Monday, September 24, 2012

Si Kiper

Oleh Eduardo Galeano

Orang-orang menyebutnya pengawas mistar, penjaga gawang, atau penunggu sarang, tetapi dia lebih mudah disebut sebagai martir, kambing hitam, penentu kekalahan, atau pembayar kesalahan. Orang-orang mengatakan, dimana ia berdiri, rumput tak bisa tumbuh.

Ia berdiri sendirian, terpaksa menyaksikan permainan dari ujung lapangan. Tanpa pernah meninggalkan kotak penalti, Ia berteman hanya dengan tonggak gawang. Dan Ia menghadapi berondongan eksekusi tembakan lawan, sendirian. Lazimnya, kaus lengan panjangnya berwarna hitam seperti pengadil pertandingan. Namun, dimasa para wasit tak lagi seperti burung gagak, si Kiper menghibur kesunyiannya dengan fantasi berwarna-warni.

Penungggu gawang tidak mencetak gol. Ia bertugas untuk sebuah ironi perayaan sepakbola: seorang striker menyalakan sinar kecemerlangan sepakbola, si Kiper, dengan handuk basah yang ia taruh di disela-sela sarang, sekuat tenaga memadamkan pijarnya.

Dia mengenakan seragam nomor satu dipunggung. Lantas, apakah Ia orang pertama yang menerima bayaran? Bukan, justru Ia adalah orang pertama yang harus membayar semua. Kesalahan selalu ditimpakan padanya. Bahkan ketika ia tidak melakukan kecerobohan, tetap saja akan mendapat cacian. Ketika pemain lain melakukan pelanggaran, dia satu-satunya orang yang mendapat hukuman: teman-temannya akan meninggalkannya duduk menutup muka di bawah jaring yang lengang, meninggalkan jasad yang habis dieksekusi, teronggok sendirian. Dan ketika timnya mendapat sore yang sial, Ia orang pertama yang membayar tagihan, menebus dosa teman setimnya dengan menerima hujan tembakan.

Pemain lain dapat saja melakukan kesalahan fatal, suatu kali. Tetapi kemudian, mereka dapat menebus kesalahan dengan melewati lawan secara brilian, memberi umpan terobosan menggiurkan, atau tendangan voli mematikan. Tapi itu bukanlah jatahnya. Kerumunan penonton tak akan pernah memaafkan hari buruk si penunggu sarang yang lagi terpuruk.

Adakah gambaran itu berlebihan? Apakah Ia membiarkan dirinya dikambinghitamkan? Adakah bola meluncur dengan sendirinya? Apakah jemari kokohnya berubah menjadi selembut sutra? Dengan sebuah blunder, si kiper dapat mengacaukan pertandingan. Atau ketika kesempatan juara menghilang, para fans seketika lupa segala kehebatan dan mengutuknya atas sebuah kesalahan tak termaafkan. Lalu, sumpah serapah akan menyertai hingga akhir hayatnya.

Friday, September 21, 2012

Si Pemain

Oleh Eduardo Galeano

Terengah-engah, Ia menyisir sisi lapangan. Sebuah sisi menanti surga kemenangan; sisi lain menunggu kehancuran yang meremukkan.

Ia menjadi bahan pergunjingan tetangga: atlet profesional yang berhasil melarikan diri dari pabrik kusam atau kantor membosankan, dan ia mendapat bayaran dari bersenang-senang. Ia telah memenangkan lotre. Dan bahkan ketika Ia harus mengucurkan seember keringat, tanpa hak untuk letih dan bersedih, Ia bisa masuk surat kabar dan televisi. Namanya berdengung di radio. Para perempuan berteriak ke arahnya, dan anak-anak membual agar bisa seperti dirinya. Ia tak lagi mengolah si kulit bundar untuk secercah kenikmatan di jalanan becek di pemukiman kumuh, namun untuk sebuah kewajiban di stadion, dimana Ia tak memiliki pilihan lain kecuali untuk menang dan menang.

