Thursday, October 27, 2011

Usai Enam Satu

Oleh Darmanto Simaepa

Hanya Tuhan yang punya imajinasi, MU bisa kalah enam-satu di Old Trafford dari City. Saya tak pernah mendengar orang suci, penderita skizofrenia, atau bandar judi paling berani menebak marjin angka hingga lima. Bukannya sepakbola penuh dengan kemungkinan? Itu tidak usah diragukan. Pemuja fanatik si Merah pasti khawatir timnya bisa saja kalah. Fans paling pesimis dan kurang percaya diri si Biru pasti punya harapan liar timnya menang pertandingan. Namun, komet Halley hanya terlihat 79 tahun sekali. Dan itu agaknya tidak akan melintas waktu dekat ini.

Monday, October 24, 2011

Sepakbola Indonesia di Mulut Harimau dan Buaya*

*Bagian Kedua dari Dua Tulisan

Oleh Darmanto Simaepa

Para ilmuwan sosial telah lama mengenali dialektika antara pelaku dengan struktur sosialnya. Seorang pelaku atau sebuah tindakan hidup dalam struktur sosial tertentu. Begitu juga sebaliknya, tak ada struktur sosial yang tidak melibatkan pelaku/tindakan. Sebuah perlawanan atau protes pelaku tertentu terhadap kekuasaan selalu berada dalam matriks kekuasaan yang dilawannya. Contohnya, perlawanan terhadap rezim PSSI NH dengan demonstrasi oleh suporter mudah diabaikan karena (dianggap) berada diluar struktur kekuasaan. Mereka baru mulai cemas ketika para pemrotes berkunjung ke Zurich, menggunakan statuta FIFA sebagai dasar hukum atau hak-hak angggota dalam kongres resmi.

Wednesday, October 19, 2011

Sepakbola Indonesia di Mulut Harimau dan Buaya*

*Bagian Pertama dari Dua Tulisan

Oleh Darmanto Simaepa

Dalam gelombang sejarah sepakbola Indonesia, setiap janji perubahan tidak selalu membawa kita menuju arus jernih perbaikan. Sejalan dengan tikungan waktu, secercah harapan yang pernah memandu langkah ke depan ternyata berujung terperosoknya kita ke dalam rawa busuk penuh lumpur kesalahan dan kebebalan. Dua kalimat ini bukanlah estetisasi dari rasa frustasi, hanya sekadar penamaan atas gejala yang kita pahami dari komedi PSSI belakangan ini.

Friday, October 14, 2011

Belajar Menyukai Jerman


Oleh Owen A. McBall


Hampir semua sebutan yang lazim disematkan pada tim nasional Jerman bernada cemooh. Anda bisa menangkap hal baik dari istilah “diesel” atau “panser”? Dalam kepala saya, itu hampir seperti akronim dari “statis, membosankan, dingin”. Kalau Anda membenci Jerman, sembari membayangkan wajah Toni Schumacher, Lothar Matthaus, atau Oliver Kahn, Anda bisa tambahkan frasa: “ganas, tidak manusiawi.”

Para pendukung Jerman pasti punya sangkalan jitu soal itu. Dan karena saya bukan—atau belum jadi—bagian dari mereka, izinkanlah saya sedikit berputar-putar untuk menemukan kalimat-kalimat simpatetik bagi juara dunia yang disegani sekaligus paling ditolak ini.

Tuesday, October 11, 2011

Horor Sepakbola Indonesia

Oleh Darmanto Simaepa

Kekalahan Indonesia dengan cara buruk menyisakan rasa getir dimulut. Siaran amatir, taktik yang ceroboh, pemain yang gugup, pelatih yang bingung dan penyiar yang linglung mengubah kegembiraan menonton sepakbola menjadi horor gelap. Ini memang bukan Jumat Kliwon, tapi ini malam dimana harapan yang pernah singgah di kepala rakyat Indonesia penonton lenyap dengan tiba-tiba dan digantikan hantu kegagalan yang berteman dengan sejarah sepakbola kita.

Pecat Indonesia!

Oleh Belakang Gawang

Wednesday, October 5, 2011

Land Grabbing & Sepak Bola

Oleh Darmanto Simaepa


Ekspansi para baron minyak menggambarkan bagaimana dunia kontemporer bekerja melalui dua hal: tanah dan sepakbola. Uang minyak dunia tidak hanya mengincar tanah-rawa penuh buaya di Merauke atau lahan gambut masam di delta Barito, ia juga merambah tanah 110 x 65 m2 berumput rapi di Manchester, Paris atau Napoli.

Pertama, kita bicara dulu soal yang lebih penting: tanah.

Saturday, October 1, 2011

Seandainya Saya Fans City



Oleh Mahfud Ikhwan

Pendukung Banaran FC seperti keranjingan. Sore itu, medio Agustusan 1996, tim mereka akhirnya mengandaskan penguasa belantika sepakbola Babat, Sawo FC, di semifinal Liga Babat. Mereka tak perduli kalau hampir semua pemain yang memberikan kemenangan bagi mereka sore itu adalah pemain sewaan (bon-bonan). Mereka abai, kalau yang menang lawan Sawo sore itu bukanlah Banaran, tapi campuran pemain tua Persebaya dan pemain aktif Petrokimia Putra—ada Seger Sutrisno, Ibnu Graham, Khusairi dan Ery Irianto di situ. Satu-satunya yang mereka pikirkan (dan rayakan) adalah kekalahan Sawo, lambang kekuasan tak tergoyahkan dan keangkuhan tak terperikan dari sepakbola Babat.