Saturday, June 30, 2012

Jerman yang Kembali Gagal, Jerman yang Gagal Kembali


Oleh Mahfud Ikhwan

“Menyaksikan tim ini bermain memang menyenangkan, tapi agar dianggap hebat, mereka mesti merebut gelar,” begitu pujian sekaligus peringatan dari legenda timnas Jerman, Gunter Netzer, di Four-Four Two edisi Piala Eropa.

Kalimat Netzer (orang yang pernah membuat pelatih timnas Jerman lain, Rudi Voeller, murka di depan kamera televisi), juga sebagian besar pendukung Jerman tentunya, jelas didengar oleh Joachim Low. Di balik pembawaannya yang tenang dan setelan pakaiannya yang selalu rapi, Joachim Low rupanya menyimpan kegelisahan. Ia tampaknya tak ingin hanya membuat senang penonton sepakbola. Ia ingin timnya menjadi bagian dari sejarah sepakbola Jerman yang hebat.

Wednesday, June 27, 2012

Sayang Sekali Jerman Ini, Jerman Lama! Bukan Jerman Dua Tahun Lalu

Oleh Darmanto Simaepa

Sejarah turnamen sepakbola (khususnya piala Eropa dan piala Dunia) memberi alasan bagi saya untuk membenci Jerman. Tidak peduli mereka pernah menghasilkan Beckenbauer, Gerd Mueller atau Sammer. Dengan tim yang komposisinya ditertawakan pelatihnya sendiri (Mexiko 1986) atau ketika pasar taruhan melupakannya (Swiss 2008, Spanyol 1982), dengan libero elegan (1970, 1974) atau gelandang yang hanya berlari sepanjang 14 kilometer untuk mengejar bola (Italia 1990, Inggris 1966), Jerman adalah tim yang paling sukses dalam turnamen.

Wednesday, June 13, 2012

Sayap Kanan Belanda

Oleh Darmanto Simaepa

Sembilan puluh hari sebelum pertandingan pertama tim Oranje di piala Eropa, kabinet pemerintahan Belanda yang dipimpin perdana menteri Mark Rutte dari partai Liberal (VVD) diumumkan jatuh di Den Haag. Partij voor de Vrijheid (PVV), partai sayap kanan pimpinan Geerts Wilders menolak paket penghematan anggaran. PVV, partai anti-imigran dan anti-Islam tersebut menggagalkan perundingan cara mengatasi defisit keuangan akibat krisis ekonomi yang melanda Eropa. Mark Rutte, yang marah dengan kompatriotnya, menuduh PVV tidak berkomitmen atas kesepakatan taktik dan strategi memulihkan Belanda dari masalah. Wakil Perdana Menteri Maxime Verhagen dari Partai Kristen Demokrat (CDA) menyebut, partai sayap kanan terlalu mementingkan dirinya sendiri sehingga menyebabkan kerawanan politik Belanda.

Sembilan puluh hari setelah kejatuhan koalisi kabinet dan Ratu Belanda mengumumkan pemilu, tim Oranje yang dipimpin oleh Mark van Bommel tersungkur pada pertandingan pertama melawan Denmark di Kharkiv. Semua pemain Belanda berusaha mencetak gol untuk dirinya sendiri dan tidak mencerminkan tim sepakbola sebagai sebuah unit kolektif. Arjen Robben, yang bermain di sayap kanan, bermain dengan canggung dan tidak tahu kapan membuat keputusan untuk mengambil keuntungan untuk dirinya sendiri dan mengumpan ke kawan-kawannya. van Marwijk, yang sangat marah, dilaporkan tidak berbicara dengan beberapa pemainnya, sementara, Huntelaar yang dicadangkan, ngambek dan meninggalkan ruang ganti sehingga semakin memperburuk suasana. Sementara Sneijder, yang cukup terpukul dengan kekalahan itu, menyatakan kepada media, ada sebagian pemain Belanda yang memiliki ego sangat besar sehingga menjadikan posisi Belanda rawan tersingkir dari piala Eropa.

Thursday, June 7, 2012

Antara Krisis dan Harapan: Geo-Politik Piala Eropa

Oleh Darmanto Simaepa

Aspek politik piala Eropa kali ini paling baik digambarkan oleh posisi dan kesiapan Jerman dan Yunani. Tentu saja, gambaran itu tidak berhubungan langsung dengan pertandingan di atas lapangan. Kedua negara itu tidak memiliki sejarah rivalitas yang kuat. Pertandingan diantara keduanya nyaris selalu dingin dan sesejuk cuaca kota Wroclaw, kota budaya Polandia yang menjadi pangkalan tim Yunani. Lagi pula, meskipun undian memungkinkan mereka bertemu di perempat final, melihat cara bermain Yunani di babak kualifikasi, keajaiban untuk mereka, meski tetap harus ada, ibarat berharap melihat komet Halley setahun sekali.

Saturday, June 2, 2012

Catatan dari Atas Truk: dari Desa Saya Sampai Italia


Oleh Mahfud Ikhwan


Truk dengan Tujuan Masa Lalu

Sejak jauh hari, saya dipesan teman-teman untuk tak cepat-cepat balik ke Jogja. Tahun-tahun belakangan ini, mereka punya kebiasaan baru: nonton pertandingan kandang Persela. Mereka ingin saya ikut serta—sebab mereka tahu, saya belum pernah melihat secara langsung permainan tim kebanggaan mereka itu. Saya menyanggupi—dengan senang hati. Maka, tibalah tanggal 31 Mei. Persela menghadapi Deltras Sidoarjo.