir terpanjang dalam sejarah sepakbola. Dia bermain selama 20 tahun di divisi utama dengan klub-klub Argentina, Mexico, Chile, Uruguay, dan Kolumbia. Pada 1946, saat dia kembali dari Mexico, pendukung River begitu tak sabar melihat tusukan-tusukan dan tipuannya sehingga mereka membanjiri stadion. Lebih banyak lagi pendukung fanatik yang menjebol pagar dan menyerbu lapangan. Ia mencetak tiga gol dan mereka membopongnya di atas pundak. 

Pada 1952, klub Nacional di Montevideo memberinya tawaran menggiurkan. Namun, dia justru memilih bermain untuk klub Uruguay lain, Defensor, klub kecil yang cuma bisa membayar alakadarnya. Alasannya, dia punya beberapa teman di sana. Tahun itu, Moreno menyelamatkan Defensor dari kehancuran.

Pada 1961, setelah pensiun, dia jadi pelatih Medellin di Kolumbia. Medellin tengah kalah dalam sebuah pertandingan melawan Boca Juniors dari Argentina, dan pemain-pemain Medellin sama sekali tak bisa mendekati gawang lawan. Maka Moreno, saat itu berumur 45, melepas baju pelatihnya, masuk lapangan dan mencetak dua gol. Medellin menang.


*diterjemahkan dari Soccer in Sun and Shadow; trans. Mark Fried; Verso, 2003