Tuesday, November 29, 2011

Sepatu Bot dan Cawat di Lapangan Bola (3)

Oleh Darmanto Simaepa

Cerita bola yang ketiga terkait dengan kabit. Kabit adalah sejenis cawat yang dipakai oleh orang Mentawai. Terbuat dari kulit pohon baiko (Artocarpus caryophylla) yang telah diolah dengan cara dipukul-pukul dengan sebilah kayu. Cawat ini dililitkan disekitar pinggang dan menutupi alat vital. Alat ini hanya dikenakan laki-laki. Pemakaian kabit menandakan profesinya. Bagi para dukun atau kerei, kabitnya berwarna merah. Warna itu didapat dengan mencampur kulit togro, suatu jenis mangrove yang direndam bersama kabit. Dengan tato, badan kekar dan berotot serta bunga-bunga (manai), orang Mentawai terlihat gagah dengan kabitnya.

Friday, November 25, 2011

Sepatu Bot dan Cawat di Lapangan Bola (2)

Oleh Darmanto Simaepa

Cara lain menikmati sepakbola adalah cerita dari Muntei, sebuah desa kecil dekat pantai di bagian tenggara Siberut. Desa ini terbentuk sejak tahun 1970-an melalui program OPKM (Otorita Pengembangan Kepulauan Mentawai) yang disponsori perusahaan kayu. Desa-desa OPKM umumnya memiliki lapangan sepakbola yang bagus dan cukup besar. Terletak di lembah Sabirut yang landai tempat bertemunya sungai Rereiket dan Silaoinan, desa ini merupakan kawasan yang subur dan sedikit makmur. Ladang kakao telah menyebabkan ekonomi desa ini bertahan menghadapi resesi akibat jatuhnya nilam dan cengkeh.

Wednesday, November 23, 2011

Tentang Dua Penonton yang Terkapar*: Sebuah Narasi Kekalahan


Oleh Mahfud Ikhwan


“Ah, ini pasti gara-gara Pak Mahfud nonton. Kita jadi tak bisa suap wasit.”

-- Sriyono, warga Sambilegi, tetangga Mahfud MD--

Monday, November 21, 2011

Belakang Gawang Dikosongkan untuk Waktu yang Belum Ditentukan...

Oleh Belakang Gawang

Karena gawangnya dibakar, maka, dengan ini dinyatakan bahwa Belakang Gawang, untuk jangka waktu yang tidak ditentukan, akan dikosongkan. Untuk apa bertakik-takik ngomong bola, berbuih-buih mengutak-atik pertandingan, jika timnas Indonesia tak menang-menang. "Gabah sinawur wono, mubazir tanpa guno," begitu pelawak Baseman pernah ucapkan.

..............................................................................................................................................................................

Sunday, November 20, 2011

Modal, Mental, Final

Oleh Darmanto Simaepa

Saya tahu betapa beratnya bagi pemain seperti Andik berebut bola, mundur jauh ke dekat kotak penalti sendiri, dan berkonsentrasi menjaga zona teman yang kehilangan posisi. Andik adalah jenis pemain yang senang menyerang, nyaman bersama bola, dan bermain dengan kecerdikan dan fantasi. Sangat sulit bagi pemain yang biasa berkelit dari cegatan lawan harus mengubah pendekatan untuk menekel dan beradu badan. Seorang pemain penuh imajinasi yang diminta mencegah gol terjadi seperti pecinta wanita yang dikebiri. Atau ibarat seorang aktor drama yang disuruh memerankan film aksi.

Thursday, November 17, 2011

Untunglah, Kalah!

Oleh Darmanto Simaepa

Tim juara adalah tim yang selalu terluka. Anda bisa menemukan polanya dalam sejarah turnamen-turnamen sepakbola. Tim-tim juara selalu melalui rute yang berliku dan meragu. Ia harus melalui pertandingan berat yang menguji batas-batas rasa yakin, keraguan dan juga, keberuntungan.

