Sunday, May 18, 2014

Piala Dunia a la Galeano III: Piala Dunia 1938*

Oleh Eduardo Galeano; Alihbahasa Mahfud Ikhwan



Max Theiler tengah menemukan sebuah vaksin untuk demam kuning; foto berwarna baru saja muncul; Walt Disney sedang meluncurkan “Snow White”; dan Eisenstein tengah memfilmkan “Alexander Nevski”. Nilon, yang belum lama berselang ditemukan oleh seorang profesor Harvard, tengah diubah jadi parasut dan kaos kaki perempuan.

Dua penyair Argentina, Anfonsina Storni dan Leopoldo Lugones, membunuh dirinya sendiri. Lazaro Cardenas menasionalisasi minyak Mexico dan menantang blokade dan aneka ragam kegeraman Barat. Sementara Orson Welles sedang menayangkan infasi penduduk Mars kepada Amerika Serikat untuk menakut-nakuti mereka yang jerih, Standard Oil minta infasi sungguhan atas Mexico untuk menghukum jalan sesat Cardenas dan mengakhiri tabiat buruknya.

Di Italia, Manifesto on the Race sedang ditulis dan penyerangan kepada Yahudi tengah meningkat. Jerman mencaplok Austria; Hitler memburu Yahudi dan mengangkangi teritori. Pemerintah Inggris memerintahkan warganya menimbun makanan dan mengajari mereka mempertahankan diri dari serangan gas beracun. Franco sedang mengurung benteng terangkhir Republik Spanyol dan telah memperoleh pengakuan dari Vatikan. Cesar Vallejo sedang sekarat di Paris, boleh jadi saat hujan deras, sementara Sartre menerbitkan Nausea. Dan di sana, di Paris, di bawah bayang-bayang hitam akan pecahnya perang, di mana ‘Guernica”-nya Picasso tengah dipamerkan untuk mencela masa yang bobrok itu, Piala Dunia ke-3 tengah berlangsung. Di Stadion Colombes, Presiden Prancis Albert Lebrun melakukan tendangan pembuka. Ia mau menendang bola, tapi kakinya mencangkul tanah.

Seperti Piala Dunia sebelumnya, ini adalah sebentuk kejuaraan Eropa. Cuma dua negara Amerika Selatan yang bergabung dengan sebelas negara Eropa. Sebuah tim dari Indonesia, saat itu masih disebut Hindia Belanda, datang ke Paris sebagai satu-satunya wakil dari sisa dunia.

Kubu Jerman diperkuat oleh lima pemain yang diambil dari Austria yang baru saja dirayah. Penguatan ini, ditambah dengan tanda swastika di dada dan segala simbol kekuatan Nazi di genggaman, tim Jerman datang dengan keperkasaan, juga klaim tak terkalahkan; mereka ternyata cuma setor muka dan bertekuk lutut dengan Swiss yang semenjana. Kekalahan Jerman terjadi hanya beberapa hari sebelum keunggulan ras Arya kembali terjerembab oleh pukulan keras lain di New York, saat petinju kulit hitam Joe Louis meluluh-lantakkan juara Jerman Max Schmeling.

Italia, di sisi lain, menapaki pengulangan Piala Dunia sebelumnya. Di semifinal, Azzurri mengalahkan Brazil. Sebuah penalti patut dipertanyakan, tapi Brazil memprotesnya dengan sia-sia. Seperti Piala Dunia ’34, semua wasit adalah orang Eropa.

Lalu sampailah final: Italia lawan Hungaria. Untuk Musollini, kemenangan adalah persoalan negara. Pada malam sebelum pertandingan, para pemain Italia memperoleh telegram tiga kata dari Roma, yang ditandatangani sang pemimpin fasis: “Menang atau Mati.” Mereka tidak jadi mati karena Italia menang 4-2. Hari berikutnya, para jawara itu memakai seragam militer menuju upacara penutupan, yang dipimpin oleh Il Duce.

La Gazetta dello Sport sesumbar “ejawantah paling sempurna tentang olahraga kaum fasis telah disimbolkan oleh kejayaan ras ini.” Tidak lama sebelumnya, koran resmi merayakan kemenangan Italia atas Brazil dengan kalimat berikut: “Kami ucapkan tabik atas kemenangan intelejensia Italia atas otot kasar para Negro.”

Namun yang memilih para pemain terbaik turnamen adalah koran internasional, dan di antara para pemain itu terdapat dua orang Brazil hitam, Leonidas dan Domingos da Guia. Dengan delapan gol Leonidas juga jadi pencetak gol terbanyak, diikuti oleh si Hungaria Zsengeller dengan tujuh gol. Gol paling indah dicetak oleh Leonidas saat melawan Polandia. Bermain ketika hujan deras, ia kehilangan sepatunya yang menancap di lumpur di area penalti dan mencetak gol dengan kaki telanjang.


*diterjemahkan dari Soccer in Sun and Shadow; trans. Mark Fried; Verso, 2003. 

No comments:

Post a Comment