Sunday, June 1, 2014

Piala Dunia a la Galeano XII: Piala Dunia 1982*

Oleh Eduardo Galeano; Alihbahasa Mahfud Ikhwan

“Mefisto”, karya Istvan Szabo, sebuah masterpiece seni dan pemberontakan, memenangkan Oscar di Hollywood, sementara di Jerman hidup yang merana dari sutradara berbakat Fassbinder berakhir terlalu cepat. Romy Schneider bunuh diri, Sophia Loren dipenjara karena penghindaran pajak. Di Polandia, tokoh serikat buruh Lech Walesa menapaki jalan menuju penjara.

Garcia Marquez menerima Nobel atas nama penyair, pengemis, musisi, nabi, pejuang, dan bajingan di Amerika Latin. Tentara membantai satu desa di El Salvador: tabik atas merajanya senjata, lebih dari tujuhratus petani mati, sebagian besar adalah anak-anak. Di Guatemala, Jenderal Rios Montt merampas kuasa untuk melipatgandakan penjagalan atas orang Indian—ia sesumbar bahwa Tuhan telah menganugerahkan kekuasaan negara kepadanya dan mengumumkan bahwa Roh Kudus akan menuntun para agen rahasianya.

Mesir mendapatkan kembali Semenanjung Sinai, yang dirampas Israel sejak Perang Enam Hari. Jantung buatan yang pertama telah berdetak di dada seseorang. Sumber informasi yang terpercaya di Miami mengumumkan kejatuhan pasti Fidel Castro, hanya tinggal tunggu jamnya saja. Di Italia, Paus selamat dari percobaan pembunuhan yang kedua kalinya. Di Spanyol, sekelompok aparat yang menyerang Kongres secara terorganisir mendapat hukuman tigapuluh tahun penjara, sementara Felipe Gonzalez melancarkan kampanye impresif menuju bangku kepresidenan. Di Barcelona, sementara itu, Piala Dunia keduabelas sedang dilangsungkan.

Duapuluh empat negara ambil bagian, delapan lebih banyak dibanding sebelumnya, namun Benua Amerika tidak memperoleh jatah lebih: ada empatbelas tim dari Benua Eropa, enam dari Benua Amerika, dua dari Afrika, ditambah Kuwait dan Selandia Baru.

Pada hari pertama, juara bertahan Argentina kalah di Barcelona. Beberapa jam kemudian, jauh dari situ, di Kepulauan Falkland, tentara Argentina kalah dalam perang melawan Inggris. Para jenderal pemberani itu, yang selama bertahun-tahun dalam kediktatorannya memenangkan perang melawan bangsanya sendiri, menyerah seperti kambing congek kepada Inggris. Gambar itu disiarkan di televisi: laksamana laut Alfredo Astiz, pelanggar segala jenis HAM, menundukkan wajah sembari menandatangi penyerahan yang memalukan di Kepulauan Georgia Selatan.

Pada hari berikutnya, televisi menayangkan gambar Piala Dunia ’82: jubah menggelembung Sheikh Fahid al-Ahmad al-Sabah, yang lari masuk ke lapangan memprotes sebuah gol dari Perancis ke gawang Kuwait; gol pemain Inggris Bryan Robson setelah setengah menit, gol tercepat dalam sejarah Piala Dunia**; ketakacuhan kiper Jerman Schumacher setelah ia menggasak striker Prancis Battiston dengan lututnya. (Sebelum jadi kiper, Schumacher adalah seorang pandai besi.)

Tim-tim Eropa memenangkan tempat-tempat teratas di turnamen, meskipun Brazil memainkan sepakbola terbaik melalui kaki Zico, Falcao, dan Socrates. Tim Brazil sial, namun mereka membuat penonton terkagum-kagum. Zico, yang baru saja memenangkan gelar sebagai pemain terbaik di Amerika Selatan, memantapkan sekali lagi “Zicomania” di bangku penonton.

Piala jatuh kepada Italia. Tim Italia mengawali dengan buruk, tersuruk dari satu hasil imbang ke hasil imbang lainnya, namun pada akhirnya melesat tinggal landas, berkat kepaduan yang menyeluruh dan jitunya bidikan mesin golnya, Paolo Rossi. Di final melawan Jerman, Italia menang 3-1.

Polandia, di bawah iringan musik indah Boniek, merebut tempat ketiga. Tempat keempat jatuh pada Prancis, yang seharunya berhak mendapat tempat lebih baik berkat gabungan keefektifan Eropa dan kegembiraan Afrika yang menciptakan lapangan tengah yang patut dikenang.

Rossi dari Italia memimpin daftar pencetak gol terbanyak, diikuti pemain Jerman Rummenigge, yang mencetak lima gol dan menjadi kompor bagi timnya.


*diterjemahkan dari Soccer in Sun and Shadow; trans. Mark Fried; Verso, 2003.
**sebelum dipecahkan oleh Hakan Sukur dari Turki pada Piala Dunia 2002.

No comments:

Post a Comment