Monday, June 9, 2014

Kerajaan Sihir*

Oleh Eduardo Galeano; Alihbahasa Mahfud Ikhwan
Catatan
Tulisan Eduardo Galeano tentang Piala Dunia dalam Soccer in Sun dan Shadowpada edisi 2003 hanya sampai Piala Dunia 2002. Oleh karena itu, untuk Piala Dunia 2006 dan 2010, saya terjemahkan tulisan Galeano yang ada di situs The Progressive, edisi 13 Juli 2006 dan New Internationalist, edisi 11 Agustus 2010. Saya tidak tahu apakah kedua tulisan itu ditulis langsung dalam bahasa Inggris, atau hasil terjemahan dari bahasa Spanyol, sebab tak ada keterangan tambahan. -- mahfud ikhwan --



Pacho Maturana, pria Kolumbia yang telah mengecap asam-garam di belantara sepakbola, menyatakan bahwa sepakbola adalah kerajaan sihir, yang mana segalanya bisa saja terjadi. Dan Piala Dunia kali ini membenarkan perkataannya: ini adalah Piala Dunia yang tak biasa.
Sepuluh stadion yang jadi tempat Piala Dunia dimainkan adalah stadion-stadion tak biasa, indah, megah, dan mahal. Siapa yang tahu bagaimana Afrika Selatan akan mampu menjaga beton-beton raksasa itu beroperasi? Berjuta-juta dolar yang dihamburkan mudah dijelaskan, namun sulit untuk membenarkannya di salah satu negara paling timpang di dunia itu.
Bola 'Jabulani' dari Adidas tidak biasa, licin dan setengah gila, suka lepas kalau dipegang dan tak menurut kalau ditendang. Bola itu diperkenalkan meskipun kenyataannya para pemain sama sekali tak menyukainya. Namun, dari kastil mereka di Zurich, para penguasa sepakbola telah bertitah, dan bukannya hendak musyawarah. Itulah cara mereka.
Juga tak biasa karena pada akhirnya para birokrat pemegang kuasa di FIFA mengakui, setelah bertahun-tahun, harus ditemukan satu cara membantu wasit dalam memutuskan permainan. Tak banyak-banyak, cuma satu hal saja. Dan inilah waktunya. Bahkan petugas sukarelawan tuli ini harus bisa mendengar kegaduhan yang terdengar dari kesalahan wasit tertentu, yang telah mencapai tingkat mengerikan di pertandingan final. Kenapa kita harus melihat di televisi apa yang tidak bisa dilihat atau tak mungkin terlihat oleh wasit? Akal sehat berteriak: hampir semua olahraga yang lain, macam bolabasket, tenis, baseball,  bahkan anggar dan balap mobil, biasa pakai teknologi untuk menuntaskan keraguan. Sepakbola tidak. Para wasit punya hak untuk berkonsultasi dengan  temuan kuno yang disebut "jam" untuk mengukur lamanya pertandingan dan waktu tambahan, namun lebih dari itu tidak. Dan justifikasi yang memberi pijakan kebijakan ini sangat konyol kalau bukan sangat mencurigakan: eror adalah bagian dari permainan, kata mereka, membuat kita bengong saat mereka mendapati bahwa khilaf itu manusiawi.
Juga tak biasa bahwa di babak lanjutan di Piala Dunia di Afrika yang pertama dalam sejarah ini tak ada negara Afrika, termasuk tuan rumah, bisa melaju. Cuma Ghana yang bisa bertahan sampai mereka kemudian kalah oleh Uruguay di pertandingan paling hidup di sepanjang turnamen.
Pun tak biasa bahwa kebanyakan tim-tim Afrika masih mempertahankan kegesitannya namun kehilangan kebaharuan dan keberaniannya. Banyak lari, namun sedikit menari. Beberapa kalangan percaya bahwa para pelatih tim-tim itu, hampir semuanya orang Eropa, punya andil pada hambarnya permainan mereka. Jika ini masalahnya, mereka tidak memberi sumbangan pada permainan yang menjanjikan limpahan kebahagiaan dan sukaria. Afrika mengorbankan keunggulannya demi efesiensi, namun nyata benar kalau mereka tak memiliki efesiensi.
Tak biasa juga bahwa beberapa pemain Afrika tertentu mampu tampil menonjol, namun di tim-tim Eropa. Saat Ghana melawan Jerman, Boateng bersaudara saling berhadap-hadapan. Satu dalam seragam Ghana, satunya lagi dengan baju Jerman. Tentang para pemain Ghana, tak satu pun dari mereka di kejuaraan lokal Ghana. Namun semua pemain di tim Jerman bermain di kompetisi Jerman. Seperti Amerika Latin, Afrika mengekspor buruh tangan--dan kaki.
Penyelamatan terbaik di kejuaraan ini pun tak biasa. Penyelamatan itu tak dilakukan oleh penjaga gawang, namun oleh seorang penyerang. Menggunakan kedua tangannya, persis di garis gawang, pemain Uruguay Luis Suarez menghentikan bola yang akan menyingkirkan timnya dari turnamen. Berkat aksi patriotik gila-gilaannya, ia terusir tapi tidak dengan timnya.