Para pebisnis membeli, menjual, dan meminjamkannya; dan Ia membiarkan semua terjadi dengan harapan mendapat ganjaran popularitas dan sekantung uang. Semakin ia sukses dan mendapat kibasan uang, semakin ia menjadi seorang tawanan. Dipaksa untuk hidup dengan disiplin militer, Ia menahan derita-hukuman latihan sepanjang hari dan gelontoran pembunuh rasa sakit serta kortison untuk meredakan cedera dan ketakberdayaan tubuhnya. Dan menjelang pertandingan besar, mereka menguncinya di kamp konsentrasi, dimana dia dipaksa menjadi buruh, menyantap makanan tak berasa, minum air putih belaka, dan tidur di kamar sendirian.

Dalam kisah perdagangan manusia, harga menurun seiring menuanya usia, namun seorang pemain sepakbola sudah dianggap kapiran di usia tigapuluhan. Otot-otot letih lebih awal:

“Pemain itu tidak bisa mencetak gol bila lapangan sedikit bergelombang.”

‘Dia? Tidak akan bisa bahkan jika mereka mengikat kipernya.”

Atau semuanya terjadi sebelumnya: jika setiap bola yang menghampirinya datang membawa sial, atau ketidakberuntungan mencabik ototnya, atau sebuah tendangan meremukkan tulangnya sehingga kakinya tak bisa diperbaiki lagi. Di sebuah hari yang muram, si pemain mendapati dirinya kalah taruhan melawan kehidupan saat dadu pertama digelindingkan. Uangnya lenyap dan keterkenalannya menguap. Ah, keterkenalan, si gadis fana itu, tak pernah meninggalkan sebuah surat cinta untuknya.

Thursday, September 20, 2012

Sepakbola

Oleh Eduardo Galeano

Sejarah sepakbola adalah sebuah perjalanan menyedihkan tentang keindahan yang berubah menjadi tugas yang menjemukan. Saat olahraga menjadi industri, keindahan yang mekar dari kegembiraan bermain-main dicampakkan dari akarnya yang terdalam: permainan. Di era ini, pesepakbola profesional beranggapan bahwa semua yang bermain-main tak ada gunanya, dan tak berguna berarti tak menghasilkan keuntungan. Tak seorang pun akan mendapatkan uang dari perasaan hebat ini: sebuah momen yang mengubah laki-laki dewasa menjadi anak kecil yang asyik dengan balonnya, seperti seekor kucing dengan bola karetnya; seperti seorang penari balet dengan bola kristal-bercahaya atau gulungan pitanya. Seseorang yang bermain bahkan tanpa sadar ia sedang bermain-main, tanpa tujuan, tanpa batas waktu, tanpa lapangan bergaris tepi, tanpa wasit meniup peluit.

Permainan telah menjadi tontonan, dengan sekelompok pahlawan dan ribuan penonton: sepakbola untuk siaran. Dan tontotan menjadi salah satu bisnis yang paling menjanjikan di dunia, digerakkan tidak untuk menghadirkan permainan, tetapi bahkan untuk merusaknya. Teknokrasi olahraga profesional dikelola untuk menghadirkan kilatan kecepatan dan brutalitas kekuatan. Dan bisnis siaran menghadirkan jenis sepakbola yang membenci kegembiraan, membunuh fantasi, dan menghancurkan nyali.

Untunglah, di tengah lapangan, kau masih dapat menyaksikan, meskipun hanya sekali untuk waktu yang panjang, sedikit berandal kurang ajar yang melesat diluar skenario dan berlari sambil menggiring bola, melewati seluruh lawan, wasit dan meninggalkan kerumunan yang berdiri dibelakangnya. Semua itu untuk kenikmatan ragawi bermesraan dengan sebuah penjelajahan terlarang menuju kebebasan.