Oleh Darmanto Simaepa
Saya pernah mendengar sebuah aksioma tentang hubungan antara kalangan ‘cendekiawan’ dan sepakbola di Indonesia. Aksiomanya kira-kira begini: orang yang suka membaca buku, tidak menyukai sepakbola, dan sebaliknya orang yang senang sepakbola, tidak suka membaca buku. Bertahun-tahun saya meyakini hal tersebut—kecuali untuk diri saya sendiri. Fakta bahwa hanya ada satu artikel serius di jurnal internasional tentang sepakbola Indonesia, seakan-akan menggambarkan kebenaran aksioma itu. Juga hanya sedikit sarjana Indonesia yang meluangkan waktu dengan teliti untuk menyigi aspek sosial, ekonomi dan politiknya sepakbola Indonesia memperkuat rumusan tentang ketidakakuran sepakbola dan kegiatan akademik.
Namun sepertinya, pengalaman selama tiga bulan di Leiden sedikit menumpulkan ketajaman aksioma itu. Rumus itu lebih menyerupai sebentuk ungkapan frustasi dari pada realitas sehari-hari. Paling tidak, dinamika hubungan antara mahasiswa, buku dan sepakbola lebih berwarna dari yang kita kira. Juga barangkali hubungan ketiga kata-kata itu menyimpan kebenaran akan istilah klise namun nyata: kehangatan Indonesia dan persaudaraan erat di perantauan.
Inilah kisahnya...
Monday, April 30, 2012
Monday, April 23, 2012
Messi Yang Biasa Saja
Oleh Darmanto Simaepa
Gol Drogba ke gawang Barca membuktikan ucapan Peter Cech sehari sebelumnya.’Messi juga manusia,’ ujar kiper Ceko itu. Yang membuktikan kata-kata Cech bukannya karena Messi gagal bersinar, tidak mampu melewati lawan, atau memberi umpan brilian. Messi tetap menjadi orang paling berpengaruh di lapangan—seperti yang ia lakukan di setiap pekan.
Gol Drogba ke gawang Barca membuktikan ucapan Peter Cech sehari sebelumnya.’Messi juga manusia,’ ujar kiper Ceko itu. Yang membuktikan kata-kata Cech bukannya karena Messi gagal bersinar, tidak mampu melewati lawan, atau memberi umpan brilian. Messi tetap menjadi orang paling berpengaruh di lapangan—seperti yang ia lakukan di setiap pekan.
Sunday, April 15, 2012
Sepakbola Wanita (di) Eropa
Oleh Darmanto Simaepa
Saat cuaca Leiden menghangat di akhir Maret, sepulang dari kuliah atau perpustakaan, saya menikmati sejenak gadis-gadis kecil berambut pirang bermain bola dengan teman laki-lakinya di jalanan dekat kos kos-an. Di akhir pekan, gadis-gadis kecil yang berbeda bermain di taman Hoffland sambil menikmati matahari musim semi—juga dengan sekumpulan bocah laki-laki. Mereka mungkin masih tidur dengan barbie atau belajar mengusap lipstik sendiri, tapi sepertinya tidak dilarang menendang si kulit bundar karena jenis kelaminnya. Di benua di mana seksisme berusaha dikikis habis, sepakbola menjanjikan buat perempuan dan terlihat demokratis.
Saat cuaca Leiden menghangat di akhir Maret, sepulang dari kuliah atau perpustakaan, saya menikmati sejenak gadis-gadis kecil berambut pirang bermain bola dengan teman laki-lakinya di jalanan dekat kos kos-an. Di akhir pekan, gadis-gadis kecil yang berbeda bermain di taman Hoffland sambil menikmati matahari musim semi—juga dengan sekumpulan bocah laki-laki. Mereka mungkin masih tidur dengan barbie atau belajar mengusap lipstik sendiri, tapi sepertinya tidak dilarang menendang si kulit bundar karena jenis kelaminnya. Di benua di mana seksisme berusaha dikikis habis, sepakbola menjanjikan buat perempuan dan terlihat demokratis.
Monday, April 2, 2012
Rasisme Sepakbola Kita
Oleh Darmanto Simaepa
Apa yang ada dalam gagasan penonton sepakbola mengenai rasisme mungkin adalah ucapan Luis Suarez terhadap Patrice Evra, lemparan kulit pisang penonton Osasuna kepada Carlos Kameni, atau tiruan suara monyet saat Samuel Etoo melakukan selebrasi. Dalam konteks Indonesia, rasisme yang setengah disadari dan setengah dikagumi ini, selalu saya dengar dan saksikan dari teriakan suporter Semen Padang (SP) di Stadion Agus Salim. Terutama di tribun timur, pendukung SP akan berteriak ‘Papua itam (hitam]’ kepada pemain Persipura (meski Elie Aiboy dari Papua dan Edu Wilson berkulit gelap adalah pemain kesayangan mereka). Jika klub dari Jawa yang bermain, selain umpatan 'Pantek Ang Wasit', koor ‘baruak [monyet]Jawa’ pasti akan ditujukan kepada pemain yang bersiap menendang bola.
Apa yang ada dalam gagasan penonton sepakbola mengenai rasisme mungkin adalah ucapan Luis Suarez terhadap Patrice Evra, lemparan kulit pisang penonton Osasuna kepada Carlos Kameni, atau tiruan suara monyet saat Samuel Etoo melakukan selebrasi. Dalam konteks Indonesia, rasisme yang setengah disadari dan setengah dikagumi ini, selalu saya dengar dan saksikan dari teriakan suporter Semen Padang (SP) di Stadion Agus Salim. Terutama di tribun timur, pendukung SP akan berteriak ‘Papua itam (hitam]’ kepada pemain Persipura (meski Elie Aiboy dari Papua dan Edu Wilson berkulit gelap adalah pemain kesayangan mereka). Jika klub dari Jawa yang bermain, selain umpatan 'Pantek Ang Wasit', koor ‘baruak [monyet]Jawa’ pasti akan ditujukan kepada pemain yang bersiap menendang bola.
Fandi Ahmad : Kisah si Anak Emas
Oleh Nurcholis Kartiman
------
Judul: The Fandi Ahmad Story,
Penulis: Wilfred Yeo.
Tahun: 1993
Penerbit: Brit Aspen Pub, Singapore.
-----
Tahun 1996 Fandi Ahmad bertemu kembali dengan kawan lamanya, Malena Maroof, dan memintanya menjadi manajernya. Buku berjudul The Fandy Ahmad Story merupakan salah satu hasil awal dari kerjasama itu. Wilfred Yeo, seorang wartawan yang mewawancarai fandi ketika masih belia kemudian ditunjuk menjadi penulisnya.
------
Judul: The Fandi Ahmad Story,
Penulis: Wilfred Yeo.
Tahun: 1993
Penerbit: Brit Aspen Pub, Singapore.
-----
Tahun 1996 Fandi Ahmad bertemu kembali dengan kawan lamanya, Malena Maroof, dan memintanya menjadi manajernya. Buku berjudul The Fandy Ahmad Story merupakan salah satu hasil awal dari kerjasama itu. Wilfred Yeo, seorang wartawan yang mewawancarai fandi ketika masih belia kemudian ditunjuk menjadi penulisnya.
Subscribe to:
Posts (Atom)