Perjalanan Uruguay pun tak biasa, dari titik rendah hingga titik tertingginya. Negara kami, yang masuk kualifikasi Piala Dunia paling akhir, dan nyaris tidak lolos ke babak berikutnya setelah mendapat grup yang sulit, bermain dengan penuh kebanggaan, pantang mundur, dan berakhir sebagai salah satu tim terbaik. Beberapa ahli jantung memperingatkan kami, di koran, bahwa kebahagiaan yang berlebihan bisa berbahaya bagi kesehatan kami. Banyak orang Uruguay, yang nampaknya ditakdirkan untuk mati bosan, merayakan risiko ini, dan jalan-jalan di seluruh negeri membara dalam pesta raksasa.
(Tim) kami mendarat di urutan keempat, hasil yang tidak terlalu buruk bagi satu-satunya negara yang berhasil mencegah Piala Dunia menjadi sekadar Piala Eropa. Dan tak kebetulan apabila Diego Forlan terpilih menjadi pemain terbaik kejuaraan.
Tidak biasa bagi juara dan runner-up Piala Dunia sebelumnya kembali pulang sebelum sempat membuka kopernya.
Pada 2006, Italia dan Prancis bertemu di pertandingan final. Kali ini keduanya bertemu di pintu keluar bandara. Di Italia meletup kritik terhadap permainan sepakbola yang inginnya sebisa mungkin mencegah lawan ikut bermain. Di Prancis, bencana memantik krisis politik dan menyulut amarah rasial sebab hampir semua pemain yang menyanyikan Marseillaise di Afrika Selatan berkulit hitam.
Favorit lainnya, seperti Inggris, tidak bertahan lama juga. Brazil dan Argentina dipermalukan secara kasar. Setengah abad lalu, timnas Argentina dihujani uang recehan saat pulang dari Piala Dunia yang penuh prahara, namun kali ini disambut oleh kerumunan penggemar yang percaya pada hal-hal yang lebih penting dibanding keberhasilan atau kegagalan.
Tak biasa juga bahwa superstar-superstar yang paling terkenal dan ditunggu-tunggu tidak bersinar di kesempatan itu. Lionel Messi ingin berada di sana, melakukan apa yang ia bisa, dan ia sedikit kelihatan. Dan mereka bilang bahwa Cristiano Ronaldo ada di sana, namun tak seorang pun melihatnya: mungkin dia terlalu sibuk melihat dirinya sendiri.
Pun tak biasa bahwa bintang baru tak disangka-sangka justru muncul melata dari dasar samudera dan mencapai puncak tertinggi langit sepakbola: seekor gurita yang hidup di sebuah aquarium di Jerman yang pandai meramal. Namanya Paul, namun boleh juga dinamai Octodamus. Sebelum tiap pertandingan Piala Dunia dimulai, ia diberi pilihan dua remis yang masing-masing ditandai dengan bendera tim-tim yang bertanding. Ia selalu memakan remis yang ditandai bendera tim yang menang dan ia tak pernah salah.
Peramal berkaki delapan memiliki efek menentukan di dunia taruhan dan dianut di seluruh dunia dengan ketakziman agamawi, dicinta dan dibenci, dan bahkan difitnah dengan segumpal rasa dongkol, seperti saya, yang berpurbasangka, tanpa bukti, kalau dia sudah diajari.
Tidak biasa bahwa di ujung kompetisi, keadilan ditegakkan, yang tak sering terjadi baik di sepakbola maupun di kehidupan nyata.
Untuk pertama kali, Spanyol juara Piala Dunia.
Juara yang sudah ditunggu hampir seabad lamanya.
Si gurita telah mengumumkan hal itu dan Spanyol melakukannya dengan cara seperti yang saya sangka: Mereka menang dengan bersih, jadi tim terbaik di turnamen, hasil dari kerja keras dan solidaritas di atas lapangan, satu untuk semua semua untuk satu, dan berkat kemampuan mencengangkan penyihir kecil bernama Andres Iniesta.
Si gurita menunjukkan bahwa pada satu masa, dalam kerajaan dongeng sepakbola, ada keadilan.
Saat Piala Dunia dimulai, saya tempel pada pintu rumah saya sebuah kartu yang bertuliskan: Tertutup untuk Sepakbola. Saat kartu itu saya robek sebulan kemudian, saya telah menonton 64 pertandingan, dengan bir di tangan, tanpa pernah bergerak dari kursi kesayangan.
Capaian ini membuat tubuh saya remuk, otot pegal-pegal, tenggorokan serak, namun saya sudah bernostalgia.
Saya sudah mulai merindukan litani vuvuzela yang tak tertahankan itu, emosi dari gol-gol yang diperingatkan oleh para ahli jantung, keindahan dari permainan terbaik yang diputar ulang dalam gerak lamban. Dan perayaan, dan kesedihan, sebab kali ini sepakbola adalah kebahagian yang melukakan, dan musik yang dimainkan untuk merayakan kejayaan yang membuat tarian kematian terdengar sangat mirip dengan tempik-sorak keheningan stadion yang kosong, di mana malam turun, dan seseorang yang kalah tetap duduk, tak sanggup untuk bergerak, sendirian di tengah samudera luas jejak-jejak.


*diterjemahkan dari "The Realm of Magic", New Internationalist, 11 Agustus 2010.

No comments:

Post a Comment