Sepatu Bot dan Cawat di Lapangan bola (1)

Oleh Darmanto Simaepa

Sepakbola bisa dimainkan dan dinikmati dengan beragam cara di Siberut. Di lembah-lembah terpencil, olahraga ini dimainkan secara teratur di sore hingga menjelang malam diakhir pekan. Suasananya akan lebih ramai di hari Minggu karena semua petani sudah pada pulang dari ladang. Setelah acara kebaktian di Gereja untuk segala usia, lapangan bola adalah tempat sosialisasi bagi anak laki-laki dewasa dan orang tua. Di desa-desa terpusat berlokasi di dekat kecamatan atau pusat pemerintahan, yang jumlah populasi anak mudanya lebih banyak, ia dimainkan lebih sering—kadang nyaris setiap hari.

Sunday, November 13, 2011

Towel tentang Wim: Resensi Siaran Langsung


Oleh Mahfud Ikhwan


Rasa bahagia saya atas gol cepat Wanggai dan gol bagus Tibo ke gawang Singapura pada pertandingan Sea Games tak ingin hilang dalam semalam. Karena itu, saya menunggu pertandingan timnas (senior) melawan Qatar dengan rasa enggan—sepertinya, tak pernah saya menunggu pertandingan timnas Indonesia dengan rasa seenggan itu, sepesimis apapun saya. Obor yang padam dan lagu penutup yang “menjilat pantat rakyat” di Upacara Pembukaan Sea Games rasanya sudah cukup merusak. Saya tak mau malam ini pergi tidur dengan umpatan di tenggorokan.

Saturday, November 12, 2011

Wim dan Kaca Matanya


Oleh Darmanto Simaepa

Wim mungkin tak sedingin Erikson. Swedia jelas lebih dekat ke kutub utara dan Belanda lebih hangat cuacanya. Erikson tidak pernah terlihat membawa pena. Apalagi catatan. Pria Belanda itu sesekali mengibaskan tangan ke udara, berdiri, mencopot jaket atau mengacungkan pena. Ia rajin membawa buku kecil. Sepanjang waktu ia terlihat, setelah mendelikkan mata ke arah lapangan, menulis entah apa dicatatannya. Ia bahkan terlihat lebih serius dari van Gaal.

Thursday, November 3, 2011

Menulis-Sepakbola: Catatan tentang Catatan-catatan yang Gagal Ditulis

Oleh Mahfud Ikhwan


Sejak berhasil menerbitkan beberapa buku sepakbola (dengan nama samaran) hampir dua tahun lalu, saya merasa punya panggilan untuk lebih memerhatikan sepakbola—bukan semata menonton sebagaimana sebelum-sebelumnya. Seperti dunia yang selalu mencari titik kesetimbangannya, rasanya diri ini juga memerlukan. Begitu pikir saya. Fiksi adalah hal paling berharga bagi saya. Meski dengan sepenuh hati melakukannya, dan mengalami puncak-puncak kebahagiaan saat mengalaminya, saya memperlakukannya terlalu serius. (Dan menjadi lebih serius lagi jika Anda adalah penulis fiksi yang tidak laku). Saya mau lebih bersenang-senang. Dan karena itu, saya memikirkan untuk menulis lebih banyak tentang sepakbola—hal yang paling saya senangi.

Desentralisasi Sepakbola


Oleh Darmanto Simaepa

Saya tidak pernah—atau belum pernah—bisa mencintai Persela. Bahkan hanya untuk sekadar mengaguminya. Teman-teman heran, saat beberapa kali di stadion Agus Salim, saya bersemangat sekali mendukung Kabau Sirah dan meneriaki Elie Eboy. Saya lebih mengenali sejarah Southampton dan Le Tessier, misalnya, daripada Laskar Joko Tingkir. Sebaliknya, saya juga heran, tetangga yang dulu saya kenal sebagai orang alim—yeah, lulusan pesantren dan jadi guru ngaji namun sekarang di Korea menjadi TKI—beberapa kali dipenjara, gara-gara Persela. Tidak peduli dimana Persela main, asalkan masih di pulau Jawa, dia pasti menonton. Lengkap dengan ketapel, kelereng, batu-batu, rajah anti pukulan dan segudang kata makian.